Sebuah ruang hampa. Luas dengan dinding putih yang terasa hening. Tak ada apapun disana. Persis yang di minta Adriana. Hanya sebuah benda. Hanya satu. Kursi plastik. Hanya itu. Tak ada lagi.
"Bagus", kata gadis itu kala menatap ruang hampa yang ia minta.
Adriana menatap lewat jendela kamar Galih. Semua penuh dengan kata andai. Andai saja anak itu dapat melihat. Menatap ke arah halaman luas dengan rumput yang hijau. Atau merasakan bunga-bunga cantik yang perlahan tumbuh di dekat kamarnya. Tapi semua sulit. Ia menghela napas. Berharap harinya akan bisa mengajarinya satu benda.
Galih masuk ke dalam kamarnya. Tangannya meraba-raba. Sudah Adriana duga sebelumnya. Ia pasti akan mencari-cari barang-barangnya. Ia terus meraba. Sedikit kesal dengan semuanya.
"Aarrgghh!!! Arrgghhh!!", Teriak Galih marah.
Adriana berjalan mendekatinya. Di dorongnya tubuh itu untuk duduk di kursi. Galih kesal. Ia marah. Ia berteriak menjadi-jadi. Adriana makin kalap. Ia ingin mengajari Galih lebih keras.
"Galih duduk! Ini kursi! Kamu harus duduk!", Nadanya tak kalah tinggi oleh teriakan Galih.
Dalam hatinya sulit untuk bersikap keras pada bocah laki-laki itu. Tapi ia tak ingin lagi. Ia tak ingin kelembutannya membuat kasih sayang. Suatu cinta yang erat hingga yang memilikinya bersedia menghilang demi Adriana.
"Galih! Duduk! Saya bilang duduk!", Kata Adriana tak kalah keras dengan suara erangan Galih. Berkali-kali bocah itu di dorong untuk duduk.
Setya menatap adiknya lewat celah pintu. Rupanya Adriana lupa untuk menutup pintunya. Setya kalap dalam amarah. Ia tak suka dengan sikap gadis angkuh itu. Bahkan ia sendiri tak pernah mendorong Galih sedikitpun. Matanya tersulut dengan kebencian. Belum sempat ia masuk, Adriana telah menyadari kedatangan Setya. Ia melirik pintu itu dengan sinis. Bukan pintu yang ia tatap. Melainkan sepasang mata hitam tajam yang menatapnya di balik celah pintu.
Dengan sigap, ia berjalan untuk menutup pintunya. Adriana berdiri di ambang pintu. Menatap bocah itu yang meronta dan mencoba memahami benda apa yang sebenarnya ada di hadapannya. Galih terus meraba, berteriak, terjatuh ketika hendak ia mendudukinya. Adriana menghela napas. Ia menutupkan kedua matanya sejenak. Ia kembali menatap bocah itu dengan sendu.
"Saya akan membantumu, Galih. Sebuah cerita akan indah pada ketika penulisnya adalah Tuhan. Dan saya percaya itu. Tuhan memiliki naskah indah untukmu , aku akan bantu menyelesaikannya",guman gadis itu dalam hati.
____________________________________Bruuuakkk...
Pintu itu tertutup tepat di hadapan Setya. Itu membuat jantungnya berpacu lebih cepat. Rasa amarah yang semakin menggebu, membuat napasnya tak teratur. Setya memukulkan tinju kecilnya ke dinding putih. Hampir tak bersuara. Tubuhnya luruh ke lantai. Ia menangis tanpa suara.
Perih, sesak, berat. Bagaimana ia dapat merasakannya. Tidak, seorang prajurit pantang menangis. Tak pernah kenal air mata. Setya menghapus air mata yang jatuh di pipinya. Buliran itu jatuh tak sedikit.
Ia bangkit dari duduknya. Sedikit sulit untuk berdiri. Tubuhnya sedikit goyah. Matanya terpejam. Air bening kembali menetes pada pipinya. Di hapusnya dengan kasar.
"Prajurit tidak kenal air mata. Pantang menangis, pantang putus asa",katanya.
Tubuh kekarnya kembali berdiri tegak. Begitu kokoh dalam balutan seragam lorengnya. Dalam hatinya banyak seribu tanya yang entah harus kemana ia akan menemukan jawabannya.
____________________________________Dua Minggu berturut-turut Adriana selalu datang ke rumah besar itu. Masih dengan kursi yang sama. Kursi plastik warna hijau. Entah bagaimana ia mengajari Galih. Tapi tak ada perubahan sedikit pun. Hampir saja ia ingin berhenti. Tapi rasanya Panji seperti ada bersamanya. Terus berbisik bahwa ia tak boleh berhenti begitu saja.
Adriana masuk ke dalam rumah besar itu. Suasananya tak seperti hari-hari biasanya. Riuh dan ricuh. Tidak seperti kemarin-kemarin. Terasa tenang dan sunyi. Suara teriakan terus bertalu dalam telinganya.
"Saya tidak percaya pada psikologis bodoh itu ma! Kita bisa undang psikologis manapun tapi jangan dia!",teriak Setya.
"Set, Adriana bisa mengubah galih", kata Yuni tak kalah keras.
"Apa yang bisa di andalkan ma?! Sudah dua Minggu. Bahkan 4 hari lagi saya akan pergi, tapi saya belum bisa melihat perubahan galih, saya hanya bisa melihat adik saya meronta ketika bersama gadis gila itu!",kata Setya dengan nada semakin meninggi.
Kesabarannya telah selesai. Amarahnya terus tersulut. Entah mengapa hari ini ia ingin sekali mengungkap seluruh amarahnya. Ia ingin pergi tanpa beban apapun dalam benaknya.
"Set.."
"Yang dikatakan Setya benar Tante... Saya gadis bodoh yang sok pintar. Saya tidak tahu menahu cara membuat galih mengerti. Saya hanya bisa menerka emosinya saja. Saya gadis gila yang berteriak-teriak kepada disabilitas. Tapi saya memiliki alasan melakukan semua itu. Saya memiliki harapan ketika melakukannya. Harapan dan usaha adalah suatu kesatuan yang tak dapat di pisahkan. Ketika harapan musnah maka usaha akan sia-sia. Ketika usaha tak ada maka harapan akan jadi angan semata", kata gadis itu tiba-tiba.
"Saya tak bisa mengajarinya lebih. Hanya sampai saat ini, mungkin", tambahnya.
Adriana membalikkan badannya. Hendak meninggalkan semua yang ada dalam sana. Ia berjalan pergi menjauh. Setya menatap punggung gadis itu. Entah mengapa ada rasa sesak ketika melihatnya pergi.
"Galih..!! Galih..!!", Teriak Yuni.
Adriana terhenti. Begitupun Setya tersadar dari lamunannya. Ia segera menatap ke arah yang di tatap Yuni. Adiknya berjalan meraba meja makan. Galih duduk di sebuah kursi setalah ia merabanya. Galih benar-benar 'DUDUK' di kursi itu. Tak pernah ia dapati Galih duduk diatas kursi.
Seakan-akan ia sudah mengerti fungsi dari benda yang di dudukinya itu. Sebuah keajaiban pertama yang hadir dalam hidup bocah laki-laki itu. Yuni berlari memeluk Adriana yang terdiam mematung. Tangis Yuni tumpah seketika.
"Kamu berhasil nak",gumamnya lirih.
"Bukan Tante, bukan aku. Inilah doa dan kepercayaan Tante. Janji-janji yang Allah Sabdakan di dalam kitab-Nya. Allah tak pernah ingkar pada umat-Nya", tegas Adriana.
Sepasang mata cokelat itu mengeluarkan air bening yang mengalir turun membasahi pipinya. Ia bahagia. Lebih bahagia dari siapapun. Ia percaya ketika melalui jalan yang gelap pasti akan ada sebuah cahaya meski hanya setitik. Ia berhasil. Usahanya tak sia-sia. Setidaknya galih tahu kegunaan satu benda. Akan banyak hal lain yang akan ia ajarkan pada Galih untuk esok dan waktu yang akan tiba.
Yuni mengusap air bening yang mengalir pada pipi Adriana. Rasanya seakan ia telah mengenal gadis ini sejak lama. Setya terus menatap kedua perempuan itu. Hatinya merasa begitu iba menatap Adriana. Air mata itu seakan menyayat hatinya. Bahkan ia tak mengerti apa yang sedang terjadi dalam dirinya. Jiwanya seakan beradu. Kekerasannya ingin Adriana pergi saat itu juga. Tapi nuraninya tidak. Seakan berkata lain. Dalam hatinya mengatakan Galih memang membutuhkan Adriana.
"Sekarang bagaimana Set?", Tanya Dwitomo menghapus kesunyian.
"Semua terserah pada mama!", Katanya. Ia beranjak pergi meninggalkan ruang itu. Langkahnya cepat namun terlihat gusar.
Ia menatap Adriana sekilas. Mata tajamnya menusuk mata cokelat lembut milik Adriana. Seperjuangan detik pandangan mereka berhadapan. Seperjuangan detik seakan ada gravitasi dalam diri Setya. Entah apa alasannya. Namun kekerasannya memacu dirinya untuk pergi. Ia melanjutkan langkahnya. Pergi meninggalkan ruangan yang telah hampa.
____________________________________Setya termenung sendirian. Ia menatap dinding hijau yang selalu menemaninya. Dinding yang tak pernah bosan ia tatap. Dinding yang selalu mengerti ceritanya tapi sayang, dinding tak pernah berbicara.
Pikirnya masih menggelayut. Tersudut beban yang begitu lancip. Ia kalut dalam ketakutan dirinya sendiri. Ia tak pernah takut mati. Tak pernah takut perang. Malah ia bahkan tak kenal kata takut. Tapi hari ini justru ada sesuatu yang membuatnya takut. Entah apa. Di dalam relung hatinya.
"Adriana..", gumannya
KAMU SEDANG MEMBACA
Antara Lebanon
RomanceKetika perasaan cinta menggetarkan hati seorang Bintara muda, Sersan satu Setya Susanto. Akankah itu cinta atau rasa kagum pada seorang psikologis Adriana Iswara yang tiba-tiba hadir dalam hidupnya tanpa terduga. Akankah keberanian dan kelembutan Ad...