Aluna menangis didalam kamarnya. Jam sudah menunjukan pukul 22.03 tapi Aluna tetap tidak bisa tidur, dia malah terus menangis.
Aluna merengkuh kakinya diatas kasur dan memeluk erat tubuhnya. Lampu kamar sengaja dia matikan, yang tersisa hanya lampu tidur sebagai sumber cahaya di kamar Aluna. Kamar yang hampir setahun ini menjadi miliknya. Kamar yang penuh dengan lukisan tangannya. Menurut Aluna, melukis adalah salah satu cara mengekspresikan keadaannya. Tapi, malam ini Aluna tidak mood untuk melukis.
Tiba-tiba, kepala Aluna terasa berat, seluruh dunianya seolah berputar mengelilingi kepalanya sampai cahaya lampu tidur perlahan mengabur dan kesadaran Aluna pun menghilang.
***
Paginya, Alaska memutuskan untuk bolos sekolah. Dia memutuskan untuk pulang ke rumah setelah berpamitan pada Anggia dan juga Rian sedang Bimo lagi tidak di rumah.
Alaska memarkirkan motornya didepan rumah seraya turun dan bergegas menuju kamar. Saat di tangga, dia menyadari bahwa rumah ini kosong.
"Pada kemana?" tanya Alaska pada dirinya sendiri. "Enggak biasanya pergi gak bilang dulu sama gue," imbuhnya.
Alaska kembali melanjutkan langkahnya ke kamar. Namun, terdengar suara berisik dari arah kamar Aluna. Alaska mengintip dari celah pintu kamar. Gelap. Hanya ada satu penerangan disana dan juga Andin yang tengah memasukan beberapa baju Aluna kedalam koper. Kening Alaska berkerut. Dia masuk ke kamar Aluna perlahan, kemudian menyalakan steker listrik dan seketika lampu di kamar Aluna menyala.
Keadaan yang semula gelap berubah jadi terang. Andin yang menyadari keberadaan Alaska langsung menoleh pada cowok jangkung itu. Hanya sebentar sebelum akhirnya kembali pada kegiatan memasukan baju kedalam koper.
"Pada kemana, Ndin?" tanya Alaska sembari mencari belek di matanya. Cowok itu bersandar di ambang pintu.
"Rumah sakit," jawab Andin tanpa menatap Alaska.
"Siapa yang sakit?" Alaska merubah posisi tubuhnya menjadi tegak.
"Percuma juga gue kasih tahu, lo nggak akan peduli ini, kan?" Andin selesai menutup sleting koper yang sudah dipenuhi perlengkapan milik Aluna. Dia berdiri, menepuk-nepuk tangannya seraya mengangkat koper itu keluar kamar Aluna. "Minggir," usirnya saat akan melewati pintu kamar.
Alaska menahannya. "Siapa yang sakit?" tanyanya sekali lagi.
Andin mengerlingkan matanya kesal. Dia sudah ditunggu oleh keluarganya dan Alaska malah menghambat waktunya. Andin tidak suka itu. Gadis bertubuh mirip model itu menepis tangan Alaska yang menghalangi jalannya.
"Gue lagi buru-buru, Ska. Jangan ngelamain gini deh," sanggah Andin jengah.
Alaska menatapnya intens. "Yang ngelamain itu lo. Gue cuma nanya siapa yang sakit, lo jawabnya berbelit-belit, padahal gampang aja tinggal jawab. Siapa?"
Andin berdecak. "Aluna. Lo juga gak akan peduli, kan? Jadi, minggir!" Akhirnya Alaska membebaskan Andin. Segera Andin menuruni tangga dengan koper berukuran sedang yang dia seret di lantai. Tak berselang lama suara mobil Andin keluar dari garasi yang Alaska yakini akan menyusul ke rumah sakit.
Eh, tunggu! Apa katanya? Aluna sakit? Gadis bisu itu sakit? Udah bisu masih aja nyusahin orang lain! gertak Alaska dalam hati.
KAMU SEDANG MEMBACA
INSEPARABLE (SEGERA TERBIT)
Jugendliteratur[SEBELUM BACA FOLLOW DULU!!!] [COMPLETED] Terjebak dalam permainan takdir yang begitu memaksa hingga menyatukan mereka dalam sebuah perjodohan. Itulah yang Alaska dan Aluna rasakan. Terlibat dalam perjodohan yang direncanakan oleh ayah dan bunda Al...