Dia Korban

4.7K 318 0
                                    

Malam rupanya sudah tiba. Beberapa tentara masih saja berjaga-jaga. Yang lainnya telah dikumpulkan di depan medis cube. Ada hal penting yang harus di sampaikan malam itu. Orang-orang rupanya masih belum lega. Mengingat pengumuman apa yang akan di sampaikan dari paramedis. Menerka dan menduga akankah tubuhnya mengandung bakteri Corynebacterium.

"Silahkan dokter", kata komandan pasukan perdamaian.

Dokter Rony menatap dokter Evan. Rupanya dokter muda itu enggan untuk bicara panjang lebar. Ia melangkahkan kakinya. Mewakili seluruh tenaga medis untuk bicara didepan. Ia menarik napas panjang. Kemudian menghembuskannya dalam-dalam. Malam itu terasa dingin. Mencengkam. Menegangkan.

"Hasil tes laboratorium sudah keluar di tangan kami", katanya sambil mengangkat sebuah amplop cokelat di tangan kanannya. Ia kembali menghela napas.

"Sangat di sayangkan dua saudara kita terinfeksi"

Orang-orang mulai kalut. Saling tatap satu sama lain. Takut kalau-kalau dirinya yang terjangkit. Jantung mereka berdetak begitu kencang. Tangan mereka mulai mendingin. Setya menatap kosong apapun yang ada di hadapannya. Ia pasti telah menduga bahwa orang itu adalah dirinya. Ia tidak menyalahkan Adriana sekalipun saat ia benar terkena wabah itu. Ia malah sangat menyayangkan mengapa bukan dia saja yang sakit tetapi jangan gadis itu.

"Relawan kita atas nama Adriana Iswara dan salah satu tentara republik Indonesia atas nama ...", Dokter Rony menghela napas kembali.

"Serka Yuwono"

Semuanya terdiam. Ada yang tampak lega mengingat bukan mereka yang terinfeksi. Setya membulatkan mata. Bagaimana bisa. Ia tidak terinfeksi sama sekali. Pikirannya mulai berkecambuk.

"Eee ada apa?", Bisik Linus.

"Abang, kenapa saya tidak terinfeksi?"

"Ko harusnya bersyukur atau apa?"

"Tapi... Tapi Adriana..."

"Ko pung kata benar juga. Jika bakteri itu menyebar melalui interaksi seharusnya Beta juga kena. Karna beberapa hari yang lalu Beta sempat banyak bicara deng Adriana"

"Dimana serka Yuwono?"

Linus mulai mencari-cari pemilik nama itu. Sepertinya tidak ada orang itu di sini. Setya ikut mengedarkan pandangannya. Ia juga tidak menemukan atasannya disini.

"Apa jangan-jangan dia masih ada di ruang central?", Kata Linus.

"Bisa jadi"

"Ko mau cari?"

"Iya"

"Beta ikut"

"Ayo Abang"

Dua orang pria itu pergi meninggalkan kerumunan orang. Beberapa orang rupanya juga tengah mencari Serka Yuwono. Takut kalau-kalau ia berada diantara mereka. Setya dan Linus berlari menuju tangga kayu di samping markas. Disana terdapat sebuah ruangan central. Tempat dimana para petinggi tentara boleh memberikan pengumuman lewat pengeras suara. Beberapa hari terakhir Serka Yuwono memang jarang sekali terlihat di lingkungan markas seperti biasa.

Ia cenderung lebih suka berada di ruangan itu sendirian. Saat waktu makan tiba, ia pun lebih senang makanan miliknya hanya diantar di depan pintu. Entah apa sebabnya. Kedua pria itu telah sampai di depan sebuah pintu kayu tua. Linus mengetuk pintu kayu itu. Tak ada jawaban. Kali ini Setya yang mengetuknya tak ada jawaban.

Linus menempelkan telinganya ke daun pintu. Ia masih menggunakan semua alat pelindung diri yang di berikan para medis. Begitu juga Setya. Terdengar suara napas yang berat disana.

"Serka... Serka Yuwono? Ko dengar Beta?!", Kata Linus.

Tak ada jawaban. Masih terdengar napas berat. Entah apa yang sedang di lakukan sersan kepala itu. Setya menatap Linus meminta penjelasan. Linus masih terdiam di tempatnya.

"Eee Setya. Kita perlu dobrak eeee"

"Ada apa?"

"Kita perlu dobrak"

Tak banyak bicara lagi Setya langsung mengangguk mengiyakan. Dengan ancang-ancang yang sudah di tentukan, dua pria itu mundur beberapa langkah. Kemudian bersama-sama menerjang daun pintu itu.

Bruaakk...

Pandangan mengejutkan segera menghampiri keduanya. Dimana sersan itu telah tak berdaya terduduk di samping meja. Napasnya berat. Tubuhnya penuh keringat. Pucat pasi. Dari mulutnya keluar sebuah cairan air liur. Matanya sayu. Keduanya langsung mendekat. Memeriksa apakah rekan dan atasannya baik-baik saja.

"Setya lihat", kata Linus sembari menunjuk leher Yuwono.

Betapa terkejutnya ia. Ia dapati sebuah penyakit kulit disana. Selama yang ia tahu, Serka Yuwono tidak pernah memiliki penyakit kulit. Bahkan jika benar ia memiliki penyakit kulit, sudah di pastikan ia tidak akan pernah masuk ke dalam akademi militer manapun.

"A... Yah... Pu.. lang. Le.. Banon. Sa..rah..", katanya.

"Sudah lebih baik katong dua bawa dia"

Setya mengangguk. Keduanya membawa pria itu bersama-sama. Tubuh sersan kepala sangat besar dan kekar pastilah harus dua orang yang mengangkatnya.
____________________________________

"Dokter.... Dokter...."

Setya berteriak pada orang-orang berpakaian putih di depan medis cube. Rupanya yang lainnya sudah kembali ke barak masing-masing. Hanya orang-orang berpakaian putih itu yang masih setiap berbincang-bincang disana. Entah perbincangan apa. Beberapa orang dari mereka segera masuk ke dalam. Membawa sebuah tempat tidur roda.

Orang-orang itu segera membawanya ke dalam. Dokter Evan juga berlari ke dalam. Linus dan Setya masih berdiri di sana. Bersama seorang dokter yang masih tak beranjak masuk.

"Apa dia serka Yuwono, sersan?", Tanya dokter Rony ragu.

"Ya", kata Setya.

"Saya sudah tau penyebabnya. Benar", katanya.

Ia meninggalkan dua orang tentara itu. Dokter Rony segera berlari ke dalam medis cube. Linus menepuk bahu Setya. Kemudian berlalu dari sana. Setya masih berdiri di depan medis cube. Ia ingin menemui Adriana. Meski hanya sebentar saja. Ia masuk ke dalam medis cube. Berjalan ke tempat dimana Adriana terisolasi.

Setya menatapnya dari luar. Gadis itu tampak tenang tertidur di sebuah ruangan kaca. Sementara beberapa orang-orang berpakaian putih itu berlalu lalang di belakangnya. Ia dapat melihatnya melalui pantulan kaca. Tangannya menyentuh kaca itu terasa dingin. Dokter Rony menepuk bahunya. Ia sedikit tersentak.

"Bukan dia penyebabnya", katanya.

Setya mengernyitkan dahinya. Tak tau apa maksud dari perkataan dokter di hadapannya itu. Dokter Rony menatap nanar ruangan kaca itu. Matanya menatap seorang gadis yang tengah tertidur.

"Bukan nona Adriana. Nona Adriana adalah korban"

"Apa maksudnya dokter?"

"Anda tahu sersan? Tahapan difteri ada banyak sesuai dengan ciri-ciri apa saja yang telah muncul dalam tubuh. Saya menemukan ciri-ciri yang lebih parah pada tentara yang baru saja anda bawa. Kemungkinan besar nona Adriana yang terinfeksi olehnya. Nona Adriana bersyukur karena baru saja pada tahap awal jadi ia akan sembuh lebih cepat dan prosentase nya besar"

Setya mendengarkan setiap kata dokter itu. Bukan rahasia lagi tentang dokter Rony. Ia memang dokter jenius. Banyak yang memujinya. Bahkan ia telah di undang di berbagai seminar kedokteran untuk mengisi acara. Tapi hatinya menginginkan ini. Ia ingin pergi jauh demi kemanusiaan bukan demi karirnya. Bukankah harta yang paling berharga bagi seorang dokter adalah kemanusiaan, tiada yang lain.

"Saya tidak menyalahkan Serka Yuwono untuk ini. Dia pun juga korban. Pasti ada sesuatu yang membuatnya sampai terjangkit penyakit ini"

Setya hanya terdiam. Ia memang tak mengerti soal kedokteran atau apapun itu. Yang pasti hatinya selalu berteriak kepada Tuhan untuk kesembuhan Adriana.

Antara LebanonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang