Hari pertama masuk kuliah semester ini terasa berbeda dengan kehadiran maba yang memiliki semangat juang kuliah, untuk sementara. Maba atau mahasiswa baru yang belum mengenal kehidupan kampus pasti rencangan meraka bear mulai target lulus 3,5 tahun, atau pengen kuliah sambil kerja, ambil sks sebanyak-banyaknya. Tapi nyatanya itu hanya angan saja, dikampus ku maksimal ambil sks adalah 24 sks itupun ipk kamu persemester harus caumlade atau minimal ipk 3,51 baru bisa ambil 24 sks. Dan lagi kebijakan kampus yang membuat kita harus mengikuti UKM membuat waktu kita tersita antara kuliah dan kegiatan UKM. Aku mengambil UKM musik dan Jurnalis. Ada manfaatnya ikut dua UKM, bisa main piano plus ketemu artis ketika wawancara. Aku pernah dapat tugas wawancara Maudy Ayunda loh, senengnya bisa ketemu artis, tambah lagi pengalaman terjun kedunia jurnalis.Selesai matkul aku dan Dimas berencana ke perpustakaan cari buku. Kami sudah mulai mencicil skripsi. Setelah sebulan lebih bingung cari variabel, dan akhirnya sudah menantukan variabel. Menentukan variabel gak muadah loh belum lagi ambil metodenya. Tak hanya mata dan tangan saja yang bekerja mulut pun juga ikut bekerja mengunyah makanan. Karena aku dan Dimas punya kenalan yang jaga perpus dibolehin deh bawa makanan. Atpi kita ngerjainya di ruang kerja Mas Budi kenalan kita supaya temen-teman nggak iri.
“Fi habis ini ke perpusnas ya, buku yang aku ccari gak ada soalnya. Nunggu Sehan selesai matkul juga, mau ikut katanya” bisik Dimas yang kuaanggukin karena kau tengah fokus. Jika teralihkan sedikitpun kata-kata yang terancang diotak ku langsung buyar.
Tiga jam lebih kami berada diperpus, arloji ku menunjukan pukul 12.45 aku dan Dimas memutuskan untuk menyusul Sehan yang sudah ada diparkiran fakultas. Semapai diparkiran Sehan sudah menunggu disamping mobil Dimas.
“Kita makan dulu ya, laper nih” ucap ku.
“Makan dulu lah, enggak kuat lanjut kalau nggak makan dulu. Sekalian beli cemilan, nanti minjem buku aja nanti ngerjainya dirumah kamu ya Fi tadi aku udah minta ijin Om Resqa” ucap Dimas.
Rencana pun berubah kami ke perpustakaan dulu karena si Dimas lagi pengen makan nasi padang. Setelah dari perpusnas kami mampir ke rumah makan nasi padang yang jadi langganan kami. Setiap sebulan sekali kami bertiga makan nasi padang dibungkus tapi, biar dapet nasinya banyak. Setelah itu mampir ke mini market beli cemilan. Karena dengan cemilan kita bisa fokus ngerjain skripsinya. Kalau ngerjain tugas tanpa ngemil itu berasa kaya nggak ada energi. Setelah itu baru deh kita menuju kerumah ku.
Sampainya dirumah ku kami langsung makan siang setelah itu kami sibuk dengan laptop masing-masing. Tak terasa senja pun tiba, otak ku mulai ruwet tiga jam baru sampai bab dua itu juga bab 2 baru selembar. Aku membuka buku coretan ku, rancangan isi skripsi yang ku tulis dibuku ini. Kayaknya cicil buat kuisioner dulu deh biar hemat waktunya. Nanti malem nyicil buat pertanyaannya dulu.
“Nanti refresing yuk ke mall, cuci mata. Judeg otak ku, butuh refresing nih baru awal perjalanan bab dua aja udah mulai depresi antara metode sama teori masih nggak bisa searah” ucap Dimas terdengan putus asa.
Baru juga niat buat pertanyaan kuisioner udah ada setan Dimas yang menggoda. Akhirnya ba’da magrib kami jalan-jalan ke mall. Tentunya setelah mengantongi ijin dari Bunda, Bunda juga berpesan agar aku pulang sebelum jam 8 malam karena Ayah bisa marah kalau tahu aku keluar dengan cowok. Aku sadar kalau aku bukan lagi tanggung jawab Ayah dan Bunda, aku juga tidak minta ijin sama Bang Elang. Nanti sajalah setelah pulang dari mall, nanti sekalian beli spidol juga persedian alat tulis ku menipis. Aku hobi membuat komik menhwa gara-gara baca komik dilapak kuning tema kerajaan aku jadi kepincut buat dan ternyata aku punya bakat menggambar. Aku gambarnya dibuku sketsa karena aku enggak punya ipad paint, nanti beli kalau tabangungan ku sudah cukup.
Kami mengunjungi lantai 3, Dimas ingin survei hp mau ganti hp baru katanya. Aku dan Sehan layaknya anak ayam yang mengikuti induknya kemanapun sang induk pergi. Tak sengaja aku melihat ipad paint, duh aku kan jadi pengen. Ipad paint merk jebolan Korea begitu menarik minat ku, dan lebih lagi ada potongan harga 30%.
“Tabungan ku baru ada dua jutah lima puluh masih kurang tujuh ratus. Kalau aku pakek uang di atm merah putih tujuh ratus enggak apa-apa kalikya” guman ku.
Akhirnya aku membeli ipad tersebut. Senyum ku mengembang ketika ipad pilihan ku sedang dikemas. Tiba-tiba lengan ku disenggol oleh Dimas, aku menatapnya.
“Itu suami mu bukan sih, kata dinas di Bandung kok bisa nyampai kesini. Sama perempuan lagi,” bisik Dimas.
Aku menatap kearah pandangan Dimas. Benar Bang Elang dengan perempuan berambut panjang tengah berada di toko ponsel yang tak jauh dari kami berada. sepertinya aku pernah melihat perempuan itu. Aku mencoba mengingat-ingat dimana kami peranah bertemu.
“Kalau nggak salah dia perempuan yang waktu itu kan,” guman ku yang ternyata terdengar oleh Dimas yang menatap ku terkejut.
“What jadi kamu tahu perempuan itu?” tanya Dimas pelan.
“Aku lihat Bang Elang juga sama perempuan itu di cafe waktu itu aku nemenin Sehan ngedit di cafe. Tapi aku enggak kenal perempuan itu.”
“Terus suami mu pernah cerita nggak tentang perempuan itu ?”
Aku menggelengkan kepala ku, pandangan ku masih fokus menatap mereka yang terlihat seperti pasangan kekasih. Mereka saling mengumbar tawa dan senyum. Padahal selama kami menikah Bang Elang tak pernah tersenyum seperti itu, bahkan biocaranya pada ku masih terasa kaku.“Kalian bisik-bisik apa ?” tanya Sehan.
Dimas menatap Sehan lalu tersenyum canggung, “Ini loh Fio uang sakunya habis buat beli ipad terus dia minjem uang ku.” Beruntung Sehan percaya.
Setelah itu kami memutuskan untuk pulang. Terelbih mood ku untuk jalan-jalan keliling mall jadi hilang melihat Bang Elang dengan perempuan tadi.
Digarasi sudah ada mobil Ayah, sepertinya Ayah pulang lebih cepat dari perkiraan Bunda. Aku membuka pintu pelan lalu menutupnya pelan. Aku berjalan cepat dan berdoa semoga Ayah tengah sibuk atau sudah tidur. Namun sayang doa tinggalan doa.“Dari mana saja kamu Fio. Apakah kamu sudah lupa dengan status mu” ucap Ayah tegas nan dingin.
Aku membalikan badanku, Ayah menatap ku layaknya menatap anak buahnya yang terkena masalah.“Fio dari mall Yah beli alat gambar, sekalian jalan-jalan sama Sehan dan Dimas,” jawab ku tanpa berani menatap Ayah.
“Sudah ijin dengan suami mu ?”
Aku mendongakan kepalaku lalu menatap Ayah sambil tersenyum miris, “Buat apa aku ijin Bang Elang sedangkan Bang Elang pergi dengan perempuan lain pun tidak iijin dengan ku. Aku sudah menuruti keinginan Ayah menikah dengan Bang Elang dan menerima pernikahan ini tapi aku mohon Ayah jangan suruh aku jauhin Dimas dan Sehan. Bisa gila aku Ayah karena mareka tempatnya ternyaman aku mengadu, lebih dari Ayah.” Berbalik arah lalu berjalan menuju kamar ku. Sedikit berkurang beban dibenak ku.
Bang Elang, siapa perempuan itu. Apakah dia kekasih mu, kenapa kamu seolah menarik ulur perasaan ku. Ayah, aku takut untuk patah hati dengan suami ku.
KAMU SEDANG MEMBACA
REFRAIN (Terbit)
General FictionTerkadang yang menurut orang tua baik. Belum tentu baik untuk kita. Tapi apa kita mampu menolak keinginan mereka? Meskipun itu menghancurkan kita . #7 abdinegara #6 militer #11 abdinegara 13/5/2020 #4 militer 2/7/2020 #1 tniad 1/8/2020