"Oppa, mau tambah nasinya?"
"Tidak usah, Seo. Aku harus segera sampai di kantor. Ah ya, nanti malam jangan menungguku lagi, aku mungkin akan pulang larut," jawab Jungkook disertai senyuman tipisnya. Sebuah senyuman yang sayangnya tidak mampu lagi menenangkan hati seorang Seolhee.
Wanita yang menyandang gelar Ny. Jeon itu hanya mampu menahan kepedihannya seorang diri, tidak mau membaginya kepada sang suami yang jelas-jelas lebih merasakan rasa sakitnya. Sudah hampir empat bulan lamanya Jungkook memikul beban berat janjinya kepada sang eomma, membangun sebuah perusahaan dari bawah tanpa bantuan orang tuanya. Jika waktu yang diberikan tiga atau lima tahun, Jungkook sangat yakin ia mampu melakukannya. Tapi kini, hanya 365 hari waktu yang didapatnya.
Mustahil kata orang. Tapi jika menyangkut istrinya, semua akan dilakukannya. Setidaknya ia masih memiliki beberapa rekan kerja yang mau berjuang dari awal lagi bersamanya, sebut saja salah satunya Kim Mingyu. Pria berkulit tan itu dengan lantang mengatakan akan membantu Jungkook. Meski bibirnya sering kali mengumpat kata-kata pedas, pria itu tetap menjadi sahabat terbaik Jungkook. Hati hangat yang dimilikinya berhasil menutupi kekurangan lainnya.
Jungkook segera beranjak dari kursi makannya begitu melihat jam dinding yang hampir menunjukkan pukul 6 pagi. Masih terlalu awal memang, tapi ia harus segera sampai di kantor barunya. Belum dapat benar-benar dikatakan sebuah kantor memang, sebab bangunan itu hanyalah gudang bekas yang disewanya sebagai tempat kerjanya dan beberapa rekannya. Tapi tetap, Jungkook tidak boleh malas, masih ada segudang pekerjaan yang menunggu untuk diselesaikan.
"Seo, aku—akh!"
Seolhee terperanjat, mendengar erangan kesakitan Jungkook dan melihat bagaimana suaminya jatuh kembali terduduk di kursinya dengan memegang kuat kepalanya berhasil membuat jantungnya bekerja lebih cepat.
Seolhee berdiri menghampiri Jungkook untuk lebih memastikan keadaannya. "O-oppa, kau baik-baik saja? Apa yang sakit?"
"Y-ya, aku baik-baik saja. Hanya sakit kepala biasa. Jangan khawatir," lirih Jungkook, kembali memasang senyuman berserinya sebagai topeng.
"Bisakah hari ini oppa libur? Jangan masuk kerja, istirahat saja di rumah. Aku akan memanggilkan dokter, oppa harus segera diperiksa," cecar Seolhee begitu khawatir. Masalahnya, sudah beberapa kali ini ia melihat Jungkook mengerang kesakitan. Tubuh pria itu bahkan terlihat jauh lebih kurus dari beberapa bulan yang lalu, kendati Jungkook mengaku selalu tepat makan.
Seolhee memang bodoh, tapi tidak sebodoh itu hingga tidak menyadari jika suaminya menahan rasa sakit. Efek dari bekerja kelewat batas.
"Aku baik-baik saja, sayang. Hanya perlu minum obat pereda sakit kepala saja. Cah, aku berangkat, ne."
Jungkook bangkit berdiri, melanjutkan niatnya untuk ke kantor. Seolhee kembali gagal menahan sang suami untuk beristirahat barang sehari saja. Tapi sepertinya Tuhan memberikan cara lain pada wanita itu, tepat sepuluh langkah Jungkook meninggalkan meja makan pria itu tumbang. Jatuh pingsan di dekat ruang tengah.
"OPPA!!!"
***
Seolhee menggigit bibir bawahnya kuat, matanya sudah sangat sembab karena air matanya terus membasahi kedua belah pipinya. Pandangannya tidak pernah lepas menatap wajah pucat suaminya yang masih tertidur sejak beberapa jam lalu.
"Bodoh. Kau sangat bodoh, oppa! Kalau sakit ya katakan sakit. Katakan pada istri tidak bergunamu ini. Biarkan aku tahu semuanya, jangan buat aku menjadi istri yang semakin bodoh dan hanya bisa melihat penderitaanmu!" Seolhee memaki, merutuki kebodohan dan ketidak mampuannya menjaga kesehatan suaminya. Merasa begitu sangat tidak bergunanya dirinya.
"Kenapa memaksakan diri jika tidak bisa, oppa? Aku baik-baik saja. Jangan pedulikan aku. Sekali pun tidak bisa bersama, kita masih bisa saling menjaga dari jauh. Hanya berbahagialah dan aku akan tersenyum lebar, oppa."
Mata hitamnya masih setia menatap sang suami, Jungkook tertidur sangat pulas. Terlihat sekali pria itu begitu kelelahan karena memaksakan diri. Jeon Jungkook memang pria pekerja keras yang keras kepala.
Beberapa jam yang lalu dokter yang memeriksa suaminya mengatakan jika Jungkook kelelahan. Kurang istirahat dan sering telat makan.
Dasar pembohong, batin Seolhee.
Memang bukan penyakit yang serius tapi bisa berdampak lebih parah jika terus berulang. Bisa saja berdampak pada sistem kerja aliran darah di jantungnya dan Seolhee tahu betul kelanjutannya. Sebuah penyakit yang pernah merenggut nyawa salah satu pria yang dikasihinya.
"Oppa tidak boleh bertemu appa. Oppa harus hidup lebih lama dan melihatnya tumbuh." Mata Seolhee kembali terpejam, membiarkan likuid bening kembali menetes. "Kita sama-sama mencintai, tapi cinta ini salah, oppa."
Dalam hening Seolhee beranjak berdiri, menuju satu-satunya lemari besar yang ada dikamarnya. Satu buah koper besar ia keluarkan dari tempatnya, membukanya lebar dan mengisinya dengan tumpukan pakaiannya.
Sudah saatnya, pikirnya.
Tangannya mengeluarkan satu map kertas yang telah ia persiapkan jauh-jauh hari, tentunya tanpa sepengetahuan Jungkook. Sebuah surat perceraian yang telah ia tanda tangani ia taruh di samping nakas. Jungkook memang sudah mendaftarkan pernikahan keduanya secara resmi, tapi kini Seolhee lah yang mengakhirinya. Menghancurkan kerja keras suaminya selama ini. Demi Oppa, pikirnya.
Dipandanginya lagi wajah pucat Jungkook untuk terakhir kalinya. Diusapnya lembut setiap pahatan sempurna yang begitu ia kagumi.
"Sudah berakhir," bisiknya pelan. "Jangan telat makan dan kelelahan lagi, ya. Tunjukkan padaku jika apa yang aku lakukan kali ini benar, oppa. Perlihatkan padaku jika oppa akan baik-baik saja."
Jemari lentiknya mengusap lembut surai Jungkook yang sudah semakin panjang. Pria itu terlalu sibuk bekerja hingga tidak memperhatikan penampilannya.
"Oppa harus memangkas rambut setelah ini. Jangan lupa bercukur juga! Oppa jadi terlihat seperti ahjussi tua," ujarnya disertai tawa kecilnya. "Ah, kemana perginya lemak di pipimu, oppa? Sudah hilang, ya? Padahal aku suka sekali pipi bulatmu, oppa. Terlibat lembut dan menggemaskan seperti kelinci."
Seolhee menarik napasnya kuat, mengisi rongga paru-parunya yang mulia terasa sesak.
"Jika kita..." Seolhee menghentikan kata-katanya. Mengusap pelan air mata yang kembali merembes keluar. "Jika kita bertemu lagi, oppa harus memperlihatkan pipi berisi itu lagi. Kita pasangan babi, kan? Aku tidak mau jadi babi betina seorang diri nantinya. Oppa harus jadi pejantan babinya. Pokoknya harus!"
Tangan ringkihnya mengepal kuat, wanita itu berusaha kuat menahan raungan kesakitannya. Seolhee ingin marah, berteriak kencang, dan menyalahkan keadaannya yang terlahir begitu berbeda jauh dari Jungkook hingga menyulitkannya untuk berdiri sejajar dengan suaminya sendiri. Tapi tidak, ia tidak boleh egois. Semua orang memiliki takdir yang berbeda, lebih dari apapun kelahirannya adalah anugerah bagi orang-orang terkasihnya.
Perlahan wajahnya mendekat pada Jungkook, menyingkirkan helaian surai yang menutupi kening suaminya sebelum akhirnya membubuhi kecupan sayang terakhirnya.
"Terima kasih telah memperjuangkan dan mencintaiku, oppa. Sekarang biarkan si bodoh ini yang berjuang membesarkannya. Aku mencintai kalian, oppa."
[]
KAMU SEDANG MEMBACA
MY INNOCENT MAID ✓
Fanfiction[BOOK 2 THE SWEETEST SERIES] Tentang Jeon Jungkook si tuan rumah yang begitu senang membodohi maid pribadinya. ❝Tolong pakaikan aku baju. Ini perintah, jika kau tidak ingin mendapatkan hukuman maka cepat lakukan.❞ © Yourjackal 2018