Bag. 12 ▪ Penyelidikan

1.1K 119 7
                                    

Rano bersama rekan-rekannya datang ke LPL. Dengan jaket hitam dan celana hitam serta kacamata hitam yang ia kenakan, dia terlihat arogan. Pertama kali datang ke sekolah ini membuat kesan tersendiri baginya. Menurutnya, sekolah ini unik dan belum ada sekolah seperti ini di seluruh dunia. Di balik profesinya sebagai detektif, ia terkenal sulit untuk memuji bakat atau suatu hasil yang tercipta dari pemikiran dan tangan orang lain. Semua hal di dunia ini menurutnya biasa saja. Tetapi kali ini, terselip kekaguman di hatinya terhadap bangunan yang belum terlalu lama berdiri di hadapannya ini.

Rano melepaskan kacamata hitamnya agar lebih leluasa melihat setiap detail bangunan luar LPL. Siapa arsitekturnya? pikirnya.

"Mr. Rano, silakan lewat sini."

Rano mengangguk sembari memasukkan kacamatanya ke saku jaket. Perlahan-lahan dia berjalan berdampingan bersama orang yang mempersilakannya menuju lorong satu.

"Adakah yang aneh dengan bangunan ini?"

"Tidak. Sama sekali tidak ada kurasa. Aku hanya takjub." Rano tersenyum.

Iptu David menyenggol sedikit lengan Rano. "Hebat," katanya sembari tersenyum.

•••••••

Lawrence duduk di depan kelasnya. Kecurigaannya terhadap Felisa semakin kuat. Sekarang gadis 15 tahun itu menghilang. Dalam hatinya dia bertekad, bagaimanapun juga caranya, dia harus bisa menemukan Felisa. Tatapan mata gadis itu tak dapat dilupakan Lawrence. Tatapan dingin, dengan pupil coklat yang indah. Lawrence tiba-tiba tersenyum miring.

"Dimana pun kau bersembunyi, kau akan tetap masuk perangkapku."

Tiba-tiba seorang lelaki berambut hitam kecoklatan dengan sedikit poni menghiasi dahinya menatap Lawrence sembari melewati lelaki itu. Tatapannya begitu menusuk. Terjadi keheningan yang tak bisa dihindarkan dari mereka berdua. Apalagi lelaki yang lewat itu sengaja memperlambat jalannya.

Dia kan murid kelas satu, kenapa bisa ada di sini? batin Lawrence.

Lelaki itu tersenyum miring pada Lawrence sebelum akhirnya berlari meninggalkan deretan kelas 2. Lawrence dengan spontan berdiri dan melihat punggung murid kelas satu itu menjauh.

Siapa dia? batinnya.

•••••••

"Maaf sebelumnya atas kelancangan kami mendobrak pintu rumah Bapak. Tapi, bisakah setidaknya Bapak memberitahu nama Bapak?" tanya Brippol Fernan.

Lelaki tua yang sudah dibantu Brippol Fernan duduk itu tetap diam saja. Dia menatap kosong ke arah lantai kayu yang dipijaknya.

Brippol Fernan melihat ke dua rekannya secara bergantian seakan meminta bantuan apa yang harus dilakukan agar kakek Felisa itu mau membuka mulut.

Akhirnya Kombes Pol Kevin mendekati sang kakek. "Permisi Pak, apakah bBapak bisa mendengar saya?" Kombel Pol Kevin merunduk, agar dia bisa melihat dengan jelas wajah kakek itu.

Kakek Felisa mengangkat wajahnya. Matanya bertemu dengan pupil Kombel Pol Kevin.

"Baiklah, kami dari pihak kepolisian. Saya Komisaris Besar Polisi, panggil saja Kombes Pol Kevin. Bisakah kami tahu nama Bapak?"

Kakek Felisa bungkam.

Kombes Pol Kevin mulai berpikir bahwa orang tua itu tidak bisa berbicara. Dia akhirnya menggunakan bahasa isyarat.

"Apakah Bapak bisa mengerti tulisan ini?" tanyanya dengan menggunakan bahasa isyarat tangan.

Percuma saja. Kakek Felisa tetap diam dan mematung. Bernapas saja tidak sepertinya. Dia terlihat seperti orang kebingungan. Kombes Pol Kevin menduga kakek Felisa tidak waras. Tetapi dugaan itu seakan hanya bualan tanpa bukti medis.

Guru AnomaliTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang