Mentari kembali bersinar. Pagi mulai menjelang. Bersama kicauan burung-burung yang terus berbunyi nyaring. Kendaraan-kendaraan itu kembali memasuki sekolah. Anak-anak yang tengah berlarian terhenti. Diantaranya segera memasuki kelas. Mereka tak sabar bertemu para guru-guru baru yang menyenangkan.
Para relawan itu di sambut baik oleh ibu Rukma dan beberapa guru lainnya. Seperti biasa, mereka akan tersenyum sangat ramah. Menyapanya, sekedar bertanya kabar atau apapun itu. Cukup ramah. Membuat nyaman. Para relawan itu masuk di iringi oleh para guru. Ibu Rukma menggandeng tangan Adriana. Adriana nampak sedikit terkejut. Tapi cukup menyenangkan untuknya. Ia tersenyum pada ibu Rukma begitupun sebaliknya.
Mereka memasuki gedung. Seketika mata Adriana membelalak. Ia menatap seorang gadis yang juga menatapnya. Tatapannya terus beradu. Tak ada yang dapat mereka katakan. Gadis itu tampak mendekati Adriana. Masih dengan menatapnya. Ia begitu terheran.
"Elena...", Kata ibu Rukma.
Elena masih terus berjalan hingga ia berada di depan Adriana. Keduanya masih saling menatap. Tak percaya dengan apa yang mereka lihat satu sama lain. Mereka seperti tengah bercermin. Bahkan suasana di kelas menjadi tak menentu. Bagaimana dua gadis itu sangat mirip. Padahal tak ada ikatan apapun dari keduanya.
"Siapa kamu?", Kata Elena.
"She is Adriana, Elena. Adriana, She is Elena", kata ibu Rukma.
Keduanya saling terdiam bertatapan. Masih tetap bingung dengan keadaan itu. Semua terasa tidak mungkin. Tapi apalah daya ketika Allah telah berkata 'kun faya kun' maka terjadilah.
Adriana. Yah, nama itu. Nama yang sering disebut oleh Setya. Elena menatap Setya. Ia tengah terdiam di ujung sana. Apakah ini gadis yang di katakan Setya. Apakah dia adalah Adriana. Apakah nama itu memang miliknya. Ia masih menerka tak percaya. Bagaimana bisa. Mereka masih terdiam membisu. Kaku untuk memulai bicara.
"Adriana, Elena is my grand daughter"
Adriana menatap ibu Rukma. Kemudian tersenyum dan mengangguk. Begitu cantik. Begitu indah. Senyumannya begitu menyenangkan. Menenangkan siapapun yang melihat. Adriana kembali menatap Elena. Ia tersenyum pada gadis itu. Adriana mengulurkan tangannya. Tanda akan berjabat tangan. Namun Elena terlihat jengah. Ia pergi dari hadapan gadis itu.
Entah mengapa Elena tidak menyukainya. Ia tidak suka orang yang selalu di sebut Setya berada disini. Lebih dekat dari Setya. Ia tak suka wajahnya sama mirip dengan orang itu. Ia pergi entah kemana. Mencari ketenangan.
"Elena.."
"Elena.."
Teriakan ibu Rukma beberapa kali masih tidak menghancurkan niat gadis itu untuk berhenti. Elena berjalan semakin cepat. Setya hendak mengejarnya. Namun ibu Rukma segera mencegahnya.
"No.. No sergeant", katanya.
Ibu Rukma mulai membuka kelas. Ia mulai menghangatkan suasana kelas sehingga tidak setegang sebelumnya. Anak-anak memulai pelajarannya. Begitu juga para relawan yang tengah bersiap menyebarkan ilmu untuk mereka. Anak-anak mulai antusias kembali.
____________________________________Elena berlari sekuat tenaga. Ia tak peduli lagi dengan apapun. Ia benci segalanya. Ia tak pernah membenci orang lain. Hari ini ia benci seseorang. Perasaannya tak menentu. Antara benci atau ketakutan. Ia takut Setya akan terus bersama Adriana dan tidak memperdulikannya lagi. Entah perasaan macam apa itu. Ia benci pada Adriana yang bisa sedekat itu dengan Setya. Ia benci mengingat semua kata Setya yang melibatkan Adriana.
Ia menangis. Untuk pertama kalinya ia menangis untuk seorang pria kecuali ayahnya. Ia masuk ke dalam kamarnya. Menutup pintunya dengan sangat kasar. Mehlek segera menghampirinya. Rasa takut mulai menyelinap. Di peluknya putri kesayangannya itu.
"Elena ada apa sayang?", Katanya.
"Anne...."
Elena terus memanggil-manggilnya. Mengadu pada ibunya seperti anak kecil. Elena memeluknya begitu erat. Dadanya terasa begitu sesak. Lebih sesak daripada di tikam.
"Elena katakanlah sayang. Jangan membuatku khawatir"
"Anne aku takut Anne..."
"Apa yang kau takutkan sayang. Ada Anne disini"
Elena masih menangis. Mengerung keras. Ia benci d t. Untuk pertama kalinya ia benci dirinya sendiri. Ia benci wajahnya. Entah harus pada siapa ia mengutuki dirinya yang begitu identik dengan gadis yang disana. Gadis bermata cokelat itu. Ia benci. Sangat benci.
____________________________________"Hmmm uhuk... Uhuk..."
"Adriana? Kamu kenapa..?"
Adriana menggelengkan kepalanya. Debu memang membuatnya lemah. Seusai mengajar hingga kini ia masih saja terbatuk-batuk. Tenggorokannya seperti tercekat. Tidak seperti hari kemarin, ia akan terasa lebih baik saat beristirahat di dalam ruangan. Namun hari ini berbeda. Ia masih merasakan sakit meski sudah sampai di markas.
"Kita ke medis cube?", Kata Setya.
"Tidak perlu. Aku baik-baik saja"
"Mau minum?"
Adriana mengangguk. Setya segera beranjak dari duduknya. Ia mengambilkannya segelas air minum. Setya menyodorkannya pada gadis itu. Adriana meraihnya. Meminumnya tanpa ampun. Kini kerongkongannya benar-benar kering. Ia meneguknya. Air itu mulai membasahi kerongkongannya. Rasanya sejuk. Namun masih terasa sakit. Perih.
"Mau minum lagi?"
Adriana menggeleng. Ia masih memijat lehernya perlahan. Tenggorokannya benar-benar sakit. Matanya sedikit kabur. Entah apa alasannya. Adriana terjatuh. Tubuhnya lunglai. Ia terjatuh begitu saja. Tanpa pikir panjang Setya segera mengangkat tubuh itu. Membawanya ke medis cube. Keadaannya akhir-akhir ini sangat mengkhawatirkan.
"Dokter, tolong"
"Letakkan disini", kata seorang pria lengkap dengan masker dan alat pelindung diri lainnya.
Beberapa orang datang dengan alat pelindung diri yang sama. Setya segera keluar. Ia tahu apa yang seharusnya ia lakukan. Ia bukan paramedis. Tapi ia seorang tentara. Tentu ia tahu apa yang harus ia lakukan. Dokter lebih tau daripada dia.
Dua puluh menit...
Tiga puluh menit...
Empat puluh menit...
Empat puluh lima menit sudah. Setya masih menanti di ruang tunggu medis cube. Ia masih duduk tenang disana. Berdoa pada Tuhan agar tak ada apapun pada Adriana. Tiba-tiba pasukan baju putih itu keluar. Hanya satu yang masih ada di dalam sana. Yang lainnya sibuk berbaris di tengah malam seperti ini. Setya hendak menghampiri namun sepertinya pria berbaju putih yang ada di dalam sudah keluar. Ia menghampiri Setya. Setya segera beranjak dari duduknya. Pria itu masih menggunakan maskernya.
"Maaf sersan saya harus tetap menggunakan masker saat berbicara dengan anda. Anda membawa nona...."
"Adriana"
"Yah Anda membawa nona Adriana kemari kemungkinan besar anda sudah berinteraksi atau terjadi kontak langsung dengan nona Adriana"
"Apa yang terjadi?"
"Itu bukan suatu penyakit biasa. Itu penyakit langka. Bahkan itu adalah sebuah wabah. Sersan saya meminta anda memakai alat pelindung diri begitu juga tentara yang lainnya. Kami akan mengadakan pemeriksaan pada kita semua"
"Adriana... kenapa Adriana?"
"Nona Adriana terinfeksi Difteri"
"Apa itu?"
"Sebuah penyakit langka yang hanya menyebar di daerah konflik. Saya yakin betul bahwa nona Adriana terkena Difteri saat ia sudah tinggal disini. Masalahnya saat check kesehatan dan daftar kesehatan lainnya ia positif sehat"
Setya luruh seketika. Kenapa harus Adriana. Kenapa bukan ia saja. Kenapa harus gadis itu. Ia tak sanggup. Ia tak sanggup lagi menopang tubuhnya. Bagaimana bisa gadis itu. Adriana adalah seorang yang kuat. Ia tau itu. Kenapa harus dia.
KAMU SEDANG MEMBACA
Antara Lebanon
RomanceKetika perasaan cinta menggetarkan hati seorang Bintara muda, Sersan satu Setya Susanto. Akankah itu cinta atau rasa kagum pada seorang psikologis Adriana Iswara yang tiba-tiba hadir dalam hidupnya tanpa terduga. Akankah keberanian dan kelembutan Ad...