Medan Tempur I

5.1K 284 1
                                    

Pukul 00.01 dini hari waktu setempat. Para pasukan khusus itu telah naik pada tank-tank khusus. Beberapa dari mereka menggunakan Helikopter. Mereka telah terbagi menjadi beberapa tim. Siap bertempur. Siap bertarung. Hidup atau mati terpenting adalah kehormatan bangsa dan negara. Setya mengadahkan kedua telapak tangannya. Berdoa kepada Tuhan yang maha esa. Meminta perlindungan atas dirinya dan negaranya. Hal yang selalu di lakukan oleh para prajurit sebelum berperang.

Linus duduk di sampingnya. Tangannya membuat salib untuk dirinya sendiri. Kemudian mengepalkan kedua tangannya. Begitu juga yang lain. Mereka tengah berdoa memohon pada Tuhannya. Mereka tak takut mati asal demi bangsa dan negara tercinta.

Pukul 00.55 dini hari. Pasukan itu telah sampai pada titik yang telah di tentukan. Namun tetap saja tank itu berhenti pada jarak yang telah di tentukan. Para prajurit segera turun. Ada sebuah misi yang tengah menanti disana. Perlahan mereka sudah berada posisi masing-masing. Seperti yang telah di rencanakan.

Setya terus maju bersama pasukannya tepat mengelilingi gedung tua tempat para penjahat itu menyekap sandera. Tidak sedikit kemungkinan barisan inilah yang paling berbahaya. Beberapa orang berjaga di luar. Sisanya masuk ke dalam gedung melalui beberapa pintu. Mereka mengendap. Berjaga-jaga barang kali penghuni gedung tengah membawa senjata.

Setya berjalan mengendap masuk ke dalam. Ia bersembunyi diantara dinding-dinding basah. Gemercik hujan mulai turun. Menambah kesan mencengkam pada pagi itu. Target pembebasan tepat pukul 4 pagi. Itu artinya tidak banyak waktu yang mereka miliki untuk membebaskan tawanan itu. Entah siapa yang menahan tawanan itu. Yang pasti itu berkaitan dengan kedaulatan sebuah negara.

Linus memberi aba-aba pada Setya untuk maju bersama. Setya mengangguk mengiyakan. Ini bukan pertama kalinya Setya ikut dalam sebuah misi. Hampir sering. Ia pun selalu terbebas dari maut. Sepertinya keberuntungan selalu berpihak padanya. Ini saatnya hanya Setya dan Linus yang masuk semakin dalam. Yang lainnya berjaga-jaga di sekitarnya. Sebagiannya ikut masuk melalui pintu lain.

Dor...
Dor...
Dor...

Senapan demi senapan tak tertahankan lagi. Penghuni gedung rupanya telah sadar bahwa mereka tengah di kepung. Para kesatria baju loreng itu tiarap. Menghindari serangan-serangan yang terus di luncurkan. Bunyi peluru terus menggema. Rupanya pertempuran telah dimulai. Para tentara itu sudah bersiap untuk menyerang. Menarik pelatuk pada pistol mereka.

Dor...
Dor...
Dor...

Bunyinya nyaring sekali. Memekakkan telinga. Setya berbaring di anak-anak tangga. Menaikkan tubuhnya dengan cara merayap. Linus terhenti. Kakinya sangat sakit. Rupanya betis kanannya terserempet peluru. Ia tak mampu untuk merayap. Darahnya telah mengucur.

"Abang ada apa?", Bisik Setya.

"Lanjutkan, Beta akang menyusul nanti. Cepat. Komandan di tanganmu", bisiknya. Setya masih menatapnya. Rasa iba mulai menjalar. Ia tak mampu menatap betis itu.

"Cepat! Jang buang-buang waktu ko"

Setya kembali meneruskan perjuangannya. Rasanya sesak melihat Linus. Sekarang komandonya ada di tangannya. Ia kembali mengendap bersama anak buahnya yang lain. Sementara di luar sana, pasukan kedua mulai maju ke lokasi. Mereka menghabisi seluruh pasukan spionase itu. Setya masih berdiri. Ancang-ancangnya ada pada sebuah ruangan di sudut sana.

Dor...
Dor...
Dor...

Suara tembakan mulai menggema kembali. Sial. Bergemuruh. Setya menghela napas panjang. Akankah, ia kembali seperti janjinya pada Adriana. Ah, Adriana. Lagi-lagi gadis itu telah merasuk dalam pikirannya.

"Adriana...",gumamnya.

Tangannya mulai terangkat. Tanda pasukannya harus bersiap untuk maju. Namun tidak. Matanya jeli. Setya menurunkan tangannya kembali. Otaknya berpikir sangat keras. Ketiga anak buahnya terheran. Hendak saja sang komandan akan memberi titah tapi tiba-tiba di batalkan. Setya mencari sesuatu di bawahnya. Barang kali ada potongan kayu atau apapun.

Antara LebanonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang