Penghormatan Terakhir

5.3K 331 2
                                    

Pukul 09.22 waktu Indonesia barat. Pesawat yang membawa pasukan Garuda dan relawan telah datang. Setelah sebelumnya peti mati Linus di beri penghormatan di bandara internasional Lebanon, oleh beberapa negara, kini peti itu di sambut oleh tanah airnya. Orang-orang itu berbaris rapi. Karangan bunga terpampang dimana-mana. Mengatakan berduka cita. Mengatakan sebuah kebanggaannya.

Setelah selesai segala upacara penyambutan dan lain sebagainya, peti itu di usung. Di bawa ke rumah duka. Banyak dari mereka yang ikut untuk pergi ke sana. Tapi hanya beberapa yang di mandatkan sebagai pelaksana upacara pemakaman. Peti itu di masukan ke dalam mobil ambulance yang telah di siapkan. Beberapa dari mereka telah berhambur. Ada yang pergi menemui keluarga mereka yang tengah menanti kepulangan. Keluarga yang terus bertanya-tanya siapa gerangan yang terbujur dalam peti mati. Beberapa langsung berhambur untuk ikut ke rumah duka. Sisanya terbingung pada dirinya sendiri.

Setya mencari seseorang. Siapa lagi jika bukan Adriana. Ia menyapu seluruh matanya untuk menemukan gadis itu. Adriana masih berdiri di tempatnya dengan balutan pakaian hitam. Ia masih mematung. Setya menghampirinya. Memeluknya begitu saja. Adriana terdiam. Ia tak mampu lagi melakukan sesuatu.

"Kamu tidak apa-apa?", Kata Setya. Suaranya parau.

"Saya.... Saya... Saya baik-baik saja", katanya. Tangisnya pecah seketika.

"Setya maafkan saya. Saya... Saya... Saya ingkar janji.. saya bilang semua baik-baik saja tapi nyatanya tidak"

Tangisnya mulai pecah. Membuncah seketika. Terlebih pada laki-laki itu. Ia dapat mengungkapkan apapun yang ia mau. Ia dapat menangis semaunya dalam dekapan pria itu. Setya melepas pelukannya. Ia menatap Adriana yang masih terisak. Di hapusnya air mata dari pipi gadis itu.

"Tidak. Bukan kamu! Bukan Adriana! Kamu sudah melakukan yang terbaik."

Adriana masih menundukkan wajahnya. Setya terus bicara. Meyakinkan gadis yang ada di hadapannya itu. Menguatkannya. Tentu ia juga tak bisa menerima kenyataan yang ada. Tapi itulah takdir, semuanya rahasia. Tak ada yang mengetahuinya sedikitpun. Ia menggenggam tangan Adriana. Mereka berjalan. Mengikuti dimana peti itu akan di antarkan.
____________________________________

Pukul 10.12 waktu Indonesia barat. Peti itu sampai di kediaman duka. Linus memang orang timur tapi keluarganya tinggal di Bandung. Ia hanya memiliki seorang ibu, seorang istri dan anak perempuan nya saja. Tak ada yang lain. Isak tangis keluarga terdengar begitu sendu. Menyambut hadirnya sang Bintara yang gugur dalam tugasnya.

Peti mati itu di buka. Terlihat seseorang yang tengah tertidur disana. Sesungging senyum terlihat meski tidak begitu jelas. Pakaian yang sama ketika ia berjuang demi ibu Pertiwi. Dian mendekati peti mati milik suaminya. Di lihatnya wajah itu untuk terakhir kalinya. Begitu teduh. Ia tersenyum getir.

"Lihat sayang, papa kamu", katanya pada bayi kecil yang ada dalam pelukannya.

Orang-orang mulai bernyanyi. Senandung sendu lewat sebuah lagu rohani katolik. Pastor mulai memimpin doa-doa untuk pemakaman itu. Setelah semuanya selesai, peti itu kembali di tutup. Ucapan bela sungkawa mengalir dari mana-mana. Mengingat mendiang Linus memang terkenal sangat ramah dan baik hati.

Pukul 13.11 waktu Indonesia barat. Upacara pemakaman mulai di lakukan. Penyerahan jenazah kepada negara. Saat ini negara lah yang akan memakamkannya dengan segenap bentuk penghormatan. Setya ikut ambil peran sebagai pembawa peti jenazah.

"Langkah... Perlahan majuuuuuuuu.... Jalan!!!", Teriak salah satu diantara mereka.

Orang-orang itu mulai melangkah dengan langkah perlahan. Membawa jasad itu pada peristirahatan terakhirnya. Mereka sampai pada sebuah liang yang akan menjadi rumah terakhir Linus. Segala bentuk penghormatan  dilakukan.

"Hormat senjataaaaa.... Grak!"

Dor...
Dor...
Dor...

Senapan itu mulai di tembakan ke langit. Bentuk penghormatan terakhir dari negara kepadanya. Setelah semuanya selesai, pendeta pun kembali membacakan doa-doa. Terlihat disana. Sebuah simbol salib dengan tulisan Rip Marlinus Tiahahu. Komandan tentara republik Indonesia yang hadir segera memberikan ungkap kata terima kasih sebesar-besarnya kepada almarhum. Setelah itu, pria itu mendekati dua orang wanita yang berada di bawah pohon Kamboja.

Satu orang itu duduk diatas kursi roda dengan menggendong seorang bayi. Di belakangnya seorang wanita paruh baya tampak mengusap lembut punggung wanita yang duduk di kursi roda itu.

"Ibu, suami ibu adalah prajurit terbaik bangsa ini maka dari itu kami atas nama tentara republik Indonesia memberikan sebuah penghargaan dan mengangkat pangkat suami ibu dari Sersan kepala menjadi sersan mayor", katanya.

Kemudian ia memberikan sebuah penghargaan. Sebuah lencana. Kemudian upacara selesai. Orang-orang mulai kembali pulang. Beberapa ada yang langsung pulang ke rumah. Tapi banyak juga yang pulang ke rumah duka.

"Mba Dian", kata Setya setelah mereka sampai di ruang tamu rumah Linus.

"Ya, ada apa?", Katanya.

"Saya turut berduka cita"

"Terima kasih", katanya sambil tersenyum.

"Abang menitipkan sebuah nama pada saya untuk menamakan nama anak kalian"

"Dia tidak akan pernah lupa. Itu yang ku suka darinya", katanya. Dian tampak tersenyum getir.

"Namanya Mediterania princessita Tiahahu. Ia berpesan katanya agar anaknya di beri nama itu agar kelak anaknya tau dimana ayahnya pernah berjuang. Di dekat laut Mediterania"

"Dia anak pantai. Dia suka pantai. Dia juga suka laut"

"Ya, Abang selalu menatap laut dari markas kami menggunakan teropong. Di lantai atas"

Dian tersenyum kembali. Mengingatnya begitu indah. Ia pun bersyukur dapat menikahi pria itu. Ia seorang yatim piatu, namun tidak lagi setelah ia bertemu Linus. Hidupnya jauh bermakna.

"Kamu tau? Saya seorang yatim piatu tapi tidak lagi saat bertemu dengannya. Pertemuan kami sangat singkat. Saya tidak mengajar di panti asuhan yang kalian sering kunjungi di bandung. Tapi itulah rumah saya. Dia berkata ingin membantu saya pindah dari sana. Dia mengajukan surat nikah, saya terkejut. Kemudian mama datang ke panti dan melamar saya untuk anaknya"

Dian menatap seorang wanita paruh baya di sampingnya. Wanita itu menatapnya lembut. Kemudian mengusap bahunya begitu lembut. Hanya wanita itu saja kini yang menemaninya dengan putri kecilnya.

"Linus juga beruntung miliki ko sebagai istrinya. Ko sayangi dia sepenuh hati, Dian", kata wanita itu.

Dian memeluk wanita paruh baya itu. Ia masih beruntung memilikinya. Wanita itu mertuanya, tapi kasih sayangnya jangan ditanya. Maria mengasihi Dian bak putri kandungnya sendiri. Ia tak memiliki apapun kecuali putranya. Entah bagaimana jadinya jika Dian tidak ada. Mungkin ia akan sendiri dalam hari tuanya. Menantu perempuannya pun sangat menghormati nya. Terkadang mereka sangat kompak. Terlihat seperti anak dan ibu kandung.

"Biar mama yang gendong Medi. Ko pasti capek", kata mama Maria.

"Medi?", Tanya Dian.

"Ko pung anak bernama Mediterania ko? Kita panggil Medi saja. Cantik", katanya.

Sebersit senyum tersungging di wajah Dian. Wajahnya ayu. Sangat. Darah keturunan Sunda murni. Putih bersih sangat manis. Memanggil nama itu semuanya terasa indah. Seakan Linus masih bersama mereka. Setya menggenggam tangan Adriana yang duduk di sampingnya dengan erat. Sebuah doa terbesit di sana. Doa yang selalu ia semogakan agar mereka cepat segera bersanding. Mengatasnamakan cinta untuk ibadah kepada-Nya.

Antara LebanonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang