Kamu semu. Kamu yang menorehkan harapan, memberi secercah angan angan, dan jugamenggantungkan kepastian.
***
BELVA menatap deretan buku tebal dengan kategori biologi di raknya. Cewek itu membuka satu persatu buku, berkali-kali berdecak dan mendesah lelah karena tidak menemukan apa yang ia cari. Ini semua gara-gara nilainya banyak yang kosong, sehingga ia harus mencari jawaban dari pertanyaan yang di berikan guru sebagai gantinya.
Sejenak, ia berpikir betapa bodohnya ia melewatkan banyak mata pelajaran. Ia bahkan baru sadar sebanyak ini nilai yang tidak ia dapatkan.
"Sok rajin banget sih, lo?" Belva tersentak ketika mendapati Trisal di sampingnya, menyandar pada rak buku sembari menatap kearahnya.
Belva memutar bola mata, perasaannya langsung kacau. Mencari jawaban dari soal sulit saja sudah pusing, di tambah harus meladeni orang seperti Trisal.
"Ngapain lagi kesini? Belum puas rusak hidup gue?!" Desis Belva memicingkan matanya kesal kearah Trisal.
Trisal tertawa pelan, lalu menggelengkan kepalanya. "Nggak puas sama sekali. Baru permulaan, baby." Cowok itu mengusap pelan rambut Belva, membuat cewek itu dengan cepat menepisnya.
"Nggak usah sentuh, atau lo gue banting!" Belva melotot, mengedarkan pandangan benci ke arah cowok di sampingnya ini.
"Boleh, tapi di ranjang, ya?"
Belva mengepalkan tangannya hingga buku-buku jarinya memutih. "Simpen aja pikiran mesum lo itu. Ba.ji.ngan." Belva menekan setiap katanya, menjelaskan bahwa ia benar benar tidak suka jika Trisal ada disana.
Trisal yang tadinya terdiam, kini menautkan alisnya. Lagi-lagi ucapan Belva mampu membangkitkan amarahnya hingga ke puncak.
"Oh, berani sekarang? Gue tunjukkin bajingan yang sebenernya seperti apa." Trisal menegakkan tubuhnya, menatap tajam kearah Belva lalu dengan perlahan mendekatkan laju tubuhnya kearah cewek itu.
Belva melebarkan matanya, otomatis ikut memundurkan langkahnya. Bibirnya kelu, tiba-tiba jantungnya berdegup lebih keras. "Ma-mau nga-ngapain lo!?"
"Lo ngatain gue bajingan, kan? Biar gue tunjukkin." Trisal mengunci Belva hingga cewek itu menyentuh tembok di belakangnya. Cowok itu menatap cewek di depannya dengan sorot mata meremehkan. Belva tidak tahu, bahwa dirinya tidak suka di tantang. Maka jika cewek itu menantang, maka jangan salahkan jika Trisal hilang kendali.
"Minggir." Tekan Belva, menatap tajam dan menahan dada bidang cowok itu agar tidak makin mendekat kearahnya.
"Nggak. Sebelum lo ngerti gue siapa." Bara api seakan muncul dari kilatan mata Trisal, terlihat jelas bahwa ia benar-benar marah.
"Gue nggak peduli lo siapa. Dan gue, nggak pernah takut sama lo." Sedetik kemudian Belva menampar keras pipi Trisal lalu mendorong cowok itu hingga memberi ruang kepada Belva untuk pergi.
Trisal memegang pipinya, merasa tak percaya sekaligus di remehkan. Giginya menggertak kesal melihat kepergian Belva yang sama sekali tidak merasa takut padanya. Sungguh, ia tidak akan membiarkan cewek itu lepas dari genggamannya.
Belva berjalan di koridor sekolah sembari terus melihat kebelakang, memastikan bahwa Trisal tidak akan mengikutinya.
"Sorry, sorry." Belva terkejut ketika dirinya menabrak seseorang. Ia menghembuskan napas lega setelahnya ketika tahu yang di tabrak adalah Nathan.
"Duh, maaf, ya." Belva memegang pelipisnya lalu mencoba mengatur napasnya.
Nathan menautkan alis, menatap Belva yang sepertinya merasa panik. Dilihat dari cewek itu yang bergerak gelisah.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Cold Boyfriend (SUDAH TERBIT)
Teen Fiction[SUDAH TERBIT] SEBAGIAN PART SUDAH DI HAPUS Cewek? Sampah banget. Itulah pemikiran Nathan Alzevin, si cowok dingin tingkat dewa SMA Bintara. Sifatnya yang cuek dan paling anti sama perempuan, memiliki wajah yang tampan dan berhati dingin. Karena itu...