Setya turun dari mobil-mobil pick up. Ia telah membagi pasukannya menjadi tiga kelompok. Kelompok pertama akan pergi ke sekolah di dekat kaki gunung di sana. Kelompok kedua akan tetap tinggal di markas. Sekedar berbenah atau membersihkan markas. Dan kelompok terakhir akan berjaga-jaga di tempat-tempat yang telah di tentukan. Setya ikut ke dalam kelompok pertama. Dimana ia harus pergi mengunjungi sekolah itu. Bangunnya seakan bukan bangunan sekolah. Karena bangunan itu lebih mirip dengan gereja tua.
Dindingnya sudah usang dengan lumut-lumut di sana. Tapi tetap kokoh dengan arsitektur nya yang cukup kuat. Orang-orang mulai menyambut mereka disana. Mereka tampak tersenyum ramah. Wajah-wajah itu sangat bersahabat. Menyenangkan.
"Hello, my name is Setya I'm a sergeant. I volunteer from the Indonesian army. we came here to help teach the children here"
"Yeah, we are know that. Your commander's head has told you of your arrival here. I am very grateful. my name is Rukma, you can call me Mom rukma. I'm a principal", kata seorang wanita paruh baya di sana.
"Nice to meet you mom"
"Nice to meet you too sergeant"
Setya menjabat tangan wanita paruh baya itu. Tangannya begitu lembut. Dengan keriputan halus di punggung tangannya. Menandakan pemilik tangan telah berusia. Ia dapat melihat umurnya dari balik wajah menyenangkan ibu Rukma. Wanita itu mungkin berusia 60 tahunan. Garis-garis pada wajahnya seakan tengah berbicara padanya sekarang.
"Come on sergeant. let's go inside and greet the children"
"Okay mom, thank you"
Setya mengikuti langkah kaki ibu Rukma. Langkahnya pendek namun sedikit cepat. Wanita itu rupanya masih sangat sehat di usianya yang bisa di bilang lanjut. Antusias anak-anak mulai menjadi-jadi. Ketika satu persatu anggota pasukan masuk ke dalam sekolah. Seperti dugaannya, sekolah ini hanya mengajarkan dasar-dasar sekolah. Membaca, menulis, dan sedikit pengetahuan umum. Tak ada banyak kelas. Hanya satu kelas dengan segerombolan anak-anak yang sangat banyak. Dengan usia mereka yang berbeda-beda. Justru itu tidak baik jika di sebut sebagai sebuah sekolah. Kini gedung itu akan lebih pantas di sebut sebagai panti sosial. Sungguh sesuatu yang sangat miris.
Wajah-wajah itu tampak begitu polos dan lugu. Seakan sorot-sorot mata malaikat sedang menatapnya ketika Setya mulai memasuki ruangan itu. Tak ada riuh dari anak-anak. Anak-anak cenderung diam dan memperhatikan mereka. Mereka seperti sesuatu yang sangat baru bagi mereka. Sebab, jarang juga ada relawan yang mau singgah sebentar ke tempat itu.
Setya mulai bicara. Memperkenalkan diri bersama relawan yang lain dalam bahasa Inggris. Tapi sayangnya anak-anak itu tidak mengerti. Sehingga ada seorang yang menerjemahkan apa yang Setya katakan. Setya tertegun. Si penerjemah itu. Wajahnya. Ia benar-benar sangat terkejut mendapati hal itu. Si penerjemah menatap Setya. Ia tersenyum sembari mengangguk. Setya masih di buat heran.
"Adriana..", katanya lirih.
Wajahnya begitu mirip. Seakan dua gadis itu adalah saudara. Tapi bagaimana mungkin. Antara Adriana dan si penerjemah memiliki wajah yang sangat mirip. Seakan mustahil hal itu terjadi. Kecuali mereka di lahirkan di rahim yang sama.
Ia langsung membuang jauh-jauh pikirannya. Satu-satunya hal yang ia dapat lakukan adalah, mencari jawabannya sendiri. Setya mulai bertekad. Ia akan menanyakan langsung kepada si penerjemah.
____________________________________"Excuse me"
"Ya sergeant?"
"Can i ask you something?"
"Of course"
Gadis itu beranjak dari tempatnya. Berdiri di depan sersan muda di hadapannya. Sungguh senyuman itu sama. Ia dapat melihat wajah Adriana disini. Benar-benar sangat mirip.
"Setya", katanya dengan datar. Wajahnya tak mampu tersenyum. Bahkan ia terlihat sangat gugup.
Gadis itu tersenyum. Membuat Setya mengerti satu hal perbedaannya dengan Adriana. Gadis ini lebih mudah tersenyum dari Adriana. Tapi tetap saja Adriana yang mampu menaklukan hatinya. Entah mengapa.
"Elena"
"Good name"
"Anne bilang, Baba memberi namaku Elena artinya adalah bersinar"
Betapa terkejutnya sersan muda itu. Betapa tidak. Elena bisa berbahasa Indonesia. Ia membulatkan matanya. Memandang gadis itu tak percaya. Apakah yang ia dengar adalah benar. Namun yang ditatap rupanya tertawa renyah.
"Ya saya bisa bahasa Indonesia", katanya santai.
"Tapi bagaimana mungkin? Anda.. anda..."
"Mungkin saja. Apa yang salah. Awalnya memang saya tidak bisa tapi karna saya belajar maka saya bisa"
Setya melontarkan secercah tawa. Cukup menyenangkan rupanya bicara dengan gadis ini. Elena tersenyum dengan sangat lugu. Rambut panjangnya berkibas tertiup angin. Menutupi senyumannya yang ayu. Ia menyibakkan rambut panjangnya.
"Apa yang ingin anda katakan pada saya?", Katanya.
"Hmm... Hmmm saya mau bicara tentang kamu. Akankah kamu punya saudara?"
Elena terdiam. Raut wajahnya berubah. Entah mengapa. Rambut hitamnya berkibas lagi. Membuat wajahnya tertutup rambut-rambut panjang miliknya. Ia kembali menyibakkan rambutnya lagi. Kemudian menghela napas panjang.
"Entahlah"
"Maksudnya"
"Aku tidak tau"
"Lalu... Kamu tinggal dengan siapa di sini?"
"Anne"
"Anne?"
"Ibuku"
Setya terkekeh. Membuat gadis di hadapannya juga ikut tersenyum. Elena benar-benar mengingatkannya pada Adriana. Senyumnya, semuanya. Hanya rambut mereka yang berbeda. Rambut milik Elena cenderung hitam dan panjang. Berbeda dengan warna rambut Adriana yang cokelat kemerahan. Mata mereka sama bulat. Hanya saja warna bola mata itu yang juga berbeda. Adriana bermata cokelat indah. Sedangkan gadis di hadapannya memiliki warna mata hitam yang tajam.
Tapi sungguh wajahnya luar biasa mirip. Entah bagaimana Tuhan menciptakan dua insan semirip itu di belahan bumi yang berbeda.
"Sersan? Ada apa?", Katanya.
"Hmm tidak. Anda mengingatkan saya pada seseorang"
"Sungguh? Siapa?"
"Pada seorang gadis. Hanya saja kalian memiliki warna rambut dan warna mata berbeda"
"Kekasihmu?"
"Aku tidak tahu. Tapi terakhir
Aku telah mengatakan bahwa aku mencintainya"Elena tersenyum. Ia pernah membaca tentang kisah cinta. Tapi ia belum pernah merasakan cinta sama sekali. Bahkan ia tak mengerti perasaan apa itu. Ia semakin penasaran pada sersan muda itu. Hati kecilnya memintanya untuk lebih dekat dengan sersan muda itu. Entah mengapa.
"Sersan, anda tau? Saya senang sekali bisa berjumpa dengan anda. Kapan-kapan mampirlah ke rumah saya di seberang ladang itu", kata Elena sambil menunjuk sebuah ladang gandum yang cukup luas.
"Tentu", kata Setya sembari tersenyum.
Ia cukup banyak bicara dengan Elena hari ini. Mungkin esok hari ia akan lebih banyak bicara dengannya lagi. Setya pamit mengundurkan diri. Ia dan pasukannya akan segera kembali menuju pangkalan mereka. Tak begitu jauh memang. Tapi banyak pekerjaan yang menanti disana. Lambaian tangan-tangan kecil itu menghiasi kepergian para Garuda Indonesia.
Hingga akhirnya, bus-bus besar membawa para pejuang itu pergi dari sana. Elena masih menatap jalanan kosong. Jalan dimana baru saja di lalui seseorang. Sersan muda. Ia tersenyum mengingatnya. Entah mengapa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Antara Lebanon
RomanceKetika perasaan cinta menggetarkan hati seorang Bintara muda, Sersan satu Setya Susanto. Akankah itu cinta atau rasa kagum pada seorang psikologis Adriana Iswara yang tiba-tiba hadir dalam hidupnya tanpa terduga. Akankah keberanian dan kelembutan Ad...