20. Akhir dari masalah.

14.1K 523 19
                                    

TOKOH, KEJADIA, ORGANISASI DAN LATAR BELAKANG ADALAH FIKSI.

Besok pagi aku harus kembali ke tanah air. Aku memandang langit kamar. Aku harus bagaimana, aku tak ingin bercerai. Bukan aku terlalu cinta namun tak ada yang di banggakan lagi dari ku. Aku sudah tidak perawan dan akan menjadi janda di usia muda. Bagaimana nanti dengan olokan kerabat papa dan mama. Aku hancur dan bingung harus bagaimana. Aku terus memikirkan nasib ku kedepan nanti bagaimana. Aku kecewa dengan papa dan mama aku juga kecewa dengan Abang Elang. Aku lelah menjalan hidup ini aku merasa tak sanggup lagi. Aku terus menangis di malam terakhir ku di Seoul.

Aku sudah tiba di Banadara Seoukarno Hatta. Om Haidar berdiri di pintu kedatangan sambil membawa kertas asturo dengan tulisan nama lengkapku. Aku berjalan mendekati Om Haidar sambil menggert koper ku. Om Haidar menatap ku dengan sedih. Ada apa dengan Om Haidar apa dia di tolak perempuan lagi.

"Ayo pulang Mbk. Semuanya sudah menunggu di rumah bapak." Ucapnya. Dan aku sadar semua nya itu berati ada keluarga Abang Elang saja.

Selama perjalanan aku memandang kosong ke arah jendela. Om Haidar yang biasanya cerewet juga mendadak diam mungkin dia paham situasi hati ku dan mungkin tahu permasalahan ku. Aku berharap jalanan di Kota Jakarta macet namun sayang doa ku tidak terkabul. Aku sampai di rumah papa. Aku mengela nafas lalau berjalan masuk kerumah. Di ruang tamu sudah ada papa, mama, ayah, bunda dan Abang Elang. Bunda menyuruhku duduk di samping nya. Aku benci suasana ini bisakah aku hilang saja.

"Aku kecewa sekali dengan anak mu Rif. Aku belum bisa membahagiakan putri ku dan berharap putra mu bisa membahagiakan putriku. Malah putri ku sengsara. Menyesal aku meneruskan perjodohan ini." Celetuk Papa.

"Res dari awal aku berharap semua berjalan dengan lancar. Tapi memang semua ini sudah tidak bisa di paksakan lagi. Mungkin perceraian adalah jalan terbaik bagi Elang dan Fio."

Mendengar perkataan ayah membuat aku menangis. Ayah sudah tidak mendukung ku lagi. Jadi memang harus bercerai ya.

"Kau pikir anak ku ini bonekah. Enak sekali kalian terbaik bagi kalian tapi sengsara bagi putri ku. Fi sudah mengorbankan semuanya impian, cita-cita dan bahkan dirinya dan kalian malah menyuruhnya bercerai."

"Setahun pernikahan mereka Fi belum juga hamil bang. Jangan-jangan putri mu mandul bang. Jangan salah kan putra kami saja bang." Celetuk Bunda.

Aku merasakan sesak sekali. Kenapa aku susah untuk bernafas. Aku berusaha mengatur nafasku.

"Kalian...."

"Pa sudah." Potong ku.

"Fi capek pa Fi juga lelah. Perceraian memang yang terbaik pa. Sudah Fi ikhlas dengan keputusan ini. Mungkin dari awal memang Fi ditakdirkan sendiri. Sudah ya pa Fi lelah Fi kekamar dulu."

Tanpa menunggu jawaban papa aku pergi meninggal kan ruangan itu. Setelah aku berada di kamar aku menumpahkan tangisan ku aku menjerit dalam diam. Kenapa hidupku seperti ini. Kenapa papa dan mama tak seperti orang tua Dimas yang membebaskan anaknya. Aku tak sanggup hidup. Aku harus bagaimana setelah ini. Apa benar aku mandul. Aku menangis seharian. Tak ku pedulikan ketukan yang berkali kali datang. Aku ingin sendiri merenungi nasib yang menimpaku. Diusia muda aku menikah dan di usia muda pula aku menjanda. Kenapa takdir begitu kejam pada ku tak bisakah aku di berikan kebahagiaan sedikit saja.

Hari menjelang malam aku masih menangis. Ketukan pintu kembali berbunyi.

"Mol buka mol atau aku dobrak pintunya. Jangan remeh kan kekuatan Dimas ganteng yang mengalahkan serigala. Mol buka mol." Teriak Dimas.

Aku bergegas membuka pintu lalu kepeluk Dimas. Aku menangis tak kupedulikan jika seragamnya basah. Papa dan mama memandangi ku yang masih memeluk Dimas. Dimas satu-satunya yang sangat peduli padaku.

REFRAIN (Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang