Bag. 1 ▪ Oppotaines Velduptos

3.5K 232 53
                                    

Tuk Tuk Tuk

Derap langkah suara sepatu ber-hak menggema di lorong satu sekolah Labentis Phantera Leo (LPL). Nama sekolah ini diambil dari bahasa latin yang dalam bahasa Indonesianya adalah pijakan singa. Kalau singa menguasai hutan dan dijuluki sebagai raja hutan, maka seluruh murid yang bersekolah di sini adalah penguasa dunia, orang yang bisa menguasai dunia dengan kecerdasan dan keterampilan yang mereka miliki sendiri. Bagi seluruh anggota sekolah di sini, pijakan artinya adalah tempat mereka berada saat ini, dan singa artinya adalah penguasa. Jadi mereka akan menguasai tempat dimana mereka berada.

Hawa masih dingin karena pagi baru menjelang. Wanita itu menyusuri lorong hingga menemui jalan keluar lainnya. Sekarang dia tepat berdiri di depan pintu masuk utama yang diberi nama lorong satu. Lorong inilah penghubung luar dan dalam sekolah. Tak ada tempat masuk selain lorong ini. Sejauh matanya dapat melihat, gerbang sekolah baru dibuka oleh petugas jaga. Sekolah ini begitu besar dan menggunakan dua gerbang besar masing-masing sepanjang empat ratus meter.

Sekolah ini berbeda dari sekolah biasa pada umumnya. Bukan TK, SD, SMP, atau pun SMA. Sekolah ini memiliki murid dari umur lima belas tahun sampai sembilan belas tahun. Pembelajaran yang dipelajari semua murid di sini bukan seperti duduk di kelas kemudian guru menerangkan. Ini berbeda. Mereka akan menghadapi apa yang seharusnya mereka hadapi. Tentunya sesuai jurusan mereka masing-masing.

Di sini hanya ada empat jurusan. Yang pertama, jurusan arboribus (yang mengarah ke kehutanan), yang ke dua jurusan turba (perusahaan / perkantoran), kemudian jurusan hospitium (yang berhubungan dengan rumah sakit), dan yang ke empat jurusan zoological (khusus binatang). Kedengarannya aneh. Walaupun sekolahnya berbeda, tetapi ada delapan ribu tiga ratus murid, yang menuntut pembelajaran di sini. Ya, inilah Labentis Phantera Leo.

Wanita itu tetap diam di tempatnya. Matahari sudah mulai tinggi. Beberapa guru mulai berdatangan. Mereka melewati wanita itu dan masuk ke lorong satu, tanpa menyapa atau menegur si wanita, padahal dia jelas-jelas berdiri di depan lorong ini. Hari ini adalah hari penerimaan murid baru. Dan setiap tahun di hari ini, dia selalu berdiam diri di depan sekolah menunggu murid-murid dengan wajah baru yang datang.

"Dari yang datang, adalah yang pergi."

•••••••

"Halo, namaku Felisa Auristela. Umurku lima belas tahun." Felisa yang sedang berdiri di depan ruang kelas berusaha tersenyum kepada semua teman-teman kelasnya.

Tetapi tak ada yang membalas senyumannya. Mereka hanya menatap Felisa dingin.

"Baiklah, Felisa boleh duduk. Sekarang giliran meja nomor dua belas." Guru cantik dan berbadan langsing itu mempersilakan.

Felisa turun dari lantai yang lebih tinggi yang ada di depan ruang kelas ini dengan menunduk. Dia berjalan kembali ke bangkunya di meja nomor sebelas. Tak ada satu pun teman yang menyapa atau tersenyum padanya setelah dia memperkenalkan diri. Felisa berharap, ini tidak seperti sebelumnya.

"Halo, nama saya Jenila Cynthia, panggil saja Jeni."

"Halo Jeni!" Semua murid menyapa Jeni dengan baik.

Jeni tersenyum, "Salam kenal, ya."

•••••••

Felisa duduk di bangku taman saat jam istirahat tiba. Hari pertama di sekolah barunya tak membawanya untuk bersosialisasi sedikit pun. Dia malah lebih menjadi pendiam. Tak memiliki teman adalah salah satu penyakit yang dimilikinya. Hanya air botol mineral di tangannya saat ini yang menemaninya. Rasa malu dan tak berani pada temannya sendiri membuatnya masuk dalam masalah yang tak pernah dia bayangkan. Pendiam boleh saja, asal jangan sampai berlebihan juga. Dia terlalu takut untuk sesuatu yang terjadi selanjutnya, apa pun itu. Bahkan untuk menyapa temannya sendiri pun dia tak berani, kecuali guru menyuruhnya melakukan itu.

Guru AnomaliTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang