Waktu terus berputar. Dikediaman Reiki sudah dipenuhi anak The Wolf. Semuanya sedang berkumpul untuk mengantarkan Reiki ke bandara beberapa jam lagi.
Seseorang keluar sambil mendorong kursi roda. Dia Reiki, yang sedang duduk di kursi roda dan Abim yang mendorongnya.
Reiki tersenyum. Tubuhnya terlihat jauh lebih kurus dari yang kemarin-kemarin. Teman-temannya menatap prihatin atas apa yang menimpa Reiki. Mereka semua langsung diam saat sang ketua datang bersama Abim.
"Kenapa jadi diem lo semua? Ayo lanjutin aja aktivitasnya," teriak Reiki meski tak setegas dulu. Mereka semua mengangguk dan kembali pada aktivitas masing-masing. Jujur Reiki tak suka dipandangi begitu oleh mereka semua. Rasanya seperti dia adalah orang paling lemah yang pernah ada di dunia. Duduk di kursi roda adalah sesuatu yang paling Reiki benci. Tapi apa daya, jika tidak dia tak akan bisa berkumpul di teras bersama mereka.
Cowok dengan setelah kemeja biru langit dan celana panjang putih itu menatap Abim. "Lo udah ngasihin suratnyakan Bim?"
Abim duduk di kursi besi samping Reiki yang duduk di kursi rodanya. "Udah kok. Cuma Aluna nggak ada di rumahnya. Cowoknya juga kayaknya lagi pergi, waktu gue datang sepi. Jadinya gue taruh aja dibawah," tutur Abim.
Siang tadi Reiki memerintah seluruh pasukannya untuk datang ke rumahnya malam ini. Dia menceritakan kondisinya dan teman-temannya paham. Lalu Reiki menyuruh Abim membeli sebuket bunga dan memberi sepucuk surat yang harus diantar Abim pada Aluna.
Penyakit tumor ganas yang tiba-tiba menyerang otaknya beberapa bulan lalu membuat Reiki tak sanggup lagi mengendarai motor miliknya. Untuk mengobrol, berjalan dan mengangakat benda saja rasanya tak cukup.
"Menurut lo, dia bakal datang gak ya?" pikir Reiki.
"Pasti datang Rei. Nggak mungkin Aluna gak datang."
"Tapi udah satu jam lebih Aluna belum juga datang," lirih Reiki. Helaan nafas terdengar. Dia melirik arloji di tangan kirinya. "Kalo sampe dia gak datang gimana? Atau mungkin Aluna gak baca surat itu?"
Tepat saat itu mobil jemputan dari bandara sampai. Bersamaan dengan teriakan Riana—mamanya yang menyuruh Reiki untuk segera bersiap karena sebentar lagi mereka akan pergi ke bandara.
Jadwal penerbangannya jam 10.45 sementara sekarang jam 09.05. Belum waktu perjalanan yang hampir menempuh satu jam lebih.
Reiki tak bergeming dia tetap menunggu Aluna.
"Gue nggak tahu," desis Abim.
Reiki kembali menatapnya. Alisnya saling bertaut. "Gue berharap dia baca surat itu," cicitnya.
Abim merasa sedih melihat Reiki yang begitu lemah seperti ini. Reiki sudah bercerita padanya kalau dia sangat mencintai Aluna. Reiki juga sudah membeberkan berita tentang pernikahan Aluna dengan Alaska hanya padanya. Reaksi Abim tak jauh beda dengan Reiki yang sangat terkejut saat mengetahuinya. Berfikir ada diposisi Reiki yang harus merelakan Aluna untuk orang yang paling dibencinya suatu yang mustahil mudah melepaskannya. Terlebih Abim tahu bahwa Alaska sangat membenci Aluna.
Abim turut larut dalam kepedihan yang Reiki rasakan. Saat cinta bertepuk sebelah tangan dan hanya dianggap teman. Tapi Reiki bersyukur. Cuma, Abim tak ingin Aluna menyesal jika dia tak datang kesini. Barang melihat Reiki untuk terakhir kalinya disini.
Abim mengangguk. "Mending sekarang lo jalan Rei. Daripada telat."
"Gue akan coba hubungin Aluna nanti. Gue juga bakal tanya sama dia apa dia baca surat yang ada didepan pintu rumah. Pokoknya lo tenang aja, lo harus fokus buat pengobatan lo, Rei."
KAMU SEDANG MEMBACA
INSEPARABLE (SEGERA TERBIT)
Novela Juvenil[SEBELUM BACA FOLLOW DULU!!!] [COMPLETED] Terjebak dalam permainan takdir yang begitu memaksa hingga menyatukan mereka dalam sebuah perjodohan. Itulah yang Alaska dan Aluna rasakan. Terlibat dalam perjodohan yang direncanakan oleh ayah dan bunda Al...