Kita hanya dua insan yang berpura-pura tidak peduli tapi tetap berjuang di kerasnya kepahitan masa lalu.
•••
BELVA tertegun menatap Nathan yang sudah berdiri di depan rumahnya dengan motor sport putih di belakang cowok itu.
Matanya dengan cepat ia arahkan kebawah tanpa mau melihat tatapan Nathan yang menyiratkan banyak pertanyaan.
"Telepon nggak di angkat. Pesan nggak ada yang di baca. What's wrong with you?"
Belva masih terdiam, menatap ujung sepatu putihnya yang sedikit ternoda.
"Mau kamu apa?" Tanya Nathan lagi tapi Belva masih tak bisa menjawab.
"Ada yang salah? Tolong jawab!" Karena emosi yang Nathan tak bisa terbendung lagi, kata terakhirnya sedikit naik satu oktaf membuat Belva terkejut dan langsung menatap manik mata Nathan.
Ayo, Bel, ayo. Lo bisa. Batin Belva terus memberikan gebuan untuk segera mengutarakan apa yang mau di utarakan.
Tapi, Belva malah menggeleng. Tak sanggup berbicara apa apa. Ia mengulum bibirnya lalu segera melenggang pergi dari sana mengenakan sepedanya tanpa memperdulikan Nathan yang memanggil namanya.
***
Belva terpaksa terus berdiam diri di perpustakaan yang menurutnya memuakkan ini. Kepalanya kembali berdenyut melihat tumpukkan buku yang berjejer disana.
Demi menghindari Nathan, ia besembunyi di seluk beluk luasnya perpustakaan. Perutnya berbunyi sedari tadi tanda ia memang harus mengisinya. Lina awalnya sudah memaksa, tapi ia tetap bersih keras untuk kesini.
Mau tak mau, untuk menghilangkan rasa jenuh ia berjalan di sekitar rak berderet buku novel remaja. Di raihnya satu novel secara acak lalu segera duduk di ujung perpustakaan.
"Kalau laper makan. Jangan di tahan. Nih." Nathan duduk di depan Belva dengan tangan yang memegang sebungkus batagor dengan jus alpukat.
Belva mendongak, lalu tergelak melihat apa yang Nathan lakukan. Nathan hanya tersenyum simpul lalu memfokuskan tatapannya pada wajah terkejut Belva.
"Begitupun juga rindu. Kalau rindu, bilang. Kalau di pendem nanti sudah sendiri."
"Kok keringetan gitu? Udah pake AC loh padahal. Sini." Nathan meraih ikat rambut yang ada di pergelangan tangan Belva lalu bangkit berdiri dan beralih di belakang Belva.
"Walaupun aku suka kamu yang begini. Tapi karena kamu gerah, jadi nggak papa." Tangan Nathan mengumpulkan semua rambut Belva dan mengikatnya menjadi satu walaupun belum rapih sepenuhnya.
"Stay beautiful." Nathan kembali duduk, lalu menampilkan senyumnya untuk yang kedua kali membuat nyali Belva menciut.
Mengapa disaat ia dalam masa renggang begini, semua itu baru ia rasakan?
KAMU SEDANG MEMBACA
My Cold Boyfriend (SUDAH TERBIT)
Teen Fiction[SUDAH TERBIT] SEBAGIAN PART SUDAH DI HAPUS Cewek? Sampah banget. Itulah pemikiran Nathan Alzevin, si cowok dingin tingkat dewa SMA Bintara. Sifatnya yang cuek dan paling anti sama perempuan, memiliki wajah yang tampan dan berhati dingin. Karena itu...