"jadilah teman yang totalitas,
bukan untuk popularitas"
..
Minggu pagi seorang Githa Kaylia Sachio hanya ditemani oleh segelas kopi dan kursi. Matanya menatap langit berwarna biru cerah serta menangkap sinar matahari yang mulai menghampiri tubuhnya. Balkon lantai tiga kamarnya adalah tempat terbaik. Disini-di kursi ini merupakan saksi bisu semuanya. Dibanding kasurnya yang empuk-Githa lebih suka duduk di kursi kayu seharian tanpa kegiatan.
Kursi ini adalah benda yang paling disayanginya. Meskipun sangat sederhana dan jauh dari aksen mewah namun dia bisa membuat Githa merasa nyaman dalam keadaan apapun. Seperti sekarang.
Tring...
Sebuah bunyi nyaring terdengar dari ponsel yang ada di atas meja tepat di sampingnya. Tangannya meraih ponsel itu tanpa semangat sedikitpun. Githa sangat malas membuka atau membalas pesan dari siapapun. Tapi dia punya harapan kalau itu pesan yang dikirim Anggrek.
Tertera nama yang sangat familiar. Sangat aneh saat tantenya mengirim pesan untuk Githa yang jelas berada di rumah yang sama. Hatinya memilih untuk membaca pesan singkat itu. Githa melonjak dari kursinya. Menggenggam ponsel dan segera turun ke lantai paling bawah secepat mungkin.
Sosok seorang wanita tua yang memakai bantuan tongkat untuk berjalan memenuhi penglihatan Githa. Dia berhamburan memeluk wanita itu hingga membuat orang yang dipelukannya merasa tertekan. Githa melepaskan pelukannya.
"oma apa kabar?" tanya Githa yang dihiasi dengan senyuman bahagia.
Wanita yang notabene nya adalah ibu dari ayah Githa mengangguk kecil dan tersenyum sebagai jawaban untuk cucunya.
Paman dan bibi Githa juga ikut tersenyum gembira. Sudah bertahun tahun mereka menjadi orangtua sambungnya. Apalagi keadaan mereka yang tidak dikaruniai seorang penerus membuat Githa persis seperti darah dagingnya sendiri.
"Githa jangan terlalu kuat kalau peluk oma. Liat kan oma jadi kesakitan" kata Rani-tante Githa dengan kekehan kecilnya. Githa menengok ke arah Rani lalu beralik ke neneknya.
"gomenasai" kata Githa dengan bahasa jepangnya yang berarti maaf.
Githa adalah keturunan seorang ibu dari Kanada dan ayah dari Jepang. Namun dia tinggal di Indonesia karena bisnis mendiang ayahnya ada disini. Sudah 5 tahun dirinya menetap di Semarang.
Pada tahun pertama dan kedua semuanya tampak baik dan menyenangkan. Namun setelah adegan pertumpahan darah yang merenggut kedua orangtuanya. Githa tak bisa lagi mengatakan hidupnya baik baik saja. Ditakdirkan menjadi seorang anak tunggal nyatanya tak seberuntung itu. Hidupnya berkali lipat lebih menyedihkan dalam keadaan tanpa keluarga kandung.
Tetapi Tuhan masih bermurah hati padanya. Keluarga dari ayahnya dengan senang hati membuka rumah mereka untuk dia tinggal. Githa memilih tinggal bersama Rani dan Eiji. Paman dan bibinya yang sebelumnya paling dekat dengan keluarganya.
Hidup Githa berlinang kekayaan. Ibunya adalah seorang model dan ayahnya memiliki saham di berbagai negara. Saat ini semuanya dipegang oleh Eiji namun setelah Githa dianggap mampu semuanya akan jadi miliknya. Tapi harta tetap tak sebanding dengan keluarga. Andai saja dulu ibunya tidak berkhianat dan ayahnya batal mengambil pisau. Pasti saat ini seluruhnya akan sangat bahagia.
KAMU SEDANG MEMBACA
Trouble Maker Class
Teen FictionDark Star. Panggilan yang digunakan untuk keempat perempuan ini. Bersekolah di sekolah elite nan mewah memang sudah dari dulu mereka jalani. Tapi hati mereka masih sama. Hati yang membenci masa lalu. Bersama sama mereka saling mengokohkan persahabat...