Dokter Evan

4.9K 301 2
                                    

Seorang pria keluar dari medis cube. Ia menuju pada pusat sentral markas. Harus ada yang ia selesaikan. Ia mulai menyalakan sebuah tombol merah di sudut kotak. Ia mulai meraih sebuah mic disana. Ia tak peduli bahwa ia bukanlah seorang tentara. Ia tahu benar hanya tentara yang dapat mengumumkan lewat tempat ini. Tapi sisi dokternya telah menuntutnya melakukan itu. Ia harus menyelamatkan banyak nyawa.

"Saya Dokter Evan Radyadinata dari persatuan dokter seluruh Indonesia. Maaf sangat lancang menggunakan tempat ini, alat ini untuk pengumuman yang saya ajukan. Pengumuman ini sangat penting dan di harap seluruh orang yang mendengarnya dapat segera pergi dan berkumpul di depan medis cube. Terima kasih"

Ia meletakan kembali semuanya ke posisi semula. Dokter Evan membalikkan tubuhnya. Ia dapati seorang pria bertubuh kekar dan tinggi. Ia tahu benar bahwa ia telah melakukan suatu kesalahan. Tatapannya begitu dingin. Menusuk. Mencekam.

"Dokter pasti tahu hanya para TNI yang di izinkan membuat pengumuman disini"

"Ya"

"Lalu kenapa dokter melanggarnya"

"Saya hanya berbuat bijak mengingat saya adalah dokter"

"Berbuat bijak? Yang mana yang dokter maksud?!"

"Wabah. Ada wabah yang menyerang kita. Maka saya ingin memeriksa anggota kita"

"Hahaha omong kosong"

"Terserah anda. Serka... Yuwono", katanya sembari melirik ke arah seragam pria itu.

Dokter Evan berlalu dari hadapan pria itu. Ia harus segera pergi dari tempat itu. Tak ada yang ia pedulikan lagi. Selain melawan penyakit itu. Bukankah sudah kewajiban utama bagi seorang dokter untuk berperang dengan penyakit atau wabah apapun. Bahkan jika wabah itu yang menyerang dirinya sendiri, ia akan bersedia. Karna hidupnya telah di dedikasi untuk masyarakat. Tak pernah menyesal ia jika harus mati. Asalkan pasiennya selamat.

Rupanya orang-orang telah berkumpul di depan medis cube. Mereka bertanya-tanya apa dan mengapa mereka semua harus berkumpul di tempat itu. Terlebih lagi seorang dokter yang memintanya berkumpul. Setya terlihat sangat lesu. Wajahnya kusut tak bersemangat. Ia berbaris jauh dari pasukannya maupun para relawan. Beberapa menit kemudian, dokter Evan telah tiba di sana. Ia berdiri di depan para pasukan Garuda dan relawan lainnya.

"Maaf mengganggu malam kalian...",katanya.

Suaranya sangat berat. Tentu saja. Ia akan mengatakan sebuah berita buruk. Dokter Evan menghela napas. Rasanya berat sekali mengatakan hal itu. Tapi apa daya. Ia harus tetap mengatakannya.

"Kita tengah terserang sebuah wabah penyakit langka. Salah satu relawan kita telah terkena wabah itu. Jadi semua dari kita baik tentara, relawan atau medis harus melakukan cek darah dan kesehatan. Itu bukan penyakit sembarangan. Bisa di katakan langka dan cara penyebarannya bisa dengan kontak langsung penderita. Kemungkinan hidupnya kecil maka dari itu sebelum terlambat kita harus mencegahnya"

Orang-orang mulai kalang kabut. Penjelasan dokter Evan memang sangat mengerikan. Mereka pasti tau apa saja resiko yang di terima jika tinggal di daerah konflik. Tapi sama sekali tidak ada dalam pikiran mereka jika resiko itu terjadi. Entah bagaimana wabah itu menjangkit dan menular.

"Wabah apa itu dokter", tanya salah satu relawan.

"Difteri"

Semuanya terdiam. Mereka pernah mendengarnya sebelum itu. Tapi entah semacam apa penyakit itu. Mereka tak pernah melihat atau merasakannya. Apakah itu sebuah penyakit yang berbahaya dan mematikan. Yang jelas itu adalah sebuah resiko yang besar.

"Beta pernah dengar itu penyakit. Itu yang sangat langka itu ko?", Seloroh Linus.

"Benar. Difteri merupakan penyakit yang jarang dan bisa dikatakan langka. Cara penyebarannya sangat cepat. Gejala yang di timbulkan salah satunya adalah sesak napas, sakit di bagian tenggorokan, pusing, dan lama kelamaan penyakit ini akan melumpuhkan sistem saraf seperti gerakan tangan, ketajaman mata, dan sebagainya. Presentasi kematiannya sangat tinggi yakni 50% jadi setengahnya"

Antara LebanonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang