Bag. 29▪Incaran Pembunuh

420 73 7
                                    

Ruangan pengap dan gelap. Hanya sebuah lilin sebagai pusat penerangan. Cleve menunduk kaku di hadapan dua orang polisi yang mewawancarainya. Di ruangan sebelah, OVE dengan wajah mengerikan yang berlendir dan jari-jari melepuh, sedang diinterogasi juga dengan lima anggota polisi, salah satunya adalah AKBP Tristan. Namun, OVE berada di dalam kurungan besi mini agar ia tak bisa menyerang siapa pun selama interogasi berlangsung.

Semua anggota kepolisian Indonesia terluka parah. Sepertinya, Cleve dan OVE memang sengaja mengarahkan senjatanya pada kepolisian Indonesia karena telah ikut campur dalam urusannya. Cleve kini terlihat lebih diam, karena penglihatannya yang semakin menurun sejak peperangan tiga puluh menit waktu itu.

"Nyonya Cleve Urtana. Apa yang sebenarnya melatarbelakangi anda untuk membantu Sultan Fenos?" tanya kepolisian Nauru dengan bahasa inggris.

"Sultan Fenos adalah suamiku."

"Ya, kami paham. Namun, bukankah tindakannya tidak benar? Kami ingin tahu, apa yang membuat anda begitu besarnya mengorbankan diri untuk Sultan Fenos. Seperti halnya ketika anda membiarkan Fenos pergi sedangkan anda bersama OVE yang menghalangi para polisi dan tertangkap. Apa tujuannya?" tanya polisi lainnya.

Dengan suara kecil, Cleve menjawab, "Tentu saja seorang istri harus membantunya suaminya."

Polisi satu menghela. "Bukankah itu salah? Kenapa anda masih tetap mengikuti Fenos?"

Cleve memberanikan diri menatap empat mata polisi. Bibirnya pucat. Bukan karena takut, melainkan penyakitnya terus mengoyak. Cukup lama Cleve terdiam. Raut wajahnya sendu.

"Pak ...," ia menjeda, "apa yang bisa dilakukan wanita setua saya? Saya hanya ingin disisa hidup, saya bersama suami saya. Itu yang saya kejar dari dulu."

"Lalu?" cakap polisi dua.

"Saya tahu, tak akan mendapatkannya. Jadi, untuk bantuan terakhir, saya membiarkannya pergi."

"Sungguh menyedihkan sepertinya. Tunggu, apa anda sakit?"

Cleve menggeleng. "Tidak, Pak."

"Pertanyaan selanjutnya. Apa yang sebenarnya dilakukan Sultan Fenos selama ini? Dan kenapa wajah dan perawakannya bisa seperti pria tiga puluh tahun?" tanya polisi satu.

"Dia pria yang cerdas. IQnya di atas dua ratus. Bahkan sampai polisi tak bisa menangkapnya hingga sekarang," ejek Cleve.

Polisi dua mengangkat kedua alisnya. "Dia cerdas, namun dia penakut kudengar?"

Cleve menyungging senyum di sudut bibirnya, "Ya, untuk itulah dia butuh bantuanku. Dia sedikit takut untuk mati, namun berani berperang dan menyulut api."

"Ceritakan sekarang apa yang telah dilakukan Fenos untuk proyeknya. Jangan mencoba mengalihkan perhatian," desak polisi satu yang telah membaca pikiran Cleve.

Cleve kembali menunduk. "Berjanjilah padaku untuk tidak menangkapnya jika kuberitahukan semua kronologinya."

Kedua polisi itu tersentak dan sedikit tertawa.

"Apa? Bagaimana bisa kau bekerja sama dengan seperti itu dengan polisi?" ucap polisi dua.

"Bisa, jika kalian ingin. Tentu, Fenos akan berterima kasih dan memberi kalian obat apa pun yang kalian inginkan, selain pencegah kematian."

Kedua polisi saling pandang, kemudian menjawab bersama, "Setuju."

•••••

Cleve telah dimasukkan dalam sel sendiri. OVE di sel lain dan ia sama sekali tak membuka mulutnya ketika diberi pertanyaan. Ia hanya menggerang seperti binatang buas. Tidak ada yang berani terlalu memaksanya, karena para polisi pun belum tahu apa yang harus mereka lakukan ketika makhluk itu memberontak. Ia akhirnya diletakkan dalam sel isolasi.

Guru AnomaliTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang