"Bukan hanya kita yang lelah dengan masalah ini. Bahkan dunia pun sudah tak tahu lagi bagaimana caranya menyatukan kita yang memang sudah tidak pantas lagi disatukan."
***
SEBENARNYA untuk apa lagi kisahnya ini di ukir? Bahkan, ia pun merasa semua sudah berakhir. Tak ada lagi cinta, kasih sayang, dan harapan.
Matanya bergulir kesana dan kemari, mencari objek yang sekiranya bisa ia nikmati dan menghilangkan rasa bosannya.
Mengingat kejadian beberapa hari lalu, semua orang bahkan enggan mendekatinya. Semua orang menatapnya seakan ia adalah gadis tidak baik yang mencoba mencari ketenaran.
Walaupun berkali kali mengelak, tetap saja, pikiran mereka telah di butakan. Jika memang itu yang sebenarnya, maka tidak perlu lagi ia mencari kebenaran di mata semua orang.
Kakinya yang ingin melangkah ke dalam ruang kelas, berhenti ketika seseorang menariknya.
Mata Belva mengerjap tak mengerti dengan teman sekelasnya yang baru saja menariknya ini. Kenapa gerangan?
"Kenapa?"
Cewek itu menepuk keras kening Belva untuk menempelkan kertas yang berisi goresan pulpen dengan kata "LOSER"
Belva tertegun, lalu mencabut kertas itu dari keningnya lalu membacanya. Darahnya memuncak, merasa sangat di lecehkan.
"Cewek pecundang kayak lo nggak pantes buat melangkahkan kaki di sekolah ini." Belva memicingkan matanya melihat cewek yang ia tahu bernama Helena itu tengah menyedekapkan tangannya di depan dada.
"Lo nggak usah ikut campur."
"Lo punya otak nggak, sih? Kelakuan lo yang kayak gitu lo anggap wajar?"
Helena menghela napas panjang lalu menatap Belva tajam. "Lo tau? Sekolah cuman kasihan sama ibu lo. Mereka tau kalau ibu lo nggak mampu. Kalau nggak? Mungkin lo udah di tendang dari sini."
"Lagian lo nggak tau diri banget, sih? Lo nggak kasian liat ibu lo? Dimana hati lo, Bel?"
Mata Belva sudah berair. Telinganya kembali panas dan sebenarnya sangat tidak siap jika di sodorkan dengan kata kata seperti ini, lagi. Semua orang menatapnya, menatap seakan ini adalah sebuah pertunjukkan yang berakhir menyenangkan.
"Lo masih punya keberanian buat sekolah? Hebat." Helena tersenyum mengejek, membuat satu tetesan kristal bening dari pelupuk mata gadis yang tak bersalah itu menetes.
"Lo bisa nggak usah drama? Jelas jelas lo emang salah. Nggak usah nyari kebenaran dan lebih baik lo pergi dari sini."
Belva mengepalkan tangannya, lalu berbalik badan dan ingin melangkah. Tapi tubuhnya malah menabrak seseorang di depannya.
"Sesama cewek harusnya bisa saling ngerti." Nathan menggenggam tangan Belva lalu membawanya kembali menghadap Helena.
"Lo. Mulut lo belum tentu lebih baik daripada kelakuan dia." Mata elang Nathan menatap tajam Helena hingga membuat cewek itu melunak dan merasa tidak enak.
"Dimana otak lo? Lo masih belain cewek kayak dia?" Helena tertawa kecil. "Gue tau, lo masih sayang banget kan sama dia?"
Perkataan ini terasa tak mengenakan bagi Nathan, dan ini juga membuat Belva mendongak dan menatap garis keras yang timbul di kening Nathan.
"Semua baik baik aja kalau lo bersedia buat tutup mulut berengsek lo itu." Helena mengepalkan tangannya, melayangkan tatapan keji kearah Nathan. Lalu selanjutnya ia berjalan melewati cowok itu dan memukul lengannya pelan.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Cold Boyfriend (SUDAH TERBIT)
Teen Fiction[SUDAH TERBIT] SEBAGIAN PART SUDAH DI HAPUS Cewek? Sampah banget. Itulah pemikiran Nathan Alzevin, si cowok dingin tingkat dewa SMA Bintara. Sifatnya yang cuek dan paling anti sama perempuan, memiliki wajah yang tampan dan berhati dingin. Karena itu...