Elena terduduk di samping jendela kaca. Ia menatap luas kesana. Sepanjang yang ia tatap hanyalah hamparan Padang ilalang yang begitu lapang. Langit sepertinya terlihat cerah berbintang. Ia suka menatapnya ketika ada kebimbangan. Elena membuka jendelanya. Merasakan angin bertiup membelai rambutnya. Rambut hitamnya berkibas menutupi raut wajah cantik miliknya.
Ia menggenggam sebuah kotak kecil di tangan kanannya. Sudah dua hari sejak hari itu. Ia belum bisa berpikir apapun. Dokter Evan telah kembali ke tanah airnya kemarin. Meninggalkan sejuta tanya dalam dada Elena yang entah mengapa tak mampu ia jawab seorang diri.
Tok...
Tok...
Tok...Suara pintu berbunyi begitu nyaring. Elena mendengarnya. Ia terhenti dari lamunannya. Ia menerka siapa yang ada di balik pintu itu. Mungkin ibunya atau neneknya entahlah.
"Siapa?", Katanya.
"Ini Anne, sayang"
Elena segera beranjak dari duduknya. Ia berjalan untuk membukakan pintu. Benar saja. Ketika pintu terbuka, memunculkan seorang wanita paruh baya yang tersenyum hangat pada Elena. Senyuman yang selalu sama.
"Boleh Anne masuk?"
"Ya Anne"
Mehlek segera masuk ke dalam kamar putrinya. Baru ia sadari Elena bukan anak kecil lagi. Ia telah tumbuh menjadi gadis yang cantik. Elena menutup pintu kamarnya kembali. Kemudian mendudukan dirinya di tepi ranjang. Mehlek masih berjalan-jalan di sekitar kamar. Memandangi sudut demi sudut kamar. Ini bukan pertama kalinya. Tapi selalu. Kemudian ia berjalan mendekati putrinya. Ia duduk di samping Elena. Di tatapnya gadis itu dengan lembut.
"Kamu bukan anak-anak lagi Elena. Kamu sudah gadis. Adikmu juga akan menikah"
"Ya Anne"
"Demi Allah, Elena apa kamu juga tidak ingin menikah?"
Deg
Perkataan itu seperti sebuah bomerang bagi Elena. Entah mengapa perkataan itu seakan merasuk dalam hatinya. Siapa yang tidak ingin menikah? Pasti semua orang mendambakan hari itu. Hari dimana kita akan bersatu dengan teman hidup kita selamanya. Apalagi Elena seorang wanita. Wanita mana yang tak ingin di lamar dan menikah? Semua wanita bahkan telah merancang hari pernikahannya jauh sebelum calon imam mereka datang. Akan seperti apa hari itu, atau bagaimana acara pernikahan itu."Demi Allah saya juga ingin menikah Anne"
"Lalu?"
"Lalu apa?"
Mehlek terdiam. Sifat Aisha rupanya juga menurun pada Elena. Mehlek tahu bahwa Elena telah dilamar dokter Evan. Namun gadis itu belum menemukan jawabannya. Setelah mereka berdua pulang dari Padang ilalang, dokter Evan tidak langsung pulang. Ia mengutarakan niatnya kembali untuk meminang gadis bermata hitam itu kepada Mehlek ketika Elena telah masuk ke dalam kamarnya.
"Elena, jangan pura-pura tidak mengerti dan tidak tahu"
"Anne, saya benar-benar tidak tahu"
"Elena, katakan pada Anne. Dokter Evan melamarmu kan?"
Elena terdiam. Jantungnya juga seperti berhenti begitu saja. Bagaimana ibunya tahu mengenai hal itu. Tangannya semakin menggenggam kotak itu lebih erat lagi.
"Kamu sudah memikirkannya", kata Mehlek.
"Ya Anne, saya tidak ingin menikah dengan dokter Evan"
"Kenapa?"
"Saya tidak ingin meninggalkan Anne dan nenek"
Mehlek memeluk putrinya itu. Rasa sayangnya begitu besar untuk Elena. Bahkan ia rela melakukan apapun asalkan Elena tersenyum bahagia. Tentu ia juga ingin melihat Elena bersanding dengan seseorang. Evan mungkin hadir begitu saja. Sangat cepat. Tapi dalam hati kecilnya sebagai seorang ibu, ia pantas memiliki Elena. Laki-laki itu adalah seorang laki-laki yang baik dan bertanggung jawab. Tak ada alasan lain untuk menolak dokter Evan.
"Elena, demi Allah aku ingin melihatmu bahagia"
"Saya sudah bahagia disini"
"La Elena! La! Bahagiamu di sana. Di tanah kelahiranmu. Bersama adikmu dan seseorang yang demi Allah dia akan menyayangimu lahir batin"
"Anne sudah saya katakan. Saya hanya pergi jika Anne dan nenek pergi"
"Elena, tolong mengertilah"
"Anne juga harus mengerti"
Mehlek terdiam. Begitu juga Elena. Keduanya sama terdiam beberapa menit. Berbicara dengan Elena memang tak mudah seperti yang di bayangkan. Elena adalah seorang yang keras kepala. Entah dari siapa kedua anak gadis itu memiliki sifat yang sama. Mehlek menggenggam tangan Elena. Di usapnya dengan lembut.
"Elena, Anne tidak memaksamu. Tapi setidaknya pikirkan dirimu sendiri. Jangan orang lain. Kau pantas bahagia Elena. Sekali lagi pikirkan dirimu sendiri"
"Anne mencoba membuatku menjadi egois?"
"Tidak sayang, jika hal itu membuatmu berpikir bahwa Anne mengajarkanmu egois. Setidaknya pikirkan Evan. Mengenai masa depan laki-laki itu. Dia sudah menceritakan semuanya pada Anne. Kau rela dia melajang seumur hidupnya? Pikirkan lagi mengenai adikmu, Adriana. Dia jauh lebih bahagia saat kakak kandungnya yang selama bertahun-tahun terpisah dapat hadir dalam acara pernikahannya"
Elena terdiam. Suasana kembali hening. Hanya ada suara hewan-hewan malam yang tengah bernyanyi. Mehlek beranjak dari duduknya. Ia menepuk bahu Elena dengan lembut. Kemudian berlalu meninggalkan gadis itu. Membiarkannya sendiri untuk berpikir jernih.
____________________________________Pukul 02.12 waktu Indonesia barat. Dokter Evan masih terduduk di depan layar komputer nya. Sejak pagi tadi, ia belum beristirahat setelah kepulangannya dari Lebanon. Rasanya lelah sekali. Tapi bagaimanapun pekerjaan memang nomor satu buatnya.
Dokter Evan menyandarkan dirinya pada bantalan kursi. Matanya terasa berat. Rasa lelahnya seakan membuncah. Ingin meledak saat itu juga. Namun ia tahan sekuat tenaga. Beberapa kali kantuk mulai menyerangnya. Beberapa cangkir kopi rupanya kurang ampuh untuk mengusir kantuk dan penat. Ia menatap arloji di tangannya. Pukul dua pagi. Mungkin memang seharusnya ia beristirahat sekarang.
Dokter Evan mengemasi barang-barang miliknya. Kemudian meraih tas nya di meja. Ia berlalu meninggalkan ruangan kerjanya. Rumah sakit terasa sangat lenggang. Hanya ada beberapa orang yang berlalu lalang. Namun sangat jarang.
"Bukankah ini bukan shift anda?", Kata dokter Rony yang tiba-tiba melintas.
"Ya dokter. Saya hanya menyelesaikan apa yang harus saya selesaikan"
"Dokter Evan, anda manusia bukan Superman"
"Yah"
"Anda baru kembali dari Lebanon dan tidak mengambil cuti. Sekarang anda malah tengah berdiri di hadapan saya? Jika anda tidak cuti pun seharusnya anda pulang dari tadi siang bukan"
"Yah"
"Lalu apa yang anda lakukan?"
"Saya hanya menyelesaikan tugas saya saja dokter"
"Sekarang anda akan pulang"
"Ya"
"Mau saya antar?"
"Tidak. Terima kasih dokter"
"Anda yakin?"
"Sangat"
"Beristirahatlah dokter Evan"
"Terima kasih banyak dokter"
Dokter Rony menepuk bahu dokter Evan. Kemudian ia berlalu menuju apa yang ia tuju sebelumnya. Dokter Evan masih menatap dokter paruh baya itu. Sebenarnya dokter Rony sangat mengingatkan dirinya akan papa nya yang telah tiada. Ia tersenyum begitu saja. Kemudian berlalu dari tempatnya berdiri. Langkahnya cepat. Tidak kenal lelah. Wajahnya masih terlihat sangat maskulin meskipun terlihat begitu lelah. Ia tetap berjalan dengan seribu tanya dalam kepalanya.
"Elena..", gumamnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Antara Lebanon
RomanceKetika perasaan cinta menggetarkan hati seorang Bintara muda, Sersan satu Setya Susanto. Akankah itu cinta atau rasa kagum pada seorang psikologis Adriana Iswara yang tiba-tiba hadir dalam hidupnya tanpa terduga. Akankah keberanian dan kelembutan Ad...