Dia Prajurit Terbaik

4.7K 323 3
                                    

BIP...
BIP...
BIP...

Suara alat-alat medis menggema. Adriana duduk di samping ranjang. Membaca surat balasan dari Galih. Betapa senangnya ia mendapati balasan surat dari bocah itu. Kini bocah itu telah bersekolah. Ia bisa membaca dan menulis meskipun menggunakan huruf braille. Ia bisa bercanda dan berkomunikasi dengan orang lain. Semuanya terasa normal. Adriana tersenyum. Ia melipat kembali kertas yang baru saja ia baca.

Matanya memandang seseorang yang ada di depannya. Entah bagaimana ia akan berkata. Dalam hatinya sedikit sesak. Sejak kemarin lusa ia terus duduk di tempat itu. Banyak bercerita pada orang yang tengah tertidur di ranjang.

"Terima kasih Abang...", Gumamnya.

Tak ada jawaban. Tentu dia tahu. Orang itu tak mungkin bangun dan mencandainya seperti hari-hari lalu. Saat semuanya tidak peduli padanya, justru Linuslah orang yang peduli. Dia juga adalah orang yang khawatir saat Adriana terserang difteri. Tidak ada yang tahu beberapa kali Linus datang ke ruangan Adriana. Ia banyak bercerita tentang Setya dan lainnya. Tentu saja Adriana ingat. Walaupun tubuhnya tengah tertidur dalam balutan alat-alat medis, ia tetap dapat mendengar suara Linus dengan logat khas timurnya.

"Lucu yah Abang, kemarin saya yang ada di posisi Abang. Tapi sekarang Abang. Tapi Abang pasti akan bangun seperti mana saya"

"Oh yah, saya dengar Abang sudah memiliki anak perempuan? Siapa namanya? Mediterania? Kenapa Abang beri nama itu? Tapi cantik sih"

"Abang terima kasih sudah mengantar suratku dan mengambil balasannya. Saya sangat bersyukur mengenal Abang"

"Abang sudah tiga hari Abang tertidur, memang Abang tidak lelah? Di tembak peluru pasti sakit yah? Hmmm mungkin jika Abang bangun, Abang akan bicara banyak sekali pada saya seperti hari itu. Hari dimana saya tertidur seperti Abang. Terima kasih Abang, sudah peduli pada saya"

Adriana terdiam. Ia bingung harus mengatakan apa lagi. Tiba-tiba terdengar sebuah langkah kaki. Langkah itu terhenti tepat di samping Adriana. Adriana menatap lelaki itu. Dia bukan Setya.

"Dia belum sadar?",tanyanya.

"Belum"

"Bagaimana keadaanmu?"

"Baik. Sersan sendiri?"

"Sudah sangat baik"

Sersan Yuwono menarik sebuah kursi. Ia duduk di samping Adriana. Mereka sama-sama terdiam. Terbingung dalam pikiran masing-masing.

"Maaf", katanya.

"Untuk apa?", Tanya Adriana.

"Kamu sakit karna saya"

"Saya sudah mendengarnya. Dan itu bukan salah sersan. Saya sudah mengerti semua alasannya. Saya mendengarnya"

Sersan Yuwono terdiam. Ia merasa sangat kikuk. Canggung. Terbingung atas apa yang ingin ia katakan pada gadis itu.

"Orang yang tertidur seperti Abang Linus atau seperti saya mendengar semua perkataan kita. Walaupun dia tertidur. Tapi dia mendengar semuanya. Itu sebabnya sedari tadi saya terus bicara padanya"

"Dia prajurit yang hebat"

"Ya"

"Dia adalah seorang abang yang penyayang"

"Ya"

"Suami yang baik dan setia"

"Ya"

"Saya permisi"

"Ya"

Pria itu tampak beranjak dari duduknya. Ia menatap Adriana sekilas. Kemudian menatap teman satu perjuangannya. Ia menghormat pada tubuh lemah disana. Kemudian ia memukul bahu Adriana dengan lembut.

"Sersan", kata Adriana.

"Ya"

"Hati-hati. Jangan lupa memakai alat pelindung diri. Jangan lepaskan maskermu saat bertugas"

Sesungging senyuman tergambar pada raut wajahnya. Dua lesung pipi milik sersan Yuwono terlihat jelas. Pria itu tersenyum dengan tulus. Hal yang tak pernah ia lakukan kecuali pada putri kecilnya, Sarah.

"Ya. Terima kasih, Adriana"

Langkahnya terdengar menjauh. Ia berlalu dari tempat itu. Kini hening seketika. Tak ada yang bicara lagi. Masih terdengar alat-alat medis. Pekak. Menyeru pada seantero ruangan. Adriana menghela napas. Ia menyandarkan tubuhnya.

Bip...
Bip...
Bip...

Suara itu masih terdengar. Bahkan selalu terdengar. Adriana memejamkan matanya. Sebentar lagi tugasnya akan selesai. Ia sudah berpamitan pada Elena, ibu mehlek dan nenek Rukma. Ia bahkan sudah berberes dengan semua bara-barangnya. Pergantian para Garuda Indonesia juga sudah terjadi. Setya telah pulang sehari yang lalu. Sebenarnya pria itu enggan untuk pulang.

Tapi Adriana yang meyakinkannya. Ia akan menjaga Linus dan semuanya. Ia meyakinkan pria itu jika semuanya akan baik-baik saja termasuk dirinya. Linus belum juga siuman. Rasanya sudah tiga hari Adriana terus menantinya bangun dan tersadar.

Bip...
Bip...
Bip...

Bip...
Bip...
Bip...

Bip..

Bip..

Tidak!
Suara alat-alat itu mulai melemah. Adriana mulai kalap. Ia melihat monitor yang ada di meja nakas. Garis-garis itu membentuk sebuah garis dan gunung. Namun kini tidak beraturan. Tidak lagi stabil.

"Dokter!! Dokter!!"

Dokter Evan datang dengan tergopoh-gopoh. Ia segera memeriksa keadaan pria itu. Keadaannya genting. Sangat. Dokter Evan segera memanggil para medis lainnya untuk membantu menangani Linus.

Bip...

Bip...

Suara itu semakin melambat. Tidak beraturan. Dokter muda itu meraih alat pemacu jantung. Sesegera mungkin ia mulai mereaksi kan alat pemacu jantung tersebut. Seketika mereka menyalakan defribillator. Tubuh itu melonjak saat defribillator itu mengenai tubuhnya.

Beberapa kali. Dokter Evan terus mencobanya. Ia terus mencobanya. Perasaannya begitu takut. Ini bukan pertama kali ia menghadapi kasus semacam ini. Tapi entah mengapa, hari ini ia merasa sangat takut. Ia tak pernah gagal dalam menyembuhkan pasiennya.

Bip...

Bip...

Bip...

Tiiiinnn...........

Tapi semua kehendak Tuhan. Pagi ini, pukul 10.02 waktu setempat. Tuhan telah memanggil prajurit terbaik dari markas besar tentara republik Indonesia. Marlinus Tiahahu, telah berpulang ke sisi Tuhan. Garis lurus pada layar monitor menunjukan tak ada nyawa dalam tubuh itu.

Tangis Adriana pecah. Semuanya tidak baik-baik saja. Linus telah berpulang. Ia luruh. Ia menyaksikan kepulangan prajurit gagah dari timur itu. Dokter Evan lunglai seketika. Ia melihat kematian di depannya. Ia rapuh. Sungguh. Dokter Rony menepuk bahu dokter Evan. Mereka tak mematikan alat-alat itu. Prosedur wajib medis saat seseorang di nyatakan meninggal. Dokter Rony menatap arlojinya.

"Waktu kematian, pukul 10.02 pagi, waktu setempat"

Seorang perawat mencatat apa yang di katakan dokter Rony dalam catatannya. Dokter Rony segera berlalu. Bersama para medis lain. Hanya dua orang yang tersisa. Hanya dua orang. Dokter Evan dan Adriana. Dokter Evan menghampiri gadis itu. Ia menyejajarkan tubuhnya dengan gadis itu.

"Anda harus kuat", katanya.

"Yah.. yah... Dia tentara yang hebat"

Adriana tersenyum getir. Ia menghapus bulir air yang membasahi pipinya. Ia akan pulang bersama yang lain. Ia akan pulang bersama peti mati. Rasanya sesak. Sangat. Ia tak mampu lagi berkata-kata. Suaranya hampir tercekat. Bagaimana ia akan mengatakan semuanya baik-baik saja pada Setya. Bagaimana ia akan mengatakan ia baik-baik saja pada dirinya sendiri.

Adriana beranjak. Ia mendekati tubuh itu. Tak ada lagi nyawa dalam raganya. Kaku. Pucat. Dingin. Ia menghormat. Tanda penghormatannya pada sang pejuang. Hanya Linus yang gugur. Hanya dia.

Antara LebanonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang