Bag. 8 ▪ O V e

1.2K 125 16
                                    

Felisa memberikan kantong plastik bening pada Nenek.

Nenek mengambilnya, "Kamu jalan kaki?"

Felisa yang masih ngos-ngosan itu mengangguk sembari duduk di kursi ruang tamu.

"Kenapa nggak naik sepeda Nenek Saja?"

"Nggak berani." Felisa nyengir.

Nenek geleng-geleng kepala, "Ya sudah, kalau gitu nenek pergi kerja dulu ya. Kamu baik-baik di rumah sama Kakek."

Felisa mengangguk.

Nenek menuju pintu rumah dan segera mengayuh sepedanya menjauh. Felisa melirik jam dinding. Masih jam delapan pagi. Dia bingung mau ngapain hari ini. Karena kakek juga masih tidur. Akhirnya Felisa menutup pintu rumah dan menguncinya. Dia beranjak ke kamar. Didudukinya kursi meja belajarnya. Setelah ia pikir-pikir, kenapa kakek tidak pernah berbicara?

Felisa mencoba mengingat lagi, "Apa sejak aku kecil kakek tidak berbicara?"

Felisa tidak ingat. Dia masih terlalu kecil untuk mengingat semua itu. Mau mengingat bagaimana pun juga, Felisa tetap tak bisa mengingatnya. Tapi pernyataan kakek tidak berbicara seakan di tolak oleh hati kecilnya.

"Apa Kakek tidak berbicara sejak sakit? Apa dia jadi kesusahan berbicara karena itu? Ah, aku lupa. Tapi masa iya sih kakek tidak bisa bicara?"

Tok! Tok! Tok!

Felisa terhenyak. Ada yang datang. Felisa segera keluar kamar dan dengan ragu-ragu menuju pintu rumah.

"Si—siapa?"

"Kami dari kepolisian. Bisa buka pintunya?"

Mata Felisa membulat. Bagaimana bisa pihak kepolisian ke rumahnya? Akhirnya karena tidak mau mendapat masalah, Felisa membukakan pintu. Tiga anggota polisi itu disambut dengan tundukan gadis di hadapan mereka.

"Anda yang bernama Felisa Auristela?"

Felisa diam. Sorot matanya melihat jari kaki kecilnya yang bergerak-gerak.

"Maaf, apa anda mendengar ucapan saya barusan?"

Felisa masih diam.

Polisi itu menghela napas, "Saya dari pihak kepolisian, Komisaris Besar Polisi, Kevin Adarmaraga, dengan hormat ingin bertanya, apakah anda yang bernama Felisa Auristela?"

"A—apakah, aku terlalu tua hingga dipanggil 'Anda'?" Felisa berkata dengan suara minim.

"Ah, baiklah kalau begitu. Apakah adik yang bernama Felisa Auristela?"

Felisa masih betah dengan posisi diamnya.

Kombes Pol Kevin melihat ke dua polisi lain yang berdiri di sampingnya. Akhirnya salah seorang polisi maju membujuk Felisa.

"Hmm ... Halo, masih ingat dengan saya? Briptu Adirh." Briptu Adirh tersenyum.

Tetapi Felisa tetap menunduk. Dia bahkan tak melihat senyuman lebar pria itu.

"Felisa, kamu kenapa tidak sekolah?"

"A—aku ingat."

Briptu Adirh terkejut. Felisa baru saja menjawab pertanyaannya yang pertama. Ah, anak ini memang selalu membuat Briptu Adirh bingung sekaligus kesal.

"Yah, kalau begitu apa kamu bersedia ikut dengan kami?"

Felisa menggeleng kecil.

"Kenapa? Apa ada orang selain kamu di rumah?"

Felisa mengangguk.

"Siapa?"

"Kakekku."

Briptu Adirh menegakkan tubuhnya, "Jangan khawatir. Kalau kamu mau ikut kami sebentar, akan kuutus seseorang untuk menjaganya."

Guru AnomaliTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang