Medan Tempur II

4.4K 313 3
                                    

Pukul 03.44 pasukan telah berhasil keluar dari gedung. Bom waktu telah di lemparkan. Gedung itu porah-porandah seketika. Beberapa orang penting yang di duga provokator juga telah di tahan. Gedung itu di lenyap kan karna banyak senjata api di dalamnya. Mereka takut jika gedung itu sampai di jamah oleh orang tak bertanggung jawab, bekas-bekas senjata itu akan jatuh pada orang yang salah.

Setya membawa Linus yang tertatih-tatih masuk ke dalam kendaraan darat pasukan perdamaian republik Indonesia. Kendaraan khusus yang biasa untuk mengangkut para tentara.

Dor...
Dor...
Dor...

Setya jatuh ke tanah seketika. Dagunya terbentur. Cukup keras. Darah segar mulai keluar dari mulut dan dagunya. Menetes, mengalir. Namun ada darah yang lebih dari itu. Tubuh Linus terkulai lemah. Darahnya mengalir. Tepat di bagian betis kanan, perut dan punggung kanannya. Ia tersenyum.

"Abang....!!!!!", Teriak Setya.

"Ko...mando!", Katanya.

Wajahnya masih tersenyum. Ia masih bisa tersenyum. Menunjukan barisan giginya yang putih dan rapi. Beberapa orang turun dari mobil. Mereka segera membantu membawa Linus masuk ke dalamnya. Rupanya para biadab itu tidak sesedikit yang telah tertangkap. Komando pasukan inti memerintahkan Setya dan pasukannya mundur.

Kini saatnya pasukan berikutnya yang akan bertarung. Mengingat tak mungkin sekali jika pasukan Setya masih maju. Banyak dari mereka yang telah terluka. Setya masih memangku kepala Linus pada paha kirinya. Orang itu rupanya begitu kuat. Entah mengapa ia bisa sekuat itu. Setya tak memperdulikan dagunya yang terus mengucurkan darah. Yang ia khawatirkan sekarang adalah orang itu. Orang yang masih tersenyum-senyum menatapnya.

"Eeee... Set..ya... Ko lap.. dulu ko pung.. luka lah. Ko pung... Dara manetes... Par... Beta.. pung wajah"

"Sudah diam! Saya pemegang kendali pasukan ini sekarang Abang! Jadi diamlah! Dan jangan menutup mata!", Katanya. Ia sedikit menahan tangis.

Linus terkekeh. Sungguh anak itu benar-benar telah menyayanginya. Setya telah menganggapnya sebagai kakaknya sendiri. Untuk menjadi dekat, Sebuah ikatan memang tidak memerlukan sebuah ikatan darah sekalipun. Hanya rasa sepenanggungan dan rasa cinta cukup untuk menyatukan segalanya.

"Eeeee.. Korang", kata Linus pada semua yang ada di dalam mobil itu.

"Hari ini.... Beta... Pung anak... Telah... Lahir... Beta... Jadi ayah..."

Semuanya terdiam. Beberapa ada yang menangis. Beberapa kali sudah Linus mencoba memejamkan matanya. Namun selalu saja. Setya menampar pipinya begitu keras. Ia tak membiarkan laki-laki berkulit hitam khas timur itu memejamkan mata sedetik pun.

"Beta kas.. nama... Medi... Terani...a.. Beta pung mama... Kata... Beta pung... Anak perempuan... Biarlah... Biarlah... Namanya lautan... Biar.. Biar dia ingat.. Dia pung papa... Pernah berjuang di sana"

Semuanya terdiam. Sebelum berangkat pun, Linus telah mengatakan hal yang sama beberapa kali. Ia mengatakan bahwa anaknya telah lahir, seorang perempuan. Tapi namanya belum jelas untuknya. Beberapa kali ia berkata bahwa ia akan menamai anaknya setelah pulang bertugas untuk misi itu.

"Mediterania... Princessita Tiahahu", katanya lagi.

"Princess... Putri koh? Putriku... Marga Tiahahu...", Katanya lagi.

"Eeeee... Setya! Atau korang lain... Ingat Bae... Bae.. kas tau par... Beta pung maitua..."

"Abang! Dia anakmu, maka beri tahu pada istrimu sendiri!", Seru Setya. Sekuat tenaga ia menahan tangis.

Bahkan ia tak bisa membayangkan jika hal yang sama dengan Linus terjadi padanya. Akankah ia sekuat itu. Apalagi, pria ini yang merelakan tubuhnya terkena peluru yang hampir menghujam otak belakangnya.
____________________________________

Orang-orang berbaju putih itu tengah sibuk. Mereka harus berjalan kesana kemari mengobati para tentara yang terluka. Dokter Evan datang bersama para medis lainnya. Mereka menurunkan Linus dari mobil. Pria itu hampir terpejam lagi. Lagi-lagi Setya menamparnya agar tetap terjaga. Linus hanya terkekeh menatap Setya yang penuh dengan raut wajah khawatir.

"Dokter... Beri Beta... Lima menit untuk bicara"

Dokter Evan terdiam. Ia membiarkan permintaan pasiennya itu. Lagi pula ia seorang dokter. Ia harus lebih bijak dalam menyikapi pasien masing-masing.

"Eeee... Setya! Jang ko nangis"

"Maaf bang! Semua karna saya abang harus menahan 3 peluru sekaligus. Peluru di punggung Abang seharusnya menancap di kepala belakang saya bang!"

Setya tak mampu lagi menahan air matanya. Untuk pertama kalinya ia menangis di hadapan atasannya. Linus terkekeh. Ia menampar Setya begitu saja. Terlalu lemah.

"Bersyukur Beta sedang sekarat... Kalo Beta sehat, habis ko"

"Tamparlah dalam keadaan sehat bang!"

Linus kembali terkekeh. Hampir saja ia kembali terpejam. Ia kuatkan segalanya. Pria itu masih sempat tersenyum. Memperlihatkan barisan gigi-giginya itu.

"Ingat apa kataku tadi? Sampaikan pada Beta pung maitua... Kas tau Adriana... Dia dapat balasan dari ko pung adik... Di lemari pakaian... Ini bukan salah ko... Ko tak perlu menangis seperti perempuan! Ko prajurit! Jang pernah nangis lai! Semua... Sudah suratan... Apapun... Yang terjadi! Jang kutuki dirimu sendiri!! Dokter boleh bawa Beta"

Dokter Evan serta para tenaga medis lain mulai mendorong ranjang dorong itu. Mereka membawa Linus ke dalam sebuah ruangan. Lamat-lamat mereka menghilang dari balik ruangan. Setya terjatuh. Ia luruh seketika. Sebuah tangan menepuk bahunya dengan kuat. Ia menatap tangan itu. Dokter Rony.

"Mari saya obati lukamu"

Setya terdiam. Dokter Rony mengulurkan tangannya. Setya meraihnya begitu saja. Mereka pergi ke sebuah ruangan. Dokter Rony menyiapkan segala perlengkapannya. Semuanya. Kasa, benang, obat merah, antiseptik, dan sebagainya. Ia mulai membersihkan luka Setya perlahan. Kemudian mulai memberikan antiseptik pada luka itu.

Luka itu cukup besar. Bersyukur hanya luka gores bukan luka sobek. Dagunya hanya di bebat menggunakan kasa putih agar darah terhenti dari dagunya. Dokter itu rupanya sangat jeli. Ia juga menemukan sebuah luka di punggung kanannya. Bajunya bahkan tersobek.

"Boleh saya robek pakaian anda sekalian?"

Setya mengangguk. Dokter Rony melakukan apa yang seharusnya. Ia mulai membersihkan luka di punggung Setya. Sebuah luka bekas melesetnya peluru. Robek. Cukup dalam. Dokter Rony menjahitnya beberapa kali.

"Semuanya baik-baik saja sersan", katanya tiba-tiba.

"Tidak"

"Apa yang terjadi?"

"Medan tempur akan selalu seperti ini. Pasti"

Dokter Rony mulai terdiam. Ia tak tahu harus bicara apa lagi. Sepertinya Setya memerlukan ketenangan. Bukannya mendengarkan ocehan dirinya. Ia mulai menutup luka itu dengan bebatan kasa. Setya beranjak setelah semuanya selesai.

"Terima kasih dokter. Saya harus pergi"

"Tapi... Tapi... Nanti luka anda, sebaiknya anda istirahat sersan. Jahitan di punggung anda tidak memungkinkan untuk bergerak banyak"

"Itu tugas tentara", katanya.

Setya berlalu meninggalkan dokter itu. Dokter Rony hanya terdiam. Ia tak mampu lagi mencegah sersan muda itu. Biarlah ia pergi seperti yang ia inginkan. Lagi pula memang itu adalah tugasnya. Dia tak bisa mencegah seseorang berbuat demi tanah airnya.

Antara LebanonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang