◻️ 34. Memilih Melupakan

3.2K 366 27
                                    

——

Nadir dan Aldi masih menunggu dengan cemas di luar, saat mereka menemukan Aldo yang sudah tak sadarkan diri di dalam toilet kamar rawatnya. Mereka langsung memanggil dokter untuk segera memberikan penanganan kepada Aldo. Nadir yang sedari tadi berdiri dengan mondar-mandir disana, akhirnya duduk di sebelah anak keduanya—Aldi.

Perasaannya sangat cemas dengan kondisi anaknya. Nadir tahu siapa yang melakukan semua ini, karena itu saat ini ia sangat mantap untuk bercerai dengan Setya. Keluarganya sudah tidak bisa disatukan kembali, keluarganya sidah benar-benar hancur dan itu semua terjadi karena mantan suaminya—Setya.

Suasana dirumah sakit sedang ramai-ramainya oleh orang yang berlalu lalang, entah itu pasien atau pun kerabat pasien. Nadir meresa hanya dialah yang ada dirumah sakit ini, ia merasa tak ada siapapun disini kecuali dirinya dan anaknya—Aldi. Nadir sebenarnya sudah sangat lelah dengan semua ini, jika ingin menyerah, ia sangat ingin. Karena tak ada yang kuat dengan cobaan yang diberikan oleh Tuhan kepada hambanya, mereka pasti menginginkan untuk menyerah menjalani kehidupan dan memilih jalan yang tidak benar yaitu dengan cara bunuh diri. Namun, Nadir berpikir dua kali untuk mengatakan bahwa ia akan menyerah dengan semua ini.

Nadir masih mempunyai tanggung jawab sebagai seorang ibu dari ketiga anaknya. Ia harus kuat untuk menyemangati anak-anaknya, dan juga dirinya harus kerja untuk membiayai keluarga kecilnya. Karena nanti ia akan menjadi seorang ibu sekaligus kepala keluarga untuk mendidik anak-anaknya.

Yang Aldi bisa lakukan hanyalah diam terduduk melihat bundanya yang tengah mondar-mandir di depan pintu kamar rawat adiknya dengan cemas. Aldi pun merasa cemas dengan keadaan adiknya, namun apa yang harus ia lakukan. Mondar-mandir seperti bundanya? Itu tidak akan merubah apapun. Lagi pula tubuhnya masih lemas, jadi ia hanya bisa terduduk.

"Apa dengan bunda kayak gini akan merubah semuanya? Nggak 'kan, jadi bunda tenang dulu. Tunggu dokter selesai memeriksa Aldo," ujarnya pada sang bunda, karena tak tahan melihat bunda tak tenang seperti ini.

Nadir hanya bisa meneteskan air matanya saja, saat Aldi berkata seperti itu. Namun yang anaknya ucapkan itu memang benar, dengan dirinya yang seperti ini tak akan merubah keadaan menjadi lebih baik.

Hingga sebuah suara derit pintu terdengar mengalihkan perhatian Nadir dan Aldi. Nadir yang lebih dulu berdiri dan menghampiri dokter yang sudah menangani anaknya, Aldi mengikuti langkah bundanya di belakang. Dengan segera Nadir bertanya perihal kondisi Aldo kepada dokter itu.

"Bagaimana dok? Aldo baik-baik aja 'kan," tanyanya cemas.

Dokter Firma terlihat menghela nafas sebelum menjawab pertanyaan dari Ibu pasien, "Dia sudah lebih baik sekarang, jadi ibu tenang saja. Kami akan memantaunya nanti, permisi."

Setelah dokter pergi, Nadir segera memasuki kamar rawat anaknya dan melihat bagaimana kondisi Aldo saat ini. Begitu ia memasuki kamar rawatnya, hal yang pertama ia lihat adalah mata putranya yang masih terpejam. Beralih pada masker oxygen yang hampir menutupi sebagian wajah tampan anaknya, tangannya yang semula berdarah kini sudah kembali terpasang infus disana.

Nadir melihatnya begitu miris, tubuhnya kini menjadi kurus, bahkan pipinya kini menjadi lebih tirus. Aldi yang melihatnya pun sama, merasa miris dengan keadaan adiknya. Adiknya yang biasa ceria kini harus diam dengan mata tertutup. Aldi sangat merindukan adiknya yang ceria seperti dulu, sebelum dirinya dan Aldo saling mendiamkan. Betapa bodohnya ia dulu mendiamkan Aldo hanya karena hal sepele, dan sekarang ia sangat menyesalinya.

'Maafin gue, dek.' dalam hati Aldi meminta maaf pada adiknya, meskipun ia mengucapkan nya di dalam hati semoga saja adiknya itu bisa merasakannya.

Faldo Its AldoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang