Adriana

10K 554 3
                                    

Malam pualam telah tiba. Dengan sinar Candra yang bercahaya. Sunyi namun tak temaram. Dinding-dinding putih terasa lembab. Bersama hujan yang turun dari langit. Membawa rasa dingin nan sejuk. Jam menunjuk pukul 11 malam. Dimana para insan sedang pulas tertidur.

Adriana masih terjaga. Mata cokelatnya menatap nanar ke arah jendela. Pikirannya melayang jauh ke masa silam. Akankah hal yang bertahun-tahun lalu ia ingin lupakan akan terulang lagi. Rasanya sesak. Kenangan pahit pasti ingin di lupakan tapi cara melupakannya lah yang amat sulit.

Tok..
Tok..

"Adriana..?", Suara seseorang dari balik pintu sana. Adriana kembali dari lamunan kelamnya.

"Iya.."

"Boleh ibu masuk?", Kata suara itu lagi dengan lembut.

"Iya Tante"

Derit pintu berbunyi. Menampilkan sosok wanita paruh baya dengan wajah yang tenang. Wanita itu mendekati Adriana. Tangannya menggenggam tangan gadis itu. Ia tau ada sebuah rasa takut pada diri gadis itu. Di tatapnya sebuah amplop yang masih rapi di atas meja nakas.

"Belum kamu buka?", Kata wanita itu. Adriana menggelengkan kepalanya dengan lesu. Entah apa yang membuatnya tak bersemangat.

Wanita itu menghela napas. Menarik Adriana untuk duduk disisi ranjang. Ia menatap gadis cantik dihadapannya. Di sekanya wajah itu. Begitu cantik. Terlebih matanya seakan memancarkan sesuatu yang amatlah indah.

"Adriana.."

Adriana tersentak. Ia menatap wanita itu lekat. Ada perasaan yang sulit di jelaskan ketika ia menatap wanita itu. Ia tak jauh dari kata sempurna untuk di panggil ibu. Bahkan hati kecil Adriana selalu mengatakan bahwa wanita itu adalah ibu terbaik di seluruh dunia. Tapi sayangnya, hanya satu kelemahannya. Wanita itu bukanlah ibu kandung Adriana. Wanita itu adalah wanita yang berbaik hati mau memungut gadis itu dari panti asuhan ketika usianya 5 tahun. Terkadang hal itu yang membuatnya menjadi sedikit sesak.

"Adriana, ibu mengenal kamu. Nurani kamu tidak akan pernah berbohong. Kamu ingin membantunya kan?", Kata wanita itu.

"Nggak Tante. Aku nggak mau. Aku nggak mau kalo... Kalo..", katanya. Namun sebelum ia menyelesaikan kalimatnya, wanita paruh baya itu meletakan jari telunjuknya di bibir ranum Adriana.

"Jangan katakan sayang. Kamu tidak bersalah sama sekali"

"Tante.."

"Adriana.., Panji meninggalkan kita bukan karna kamu"

"Tante, aku.."

"Adriana dengarkan ibu. Jangan merasa bersalah dengan apa yang tidak pernah kamu lakukan. Semua itu bukan karna kamu. Dan tawaran dari Tante Yuni, ibu rasa kamu harus menerimanya. Galih butuh seorang seperti kamu sayang. Galih adalah Panji yang lain"

"Tante aku takut.."

"Adriana, Galih adalah anak yang baik. Ibu tau itu. Karna ibu pernah memiliki Panji. Dan semenjak ada kamu, Dunia Panji jauh lebih baik. Dia mengenal ibu sebagai ibunya. Mengenal kamu sebagai kakaknya. Dan yang paling penting mengenal Allah sebagai Tuhannya. Kamu yang mengajarinya Adriana. Sekarang Galih menunggumu. Dia butuh kamu untuk merubah dunianya"

Adriana tertunduk. Ia terisak. Rasa sesak seakan menyerangnya. Begitu kuat dan semakin kuat. Membuatnya menitikkan air mata. Rumi memeluk gadis itu. Ia sangat menyayangi Adriana seperti ia menyayangi Panji, anaknya sendiri. Adriana bagaikan pelangi dalam keluarga kecilnya. Dan kini hanya dia yang ia miliki. Tak ada yang lain. Meski sangat sulit menghadapi Adriana yang keras.

Bahkan sampai hari ini juga, gadis itu belum mau memanggilnya ibu. Mungkin memang sulit untuk meyakinkannya. Mengingat masa kelam gadis itu bertahun-tahun lalu sebelum Adriana bertemu dengannya. Setelah Adriana hadir di tengah keluarganya yang kecil, Rumi merasakan kebahagiaan. Hingga akhirnya ia bisa mengandung. Namun sayangnya ketika kandungannya menginjak 7 bulan, keluarganya mengalami kecelakaan hebat. Hanya dia, Adriana dan bayi yang ada dalam kandungannya yang selamat. Suaminya harus merenggut nyawa dalam kecelakaan itu. Karna kecelakaan itulah bayi itu menjadi sangat istimewa. Panji lahir dengan kondisi cacat. Ia tak mampu berbicara dan tidak tumbuh seperti anak normal. Batas IQ nya hanya sebesar anak usia 5 tahun yang padahal usianya kala itu menginjak 14 tahun.

Namun ia tak pantang semangat. Karna Adriana ada di sampingnya. Gadis itu benar-benar menjadi Kakak dan psikolog yang baik bagi Panji. Hingga suatu ketika, semuanya hilang. Kebahagiaan itu lenyap. Kepergian Panji untuk selama-lamanya memberi pukulan yang hebat. Bukan hanya pada Rumi tetapi juga Adriana.
____________________________________

Senja terasa indah. Apalagi semburat jingga nya yang menandakan malam akan segera datang. Tawa dua orang menggema di halaman yang luas. Adriana berlarian bersama seorang remaja laki-laki. Kulitnya putih, matanya sipit. Wajahnya berbentuk oval, cukup tampan di lihat. Bahkan orang-orang tidak akan pernah tau bahwa remaja laki-laki itu adalah seorang disabilitas.

Kaki-kaki itu menginjak rerumputan. Terasa menggelitik namun sensasinya sungguh menyenangkan. Panji tertawa terbahak. Adriana memang selalu membuatnya tertawa. Bagaimanapun caranya. Dalam hatinya, ia sangat menyayangi figur seorang kakak ini.

"Panji, udah Kakak cape", kata gadis itu dengan bahasa isyarat.

"Hahaha.. hahaha.. hahaha..", tawa Panji masih menggema. Namun ia masih tidak berhenti berlari.

"Panji udah, kakak cape. Duduk dulu yah", ulangnya.

Bocah itu pun mengalah. Ia duduk di samping Adriana. Tangganya terulur pada bahu Adriana. Adriana memang kakaknya tapi tubuh Panji jauh lebih tinggi. Panji menatap kakaknya itu. Di amati inci demi inci.

"Kamu Kakak terbaik di dunia", katanya dengan gerakan tangan. Adriana tersenyum. Panji tak pernah mengatakan hal luar biasa seperti itu sebelumnya.

"Terima kasih", katanya lagi.

"Untuk apa?", Adriana angkat bicara. Masih menggunakan bahasa isyarat.

"Semuanya. Aku selalu berdoa pada Allah. Semoga kamu disayang Allah", kata Panji dengan bahasanya. Adriana kembali tersenyum. Ia memeluk adiknya itu.

Angin bertiup sedikit kencang. Menerbangkan sebuah syal yang Adriana kenakan. Syal biru tipis yang di berikan Panji pada ulang tahun kakaknya yang ke 20. Panji beranjak untuk mengambilkan syal itu.

"Panji, biar aku aja", kata Adriana.

Panji berdiri di depan pagar. Adriana berjalan menuju jalan. Syal itu terbang cukup jauh. Adriana harus pergi ke tengah jalan untuk memungutnya.

Tin..
Tin..
Tin..

Brukkkk...
Adriana terjatuh. Rasanya sedikit perih dengan sedikit luka di lutut dan sikunya. Pikirannya berkelana pada Panji.

"Panjiiiii!!!!!!!!!"

Tubuh itu telah terlentang dengan simbah darah. Air mata mulai menitik. Mengalir tiada henti. Ia segera berlari menuju adiknya. Di peluknya tubuh yang tak berdaya itu. Panji telah memejamkan matanya. Rasa takut membuai dirinya.

"A...i..na.. o..ga.. a..yang.. Allah..", lirih Panji. Kata pertama yang pernah Panji ucapkan selama 14 tahun. Selama ini ia tak pernah mengeluarkan suaranya. Panji berkomunikasi dengan bahasa isyarat saja.

Tapi hari ini. Hal yang paling Adriana tunggu. Ketika ia berhasil membuat Panji bicara. Tapi tidak pada hal ini yang ia inginkan. Panji bicara padanya untuk terakhir kalinya. Ia tak pernah menyangka bahwa adiknya akan pergi secepat itu. Membekas dalam hatinya selamanya.
____________________________________

"Kamu akan pergi besok?"

"Nggak Tante. Adriana nggak mau. Cukup satu kali aja", selorohnya dengan isakan tangis yang belum reda.

"Ibu percaya padamu sayang. Semua kembali sama kamu. Sekarang tidur yah", kata Rumi sembari mengusap punggung gadis itu.

Rumi beranjak dari duduknya. Di tatapnya sekali lagi gadis cantik itu. Sepertinya peristiwa itu masih membekas dalam ingatan Adriana. Ia pun tak mampu berbuat lebih. Hanya Adriana yang mampu memutuskan. Ia berlalu meninggalkan Adriana.

Adriana termenung seorang diri. Ia menatap nanar pada amplop putih di atas meja nakasnya. Di raihnya amplop itu. Ia membukanya perlahan. Membaca isinya yang berupa permohonan untuk membantu Galih. Adriana menghela napasnya. Kemudian menutup matanya sejenak. Mencoba berpikir sembari menunggu kantuk akan datang menerpa dirinya.

Antara LebanonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang