Berita Itu

4.7K 319 0
                                    

"kita turut berkabung atas berpulangnya rekan kita, komandan kita, saudara kita MARLINUS TIAHAHU harus gugur dalam baktinya kepada ibu Pertiwi. Dia adalah prajurit bangsa terbaik yang pernah ada. Maka dari itu, mari kita mengheningkan cipta sejenak", kata seorang pria yang berdiri di depan orang-orang berbaju loreng.

Orang-orang itu mulai menundukkan kepala mereka. Menyentuh dada sebelah kiri mereka. Mengenang kiprah seorang sersan kepala yang berjuang bersama ibu Pertiwi. Beberapa orang berkaca-kaca. Mereka tidak menyangka kepergian prajurit tangguh dari timur Indonesia itu. Sosoknya yang humor dan menyenangkan tentu tidak bisa di hilangkan dari ingatan mereka.

Setya terdiam. Ia seakan tidak percaya dengan apa yang di katakan komandannya di depannya. Linus tidak selemah itu. Ia pasti bertahan meski di dentum seratus ribu kali meriam. Tiga peluru saja tidak akan menghabisi nyawanya begitu cepat. Ia masih bergulat dalam pikirannya sendiri. Sungguh. Ia tidak rela jika laki-laki itu pergi. Ia tidak siap untuk kehilangan seorang Abang, sahabat sekaligus ayah baginya.

"Selesai"

Seluruh kepala itu kembali mengadah. Masih tersisa beberapa bulir air yang hampir saja keluar. Namun mereka tahan begitu kuat. Entah benar atau tidak berita itu. Yang jelas markas besar tentara republik Indonesia sedang berkabung. Sekali lagi mereka kehilangan seorang prajurit tangguh dalam misinya.

"Jenazah akan tiba besok pagi. Di mohon semua dari kita menyambutnya"

"Siap!", Kata pria-pria berpakaian loreng itu serempak.

"Bubar.. jalan!!"

Mereka menghormat. Melakukan gerakan bubar jalan dari seorang tentara. Sangat indah dan tegas. Kemudian berhamburan ke masing-masing tempat. Membicarakan kembali masalah itu. Akankah ada benarnya. Tapi jika komandan yang telah memutuskan pasti sudah mutlak dan tidak bisa di selidiki lagi. Orang-orang itu terus membicarakan kematian Linus. Lagi-lagi hal yang membuat Setya jengah. Ia tidak suka sebuah kematian saudaranya terus di ungkit-ungkit. Bahkan Linus sendiri pun tidak ingin mereka membicarakan kematiannya.

Ia tak bisa terus terdiam. Hatinya sungguh bergejolak. Perih. Sakit. Bahkan matanya terasa panas. Ia ingin mengeluarkan segala keluhnya. Ia takut. Sedih. Ia ingin menangis. Namun terbingung pada siapa ia akan mengadu. Ia terhenti. Benar. Saat tak ada lagi bahu untuk bersandar, masih ada lantai untuk bersujud. Saat tak ada orang untuk bicara, masih ada Allah yang senang mendengar kita mengadu. Setya melepas sepatu pdh miliknya. Ia berjalan ke tempat wudhu. Mushola batalyon tidak terlalu luas. Tapi cukup untuknya berserah diri.

Ia mulai membasuh dirinya. Air wudhu menyegarkan seluruh tubuhnya. Kemudian berlalu. Membiarkan diri pada sang pencipta. Hanya Dia sang maha pendengar hamba-Nya. Allah akan merasa sangat senang jika kita, hamba-Nya selalu pulang kerumah-Nya, mengadu dan berserah diri pada-Nya.

Dalam dua kali salam, Setya menyelesaikan solatnya. Tangannya mulai mengadah. Ia mulai merangkai kata pada sang maha pencipta. Berbisik pada bumi. Kapan lagi kita dapat berbisik pada bumi namun terdengar oleh langit, jika tidak sedang bersujud. Ia menangis. Menumpahkan segala keluh kesahnya yang telah membuncah.
____________________________________

Adriana menyandarkan dirinya pada jendela kaca. Ia menatap keluar. Awan-awan itu terlihat putih kebiruan. Sesekali ia tersedu. Menghapus air matanya. Ia duduk sendiri pada kabin pesawat. Sebenarnya tidak sendiri, hanya saja orang yang seharusnya duduk bersamanya tak dapat lagi duduk. Orang yang seharusnya berada di sebelahnya kini tengah berada dalam sebuah peti di sana. Di tempat khusus pesawat.

"Ada yang anda perlukan?", Kata seorang pramugari cantik yang ada di depannya.

Pramugari itu berperawakan indah. Berhidung ala Eropa, tapi tetap saja. Wajah Indonesia nya tidak dapat berbohong. Adriana menatap pramugari itu. Kemudian ia tersenyum sembari menggelengkan kepala. Sontak pramugari itu berlalu meninggalkannya sembari menebar senyum padanya.

Dokter Evan menatap Adriana dari tempat duduknya. Ia beranjak. Ia berpindah dari tempatnya duduk. Ia berada di samping gadis itu. Dokter Evan menepuk bahu Adriana dengan lembut. Seketika Adriana menatapnya. Gadis itu tersenyum. Indah sekali.

"Saya tahu apa yang anda rasakan", katanya.

Adriana tersenyum getir. Ia mengangguk. Dokter itu rupanya mencoba untuk menghiburnya. Tapi kesakitan itu rupanya masih mendalam. Mungkin ia baru mengenal Linus kemarin. Baru bicara padanya kemarin. Ia baru merasakan betapa menyenangkan saat sersan kepala itu bicara padanya. Ia baru merasakannya kemarin. Tapi rasanya, kemarin sudah cukup banyak menyiratkan perasaan sayang seorang adik pada kakaknya. Apalagi ia tahu bagaimana kiprah Linus bersama Setya. Tentu itu juga menjadi alasannya.

"Entah mengapa saya merasa begitu kehilangan. Baru kemarin. Tapi rasanya sudah sangat lama saya mengenalnya", seloroh Adriana.

"Dia memang prajurit hebat. Saya mendengar banyak kisahnya", sahut Dokter Evan. Keduanya terdiam beberapa menit. Tak ada yang memulai bicara.

"Saya... Evan", kata Dokter Evan dengan kikuk. Adriana menatapnya. Kemudian tersenyum. Lagi-lagi senyuman yang begitu indah.

"Adriana..."

"Elena benar-benar kakakmu?"

"Ya"

"Kalian mirip tapi berbeda", dokter Evan mulai terkekeh.

"Kami identik tapi tidak seluruhnya dokter"

"Jangan panggil dokter. Panggil saya Evan."

"Tapi saya sudah terbiasa sejak... Awal kali kita bertemu. Dokter yang menangani saya kan?"

"Yah... Okay kalau begitu", katanya.

Pria itu rupanya cukup membuatnya sedikit terhibur. Sedikit melupakan masalah apa yang terjadi. Itu terlihat baik untuk Adriana. Lagi pula, jika Linus tahu pun, ia tak akan membiarkan Adriana menangis karena kematiannya. Evan banyak bicara pada gadis itu. Ia menceritakan apapun yang ia bisa. Ia katakan semua yang ia telah lakukan. Kehidupannya, pekerjaannya dan semuanya.

Gadis itu tertawa. Terkadang ia terkekeh menanggapi lelucon dokter muda itu. Beberapa menit kemudian mereka terdiam. Tak ada lagi yang perlu di bahas. Rupanya Adriana tidak semeriah kakaknya. Ia pernah berbicara dengan Elena beberapa kali. Gadis itu cukup menyenangkan sebagai teman bicara. Pembawaannya yang ceria sangatlah menyenangkan. Berbanding terbalik dengan Adriana yang cenderung pendiam dan tertutup.

"Adriana...", Katanya.

"Apa hubunganmu dengan sersan Setya"

"Saya tidak tahu"

"Maksudnya?"

"Mungkin sebuah ikatan"

"Ikatan apa?"

"Dia berjanji akan selalu bersama saya. Dia berkata dia ingin menikahi saya"

Dokter Evan tersenyum getir. Rupanya gadis itu telah di lamar sersan itu. Pantas saja hubungan mereka sangat dekat. Pantas saja sersan itu rela melakukan apapun demi Adriana. Tak ada yang heran akan hal itu. Adriana memang pantas di perjuangkan. Siapa yang tak memperjuangkan gadis seanggun dia. Siapa yang tak akan memperjuangkan gadis seperti dia. Siapa yang tidak bersyukur bisa mendapatkan calon seperti dia.

"Dia beruntung", katanya.

Adriana tersenyum. Ia masih menatap jendela kaca. Senyumnya begitu indah. Dokter Evan begitu kagum. Betapa ia tak pernah melihat senyuman semacam itu. Senyumnya unik. Terlebih wajah anggunnya. Sungguh ciptaan Tuhan yang luar biasa.

Antara LebanonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang