Bag. 30▪Mati

398 73 4
                                    

Dokter beranjak pergi bersama seorang susternya. Rano menghela sembari menyandarkan kepalanya pada kepala ranjang. Ia membuka sebuah cermin yang di sisi lainnya terpajang foto istri dan bayinya. Rano mengulas senyum.

"Sebentar ya, sebentar lagi, ayah akan pulang," serunya dengan menatap foto itu lekat-lekat.

Zrassh! Mata Rano membelakak hebat. Seluruh tubuhnya seketika berkeringat dingin dan gemetar. Sontak, ia menyemburkan darah segar melalui mulut. Ia terguling ke lantai. Napasnya berpacu cepat. Anak panah yang tertancap pada bahu bawahnya membuatnya kesakitan setengah mati. Ini seperti ... ditusuk pisau.

Selang beberapa detik, terdengar ledakan dari bawah yang berhasil mengguncang rumah sakit selayaknya gempa 10 magnitudo. Rano berusaha meraih gagang pintu dengan merayap di lantai. Darah membasahi baju dan lantai yang ia lewati. Tetapi, tak sampai gagang pintu, ia sudah lemas. Matanya sayu. Ia menengok ke jendela luar. Api mengobar dari sana. Rano menelan ludah, menahan rasa sakit.

"Jend Pol Rycer, Brigjen Pol Yaksa, Briptu Adirh, Emirale, Bripda Refito, Iptu David, dan teman-teman yang lain. Akh ...," Rano meringis, "mari, kita bertemu. Panah ini, telah masuk jauh ke tubuhku. Kalian yang telah gugur, adalah pengabdi sejati bangsa. Dan, inilah rasanya kematian."

Rano membisu. Mulai terdengar pelan napas dari hidungnya.

Tiba-tiba, pintunya dibuka keras. Dua orang perawat terkejut. Pasien yang akan mereka evakuasi telah tewas terlebih dahulu dengan sebuah anak panah.

"Ayo, cepat kita evakuasi yang lain!" seru salah seorang perawat, dan kembali menutup kamar inap Rano karena mengira pria itu telah meninggal.

Tetapi, Rano masih bernapas lemah. Ia mendengar setiap adegan yang terjadi. Namun, ia sama sekali tidak marah. Apa gunanya bila ia dievakuasi. Ia hanya merepotkan para petugas medis padahal akhirnya akan tetap sama.

Aku tak pantas jadi detektif karena aku tak bisa mengungkap kasus ini dengan cepat padahal para polisi mempercayakan amanahnya padaku, batinnya, sebelum akhirnya ia benar-benar pergi.

Terdengar kembali ledakan di bawah lantai tiga, karena tabung gas yang terlalap api. Hal itu membuat api semakin ganas. Petugas pemadam kebakaran telah sampai di lokasi. Mereka berusaha memadamkan api dengan cepat agar peluang terselamatkannya pasien lebih besar. Api yang membara mulai membakar ruang inap Rano.

Mulai dinding, jendela yang pecah, kasur dan lemari kayu yang terbakar, kemudian perlahan-lahan melalap mayat berdarah itu. Sepatu Rano yang selalu menemaninya dalam mengusut kasus, kini sisa abu. Kakinya pun ikut terpanggang. Ketika api hampir mengenai kepalanya, air pemadam kebakaran tepat waktu mematikan si jago merah. Dari bahu ke atas jasad Rano masih utuh, bahkan anak panahnya tetap kokoh menancap di bahunya.

•••••

Lawrence terbatuk-batuk. Asap memenuhi ruang inapnya. Tetapi ia tidak bisa beranjak dari ranjang. Kaki kanannya diperban erat karena mengalami luka bakar parah. Suasana di luar kamarnya ribut. Pasien beserta keluarganya berteriak panik menuju jalan evakuasi.

Irjen Pol Nevara dengan tertatih-tatih keluar kamar inap sendiri. Ia berjalan dengan kepulan asap menuju kamar inap Lawrence. Sebisa mungkin Irjen Pol Nevara menahan napasnya agar asap tidak membuatnya sesak. Sayangnya, Lawrence berada di lantai empat, sedangkan kamarnya di lantai tiga.

Irjen Pol Nevara mulai menaiki tangga ke atas, sedangkan orang lain buru-buru menuruni tangga. Ia bertemu seorang perawat dan mencegahnya untuk naik.

"Suster, saya mohon. Keponakan saya di lantai empat kamar nomor tiga ratus sembilan puluh. Saya harus menyelamatkannya!"

Perawat itu menarik Irjen Pol Nevara hingga ke anak tangga yang paling bawah. "Tenang, ada petugas medis yang mengevakuasi di setiap lantai. Jadi saya mohon--"

Guru AnomaliTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang