Sebuah Amanat

8.5K 475 19
                                    

Ombak berdebur di pantai. Dengan senja begitu indah di langitnya. Angin mulai berhembus. Meniupkan rambut Adriana yang menjutai sebahu. Cokelat gelap warnanya. Namun itu bukanlah sebuah buatan. Rambutnya memang berwarna asli cokelat gelap.

Wajahnya tersinar cahaya senja dari langit. Begitu cantik. Seakan Tuhan sedang menurunkan bidadarinya ke bumi. Adriana menghela napas. Mengajari Galih seharian membuatnya sedikit penat. Ia ingin sejenak membuang lelahnya untuk sekedar menatap senja. Itulah mengapa kini ia berdiri dengan kaki telanjak. Menginjak pasir pantai yang basah. Sesekali kakinya terguyur air.

Dingin, namun sejuk. Seakan semua bebannya hilang saat itu juga. Terkadang ia akan tersenyum mengingat betapa senangnya ia mengingat waktu-waktu yang ia habiskan bersama mereka yang membutuhkannya. Terkadang ia terlihat kecewa, menyesal ketika sebersit kejadian bertahun lalu terlintas di benaknya.

"Saya tidak tahu anda suka kemari?", kata seseorang dari belakang Adriana.

Adriana terdiam. Ia tahu suara siapa itu. Itu adalah suara Setya. Yah, benar itu adalah suara Setya. Adriana masih diam tertegun. Sedikitpun ia tak bergerak dari tempatnya berdiri. Setya mulai menghampirinya. Ia berjalan untuk mensejajarkan posisinya dengan Adriana. Adriana masih terdiam. Tak bergerak sedikitpun.

"Maaf", kata Setya memulai.

Adriana menunduk. Ia tak mampu menatap pria yang berdiri di sampingnya. Ia ingin melupakan segala rasa sakit. Namun apalah daya, lidah lebih pedih dari sembilu, maka bekasnya pun akan lebih terasa daripada sayatan sembilu. Ia ingin memaafkan segalanya. Namun hatinya masih terluka.

"Saya tahu kamu marah"

Masih tak ada jawaban. Setya menatap gadis di sampingnya. Pipinya terlihat merona meskipun si pemilik masih menundukan wajahnya. Ada sebuah penyesalan dalam benaknya. Ia memang merasa telah begitu keras pada gadis itu. Setya menghela napas. Sebuah bentuk kekecewaan baginya.

"Saya hanya takut. Saya takut kehilangan. Kamu tau? Aku tak bisa selamanya menjaga adikku begitu orang tuaku. Tapi kamu tau Galih, yah...", katanya

"Saya hanya khawatir, takut, kecewa. Saya kecewa pada Tuhan. Mengapa dia ambil semua yang ingin Galih miliki, saya.. Saya...", tambahnya. Belum selesai kalimatnya air matanya telah menetes. Menuruni pipinya yang teelihat begitu kokoh.

"Saya pernah kehilangan seseorang yang paling berharga", Adriana mulai angkat bicara.

"Apa alasan saya membantu Galih? Yah, itu karna Panji. Saya melihat Panji dalam diri Galih. Bukan tanpa alasan saya berlaku sedikit kasar pada Galih. Panji pergi karna kasih sayang saya. Saya tak ingin kehilangan Panji untuk kedua kalinya... Saya benci kehilangan. Semua terasa menyedihkan. Saya peenah kehilangan orang-orang yang saya cinta berkali-kali. Saya tak ingin itu semua kembali lagi", jelas Adriana. Kali ini air matanya tak terbendung.

Setya menatap gadis itu. Hatinya ikut tersayat. Ia merubah posisinya berdiri. Ia menghadap tepat di hadapan Adriana. Di angkatnya wajah itu. Begitu cantik ia pandang. Ia menghapus bulir air bening di pipi Adriana. Ada rasa sakit ketika melihatnya menangis.

"Jangan menangis..", katanya.

Adriana mendongakkan wajahnya. Di tatapnya mata hitam tajam milik Setya. Ada rasa nyaman ketika kedua mata cokelatnya menatap Setya. Entah bagaimana itu bisa terjadi. Begitu saja. Seperkian detik. Tatapan mereka beradu.

"Adakah kamu mau berjanji?", tanya Setya.

"Apa?"

"Jaga Galih. Lusa saya akan berangkat untuk bertugas. Saya harap kamu bisa mengajarinya, anggap dia sebagai adikmu sendiri. Memang sulit. Tapi saya percaya kamu bisa. Dan maafkan saya, saya menyesal"

Antara LebanonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang