◻️ 33. Lie

3.1K 383 35
                                    

——

Hari sudah menjelang pagi, dan Nadir masih setia menjaga anak bungsunya yang masih tertidur disana. Nadir tidak tahu kapan anaknya akan bangun, rasanya dunianya terasa tengah diguncang oleh Tuhan. Masalah seakan tak mau pergi dari kehidupan keluarganya.

Saat ini, Nadir sedang mengelap tubuh Aldo dengan handuk yang sudah dicelupkan kedalam air hangat untuk membersihkan tubuh anaknya itu, meskipun dirinya juga belum membersihkan diri. Nadir mengelap perlahan tangan Aldo yang terpasang infus, takut-takut jarumnya tergeser.

Setelah selesai membersihkan tubuh Aldo, ia mengelus rambut anaknya dengan lembut. "Ayah kamu benar-benar keterlaluan!"

Nadir langsung terkesiap saat mendengar suara lenguhan dari Aldo, berharap anaknya akan segera bangun. Dan benar saja, tak lama setelah itu matanya perlahan terbuka meski beberapa kali harus mengerjap guna memperjelas pamdangannya.

"Bun-da," ucapnya terbata.

"Iya sayang, ini bunda. Kenapa, ada yang sakit?" tanyanya khawatir.

Aldo menggeleng, masih bingung dengan situasi saat ini. Kenapa ia bisa berada dirumah sakit, apa sang bunda yang menolongnya keluar daro gudang kumuh itu dan membawanya kemari? Memori ingatannya masih belum utuh, saat bangun dari pingsannya. Aldo mencoba mengingatnya kembali, meskipun membuat kepalanya menjadi sakit.

Ia baru ingat. Benar, bundanya yang menolongnya. Meski samar-samar sebelum ia tak sadarkan diri, ia bisa melihat wajah khawatir bundanya saat itu. Perhatiannya teralihkan, saat sang bunda menyodorkan segelas air putih dengan bantusn sedotan untuk mempermudahnya meminumnya. Aldo meminumnya dengan lahap, kini gelas itu tinggal terisikan setelah gelas.

"Kamu haus 'ya sampai setengah gini," kata Nadir, dan respon dari Aldo ia hanya mengerjapkan matanya dengan polos.

"Ya ampun! Bunda lupa, belum ngasih tahu dokter Redi kalau kamu sudah sadar." pekiknya yang membuat Aldo sedikit kaget. Nadir menekan tombol berwarna merah yang berada di kepala ranjang.

Berselang beberpa menit, dokter Redi dan seorang suster datang. Dokter itu tersenyum kepada Nadir, "Bagaimana, apa ada yang dirasakan?" tanya dokter itu pada pasiennya.

Lagi-lagi Aldo menggeleng. Ia masih belum mau untuk membuka suaranya. Biarkan saja sang bunda yang menjawabnya.

"Sepertinya, Faldo masih terlalu bingung untuk menjawab pertanyaan dari dokter. Mungkin karena dia baru sadar," ujar suster yang datang bersamanya tadi.

Dokter ber-nametag Redi itu mengangguk mengiyakan. Setelahmya dokter Redi memeriksa keadaan Aldo, ia melihat ada yang tidak beres dengan nafas pasiennya itu terdengar tak beraturan—seperti sesak nafas. Dokter Redi memeriksa tabung oksigen nya dan mengutak-atiknya.

"Nafas kamu terdengar tak beraturan, apa kamu merasakan sesak?" tanya dokter itu dengan lembut.

"Tolong, bekerjasamalah dengan dokter agar dokter Redi bisa memantau keadaan kamu." suster itu sudah bertindak jauh dengan mengatakan seperti itu, Nadir yang menyadarinya langsung saja mendelik sebal kearah suster itu.

"Ya sudah, kalau begitu. Kalau ada apa-apa ibu bisa panggil saya, saya permisi dulu." dokter Redi dan suster yang datang bersamanya tadi meninggalkan ruang rawat Aldo.

"Kamu kenapa 'sih, nggak jujur sama dokter kalau kamu merasa sesak. Kamu sayang 'kan sama bunda?" tanyanya pada Aldo.

Aldo mengangguk, ia begitu menyayangi bundanya. "Maaf, bun."

"Bunda," ujarnya pelan.

"Iya, kenapa? Kamu butuh sesuatu." Aldo memberi isyarat menyuruh sang bunda mendekat padanya, dan Nadir melakukannya.

Faldo Its AldoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang