Malaikat Galih

11K 627 5
                                    

Mobil-mobil mewah berjajar. Memenuhi halaman luas rumah nan megah. Pemiliknya bermacam-macam. Ada dari istri-istri konglomerat, pengusaha, jendral dan para pejabat-pejabat. Gelang mereka bergemerincing. Menimbulkan suara meriah pada ruang besar di tengah-tengah rumah.

Suaranya penuh. Sesak, dan ramai. Orang-orang saling bicara. Makan-makan hidangan yang tersaji pada meja panjang. Hiruk pikuk orang-orang tak firasakan oleh Galih. Remaja itu berjalan menuruni anak tangga dengan meraba-raba. Bukan berjalan dengan kakinya, ia berjalan sembari terduduk. Kakinya meraba anak tangga bersama tangannya yang meraba kanan dan kiri.

Tak ada yang mengetahui kehadiran bocah itu. Semuanya sibuk dalam hiruk pikuk keramaian. Galih merambat dari benda ke benda. Berjalan seenaknya tanpa ada yang bisa menghalanginya.

"Den, den Galih mau kemana?", ucap Imah. Ia menggenggam pergelangan tangan tangan Galih.

"Aaaaaaa...!! Aaaaa...!!",teriak Galih. Seperti biasa ia meronta. Ia menjerit dan menangis sejadi-jadi. Tangannya enggan di sentuh siapapun. Rasanya menakutkan bagi Galih.

Dia bukan anak yang sombong. Hanya saja, fisik membuat dia memiliki rasa takut luar biasa. Ia takut gelap, tapi yang di lihatnya hanya gelap. Ia takut pada sunyi tapi yang di dengarnya adalah kesunyian. Miris, ketika melihat remaja seusianya sedang membuat kesenangan di luar sana, Galih justru terdiam.

Menatap jendela yang menghubungkan dapur dengan halaman belakang. Terkadang dia menatap jendela kamarnya. Menyentuhnya dengan tangan. Tanpa mengerti apapun.

Galih masih meronta meskipun Imah telah melepaskan tangannya. Suaranya yang kencang membuat seisi rumah terdiam. Semua menatap pada bocah remaja yang tengah meraung pada ambang tangga.

Bu Yuni segera berlari menghampiri Galih. Memeluknya seperti malam itu. Namun tidak, Galih mendorong Bu Yuni begitu keras hingga Bu Yuni terjatuh ke lantai.

"Galih, ini mama nak", katanya. Namun mustahil anak itu dapat mendengarnya. Untuk merasakan sesuatu saja ia sulit.

"Aaaaaaaa....!!! Aaaaa.....!!!!", teriak Galih. Kali ini suaranya lebih kencang. Lebih keras dari sebelumnya. Teriakannya membuat orang-orang panik.

"Galih, ini mama nak", kata Bu Yuni. Suaranya memelas. Ia berharap Tuhan mau memberikan pendengaran untuk Galih. Nyatanya itu mustahil.

Setya berlari dari ambang pintu. Ia mendengar teriakan sang adik kemudian bergegas turun dari mobilnya dan berlari menuju sang adik. Ia memeluknya dari belakang.

"Galih, ini kakak. Kamu harus tenang yah", katanya.

Tidak, Galih semakin meronta. Menolak pelukan dari Setya. Hampir saja Setya kewalahan. Di kuncinya tangan Galih. Memang sedikut sakit tapi itu dapat meredakan pergerakannya.

"Hanya orang bodoh yang tidak mampu menghadapi makhluk Tuhan yang paling istimewa", suara lembut itu datang dari kerumunan orang-orang.

Seorang gadis berjalan dari kerumunan. Ia berjongkok untuk membantu Bu Yuni berdiri. Kemudian berjalan mendekati Setya yang hampir kelelahan.

"Tidak semua orang dapat di perlakukan seperti itu pak, lepaskan dia", katanya tegas.

"Tapi,..."

"Lepaskan dia!", katanya kembali. Suaranya tajam. Menggema keseluruh ruangan.

Setya melepaskan ikatannya pada Galih. Galih terduduk lemas kemudian menangis. Ia terisak dengan menekuk kedua lututnya. Setya hampir saja memeluknya lagi. Namun tubuhnya di halangi oleh tangan putih milik gadis itu. Ia sedikit bingung dengan gadis yang tiba-tiba databg begitu saja.

"Jangan peluk dia, anda telah menyakiti hatinya. Lihat! Dia ketakutan, dia manusia yang juga memiliki emosi. Saya tahu dia tidak dapat melihat, mendengar atau bicara. Tapi dia masih memiliki emosi dalam hatinya. Ia dapat merasakan"

Gadis itu menunduk menatap Galih. Kemudian ikut duduk di hadapannya. Perlahan, tangannya mulai mengusap air mata remaja laki-laki itu. Lembut, harum dan terasa dingin ketika sentuhannya tiba di pipi. Galih berhenti terisak.

"Mungkin anda dan yang lainnya tidak tahu pak, tapi saya tahu. Dia memiliki sejuta kata-kata yang ingin di ungkapkan. Hanya saja dia tak dapat mengungkapkannya", seloroh gadis bermata Coklat itu.

Galih beranjak. Ia menyentuh tangan itu. Merabanya dengan hati-hati. Hingga ia temukan sebuah tubuh. Tubuh mungil yang kini duduk di hadapannya. Seketika ia langsung memeluknya. Tanpa berpikir panjang. Ia menangis dalam pelukan sang gadis.

"Inilah yang di sebut sebuah emosi. Ia sangat ketakutakan. Sangat-sangat merasa takut",selorohnya.

Orang-orang mulai pergi. Ada yang berpamitan, ada yang hanya tersenyum kemudian pergi, ada pula yang pergi tanpa berpamitan. Gadis itu melepaskan pelukannya. Ia menggenggam tangan Galih dan menuntunnya untuk berdiri. Galih menarik gadis itu menuju jendela yang menghubungkan dapur dengan halaman belakang.

Genggamannya terlepas. Kedua tangan Galih menempel pada kaca-kaca jendela. Tiba-tiba hujan datang mengguyur bumi. Rintiknya terciprat pada jendela. Terasa dingin. Galih tersenyum. Untuk pertama kalinya Bu Yuni dan Setya melihat senyum itu.

"Ajaib..", guman Setya. Ia melangkah mendekati Bu Yuni. Bu Yuni bersandar pada dadanya yang bidang.

"Mama nggak pernah bermimpi bahwa hal ini akan terjadi Set"

"Dan inilah yang terjadi ma"

Pria itu tersedu. Ia menitikkan bulir air yang mengalir melalui pipinya. Jatuh dalam kening ibunya. Bu Yuni mendongak. Ia tersenyum dengan wajahnya yang telah basah oleh air mata. Ia mengusap pipi putranya itu.

"Seorang Prajurit tidak kenal kata menangis. Itu yang selalu kamu ucapkan pada mama bukan?"

"Iya ma.."

Sebersit terlintas gadis itu tersenyum. Seberkas cahaya senja sedikit menyinari wajahnya melalui celah-celah dinding. Begitu cantik di bawah cahaya senja parasnya. Bibirnya molek dengan polesan sedikit gincu, pipinya yang merona alami dengan mata yang indah berwarna coklat. Senyumannya menawan ketika terlihat dari samping. Sejenak Setya menatap gadis itu. Begitu indah.

"Nona, siapa gerangan nama anda?", tanya nya.

Gadis itu menatap oe arah Setya. Ia tersenyum pada Setya. Ada rasa senang dalam mata coklatnya yang terpancar begitu hidup. Begitu indah dan penuh dengan warna-warna indah dalam hidup.

" Adriana..., ayo kita pulang", kata seorang wanita paruh baya.

Antara LebanonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang