Sekali-kali lihat dirimu sebagai sebuah warna. Mungkin kamu bukanlah warna favoritnya. Namun, suatu saat nanti warna dirimu tetap akan dia butuhkan untuk melengkapi lukisan kehidupannya.
°°°
BELVA menatap kedua remaja yang berada di pinggir lapangan. Matanya memandang nanar dari kejauhan, tangannya menggenggam botol minum dengan erat.
Melihat Fara yang memegang kotak makan di temani oleh Nathan di sampingnya. Bahagiakah Nathan bersama dengan Fara? Mungkin saja iya. Melihat wajah Nathan yang terus tersenyum, merasa seperti orang yang memang bahagia.
"Namanya udah mantan, nggak usah di ingetin terus." Belva tersadar, menatap Deren yang duduk di sampingnya.
"Masih ada harapan, ya? Tapi, kayaknya dia udah pacaran sama cewek itu."
"Emang." Jawab Belva masih menatap kedua remaja tersebut. Namun netra matanya tertabrak dengan netra mata cowok yang menjadi objek. Belva langsung kelabakan, dan otomatis memenggam tangan Deren erat, mengajaknya berdiri.
"Temenin gue ke kelas." Belva menarik Deren, meninggalkan area itu. Dari kejauhan, Nathan menautkan alisnya, bertanya tanya siapakah cowok yang di genggam Belva tersebut.
***
"Tadi pacar baru?" Belva yang ingin mengeluarkan sepeda terkejut dan menoleh kebelakang.
"Bukan urusan lo."
"Kayaknya, sih, bukan. Soalnya kan lo belum bisa lupain gue."
Belva merasa tidak suka, memangnya wajahnya menunjukkan itu semua?
"Gue udah lupain lo, sekarang lo boleh pergi."
Nathan tetap berdiri, menolak semua perkataan Belva. Karena ia tahu, Belva selalu melakukan hal yang berbanding terbalik dengan hatinya. Ia tahu betul Belva memiliki sebuah masalah. Masalah yang mengharuskan cewek itu selalu menghindar darinya.
"NATHAN!" Bukan hanya Nathan yang menoleh, tapi juga Belva. Disana berdiri Fara yang melambaikan tangannya menandakan bahwa menyuruh Nathan untuk mendekat.
"Sampai ketemu besok, Belva." Nathan tersenyum lalu berjalan kearah Fara, berbicara sebentar lalu menyuruh cewek itu untuk naik kemotornya. Belva hanya mengatupkan bibir, merasa ada benarnya juga jika Nathan lebih memilih Fara sekarang. Memangnya setelah ia menyakiti Nathan, cowok itu akan mau bersamanya? Di tambah sekarang ia selalu berkata kasar dan juga mengidap depresi berat.
***
Belva menatap dirinya di cermin, sepertinya tidak terlihat perbedaan yang baik disana. Malah makin buruk, rambutnya yang terurai panjang tidak terurus, cekungan hitamn setia menggantung di bawah matanya, juga wajahnya yang pucat serta tubuhnya yang makin kurus.
Belva merasa enggan hidup sekarang, selain sekolahnya yang sudah terbengkalai, hidupnya yang hancur berantakan, serta otaknya yang selalu di hantui oleh bayang-bayang Nathan. Ia menghindar dari Nathan bukan karena dirinya sudah tidak mengharapkan, tapi ia menghindar karena tak mau hidup Nathan kembali hancur.
Rasa sakit kembali menyerang kepala Belva, menguasai tubuhnya dan membuatnya merintih kesakitan. Diambilnya sebuah tabung berisikan pil di dalam laci cermin riasnya. Di tatapnya obat itu lama, lalu di lemparnya ke arah cermin dan menangis sejadi-jadinya. Ini memang belum terlalu lama, tapi Belva yang biasanya ceria, lelah dengaan semua ini. Ia lelah dengan segala obat-obatan aspirin yang selalu ia konsumsi untuk meredakan rasa sakit di kepalanya.
Belva terduduk lunglai di lantai, merasa semua tidak lagi berguna. Hidupnya hanya selalu menyusahkan. merasakan bahwa tak ada jalan terang lagi yang harus ia tuju, Nathan yang bisa mengubah moodnya kini sudah bukan lagi siapa-siapa. Ingin maju, namun rasanya tidak mungkin. Padahal, ia sudah berusaha melupakan, namun kehadiran Nathan yang selalu ada di hadapannya membuat rasa yang ingin di kubur dalam-dalam perlahan terbuka.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Cold Boyfriend (SUDAH TERBIT)
Teen Fiction[SUDAH TERBIT] SEBAGIAN PART SUDAH DI HAPUS Cewek? Sampah banget. Itulah pemikiran Nathan Alzevin, si cowok dingin tingkat dewa SMA Bintara. Sifatnya yang cuek dan paling anti sama perempuan, memiliki wajah yang tampan dan berhati dingin. Karena itu...