Aldo sudah bangun satu jam yang lalu, saat membuka matanya ia melihat sosok wanita yang telah melahirkan nya. Kenapa bundanya ada disini? Fana masih menemaninya bersama bunda, sejak bangun tadi Aldo hanya diam. Tak berniat berkata sedikitpun, bahkan saat bundanya bertanya pun Aldo tetap mengacuhkan nya.
"Sayang ... kenapa nekat berani makan pedas 'sih, padahal kamu tahu kalau kamu enggak bisa makan makanan yang pedas." Fana merasa tak enak, pasalnya Fana belum memberitahukan bahwa Aldo bisa sampai seperti karena dirinya dan juga Tirga yang membiarkan memakan makanan yang pedas.
"Aldo mau pulang, bunda." Aldo merubah posisinya yang semula berbaring kini menjadi duduk.
"Iya nanti, kalau infusnya sudah habis," ujar Bunda.
Aldo mengangguk pasrah menuruti ucapan ibunya, "Lo, enggak balik ke kelas, Fan?" tanya Aldo.
"Erm, gue. Tadi disuruh dokter Yonzi buat nungguin lo sebelum bunda lo datang," jawabnya.
"Balik ke kelas sana, lagian gue juga udah enggak apa-apa."
"Ya udah, kalau gitu gue balik kelas. Cepat sembuh dan juga maafin gue karena nggak ngelarang lo saat makan bakso pedas tadi. Bunda, aku pamit balik ke kelas 'ya," ucapnya berpamitan pada Aldo dan Bunda.
"Iya, belajar yang rajin ya. Makasih udah jagain Aldo sebelum Bunda datang tadi."
"Oke bunda. Cepat sembuh do, dah ... jangan kangen sama gue 'ya." setelah mengucapkan itu, Fana benar-benar pergi meninggalkan ruangan Uks itu.
"Fana lucu 'ya, nggak pernah berubah," tutur bunda.
"Enggak lah, bun. Masa si Fana berubah jadi Tikus." Aldo menyahuti ucapan bundanya itu.
"Ada-ada aja kamu. Ya udah pulang yuk," ajak bunda saat melihat cairan infus yang mengalir lewat tangan anaknya itu sudah habis.
"Tunggu dulu, bunda panggil dokter Yonzi buat lepasin infusnya." bunda langsung memanggil dokter Yonzi di ruangan nya. Aldo hanya menunggu, sambil memainkan selang infusnya yang masih terpasang di tangan nya itu.
Tak lama kemudian, bunda dan dokter Yonzi datang menghampirinya. Dokter Yonzi melepaskan infus dari tangan Aldo, setrlah selesai tak lupa dokter Yonzi memberikan plester ditangan Aldo agar darahnya tidak mengalir bercucuran.
"Bu, sebelumnya maaf tolong mampir dulu ke apotek untuk menebus obatnya. Disini belum banyak tersedia obat-obatan, ini resepnya." sebelum ibu dan anak itu pulang dokter Yonzi memberikan wewenang dan memberikan secarik kertas yang berisi resep obat untuk Aldo.
"Baik dokter, terimakasih banyak. Kalau gitu saya pamit," Bunda tersenyum pada dokter cantik itu, lalu membantu anaknya turun dari ranjang dengan perlahan.
Dokter Yonzi balik tersenyum pada Nafir—bunda, dan membantu memapah anak muridnya itu menuju pintu keluar uks ini.
——
Kini, Aldo dan bundanya sedang dalam perjalanan menuju apotek dan setelahnya mereka akan pulang. Aldo yang duduk di samping kemudi tengah memejamkan matanya, Aldo tidur. Tak bisa dipungkiri, meski tubuhnya sudah diberikan cairan infus tetapi tetap saja tubuhnya masih lemas jika belum beristirahat total.
Nadir—bunda, memarkirkan mobilnya saat sampai di apotek yang dituju. Nadir turun dari mobil untuk menebus obat, ia membiarkan Aldo tertidur. Kasihan, pasti tubuhnya sekarang sangat lemas, dan lagi perutnya pasti masih sakit.
"Permisi, saya mau menebus obat. Ini resepnya." Nadir memberikan resep obat yang di berikan dokter Yonzi tadi pada seorang suster cantik.
Suster cantik itu menerimanya dan mencari obat yang diresepkan dalam kertas itu. Nadir menunggu sebentar, tak lama suster itu adatang dengan membawa kantung berisi beberapa obat.
"Ini bu, tolong diminum sesuai anjuran." Suster itu menyerahkan kantung plastik berisi obat itu kepada Nadir.
"Iya, makasih." ujarnya ramah. Nadir langsung kembali menuju tempat dimana mobilnya diprakir tadi.
Memang, apotek itu sudah bekerjasama dengan sekolah Aldo. Jadi tidak perlu untuk membayarnya, karena memang biaya itu semua sudah ditanggung oleh sekolah. Percuma bayar mahal untuk masuk sekolah ini jika menebus obat saja harus bayar.
Saat kembali ke mobilnya, ternyata Aldo masih tidur dengan pulasnya. Biarkan saja anaknya itu beristirahat, jika nanti sudah sampai rumah baru ia akan membangunkan Aldo.
Tak terasa, kini mereka sudah sampai pada tujuan—rumah. Nadir melirik sebentar putra bungsunya yang tengah tertidur pulang di sampingnya. Nadir menjadi tak tega jika harus membangunkan nya, kemudian Nadir turun dan memanggil seorang satpam yang berjaga di depan gerbang, menyuruhnya untuk menggendong Aldo sampai ke kamarnya.
Bapak satpam itu sudah kembali bertugas setelah membawa anak majikannya itu, kini hanyalah Nadir yang berada di kamar Aldo. Ia memandang wajah putranya yang terlihat sekali bahwa rautnya menampakkan kelelahan.
"Tidur yang nyenyak, sayang." Nadir mengecup kening putranya lalu pergi dari kamar Aldo.
——
Langit kini sudah berubah warna menjadi hitam gelap, namun tak semuanya gelap. Di langit sana terdapat banyak bintang-bintang dan juga rembulan yang bersinar terang. Langit malam ini sangat cocok untuk dinikmati, sama seperti yang dilakukan kedua adik-kakak ini.
Fana dan Nura tengah terduduk di bangku depan rumahnya, keduanya tengah menikmati indahnya malam ini yang diciptakan oleh Tuhan. Mereka sangat bersyukur masih bisa menikmati indahnya malam, mereka tak bisa membayangkan dengan orang diluaran sana yang menyandang tunanetra. Mereka sadar, bahwa hidup ini harus disyukuri dan jangan pernah merasa berkekurangan karena manusia di dunia ini tak ada yang sempurna.
"Dek, masuk 'yuk, dingin." Nura merapatkan jaketnya karena merasa udara malam ini terasa dingin.
"Iya, lama-kelamaan kok dingin 'ya. Masuk yuk," ujarnya lalu pergi masuk ke dalam rumah dan meninggalkan Nura sendirian.
"Dasar! Gue yang ngajakin duluan, dia yang masuk duluan." sambil menggerutu Nura akhirnya masuk ke dalam rumahnya itu.
Berbeda dengan kediaman Aldo, dia masih tertidur mungkin Aldo sangat kelelahan hingga membuatnya betah tidur berlama-lama. Seseorang masuk ke dalam kamarnya, dengan membawa nampan berisi makanan itu, dan sudah dipastikan itu adalah Nadir—bundanya.
Nadir meletakkan nampan berisi makanan itu dimeja nakas, "Sayang, bangun dulu." Nadir mengekus lembut wajah putranya.
Aldo terusik, ia membuka matanya perlahan dan yang dilihat adalah wajah cantik nan awet muda sang bunda. Aldo bangun sambil mengucek kedua matanya.
"Kenapa, bunda?" tanyanya dengan suara yang sedikit serak khas orang yang baru bangun tidur.
"Makan, terus minum obat," ucapnya.
"Nanti aja, Aldo makan sendiri." Nadir mengambil mangkuk berisi bubur itu, laku menyendokkan sedikit bubur. Nadir tahu jika anaknya berkata seperti itu dipastikan bahwa Aldo tak akan memakannya, jadi biarkan saja ia menyuapinya.
"Ayo, makan. Bunda suapin," ucapnya menyodorkan sesendok bubur kemulut Aldo.
Aldo hanya menurut dan memakannya. Namun rasanya sangat sulit untuk Aldo menelan bubur itu, ia memaksakan dan akhirnya bisa menelan bubur itu masuk kedalam perutnya.
Setelah memakan habis buburnya, Aldo tak lupa untuk meminum obatnya.
"Kamu boleh tidur lagi, selamat malam, sayang." setelah membenarkan tata letak selimutnya, Nadir mencium kening putranya dan keluar dengan membawa nampan dengan mangkuk kosong itu.
Aldo harap, ia akan tidur nyenyak malam ini. Selamat malam.
——
Hola! Gimana? Dinikmatin aja ya part ini, hehe😂 maafya upnya lama, daaahh~
KAMU SEDANG MEMBACA
Faldo Its Aldo
Teen FictionRefaldo Setya Dinaro. Seorang remaja berusia limabelas tahun, ia mempunyai keinginan yang sangat sederhana. Ia hanya ingin sang Ayah selalu ada bersamanya, bersama keluarganya. Ia hanya ingin seperti remaja-remaja lainnya yang selalu bersama ayahnya...