Bag. 6 ▪ Tersangka

1.4K 141 9
                                    

Setelah menghubungi keluarga Jenila Cynthia, AKBP (*Ajun Komisaris Besar Polisi) Tristan menerima salah satu petunjuk atas kematian perempuan lima belas tahun itu. Ibu Jeni memberikan ponsel anaknya karena ingin pembunuhnya segera ditangkap. Di ponsel Jeni, ada sebuah pesan terakhir yang ia terima sebelum dia tewas. Pesan dari nomor pribadi. Menurut Ibu Jeni, sebelumnya nomor yang mengirimkan pesan itu terlihat dan nomornya tak tersimpan di kontak ponsel Jeni. Tetapi entah kenapa saat dia menyerahkan ponsel itu ke polisi, nomornya berubah menjadi nomor pribadi.

Polisi juga sedang menyelidiki kasus itu. Tubuh dingin Jeni dan Irzan sekarang sedang berada di rumah sakit dan sedang dilakukan identifikasi forensik. Lawrence sangat berharap hasilnya cepat keluar. Sekarang anak laki-laki enam belas tahun itu tengah membantu ayahnya dan polisi lain untuk mencari dugaan penyebab kematian Jeni dan Irzan dihari yang sama. Selain mereka berdua, seorang murid perempuan dari kelas 3-C tewas dibunuh dihari yang sama pula. Lawrence tak habis pikir akan hal itu. Sekarang yang dia pikirkan adalah korban terakhir pembunuhan siang itu, sebelum akhirnya dia ikut pergi bersama anggota polisi.

•••••••

Apakah benar, pelakunya OVe? duga Lawrence sambil melihat para polisi berlari ke tempat tewasnya Drita Raya Geflusa.

Spontan, semua murid dan guru yang ada di sekitar sana keluar kelas. Mereka penasaran dengan apa yang terjadi.

Seorang perempuan tinggi berambut coklat panjang ikut gerombolan polisi yang sedang berusaha mengamankan jasad Drita. Beberapa polisi menghalanginya dan menyuruh untuk balik ke kelas. Karena dia begitu bersikeras, akhirnya seorang polisi memarahinya. Dengan hentakan itu dia akhirnya mundur dan berjalan perlahan-lahan meninggalkan lorong tiga dengan mata sesekali melihat ke belakang.

Lawrence yang sedang berlari menuju lorong tiga, melihat perempuan itu dengan gelagat mencurigakannya, "Siera?"

Lawrence diam di tempatnya. Dia tak mau menghampiri perempuan yang menurutnya hampir saja mengacaukan penyelidikan polisi. Tetapi, saat ini posisinya tidak menguntungkan. Bukannya ingin tak terlihat oleh perempuan itu, tapi perempuan itu justru berjalan ke arahnya, yang dimana tempat keluar dari lorong tiga menuju lapangan LPL.

Mata mereka akhirnya saling tatap. Perempuan itu tersenyum sinis pada Lawrence.

"Kau rupanya."

Lawrence melempar pandangan tajam.

Siera mulai mendekati Lawrence, "Sudah lama sepertinya tak berjumpa, musuh lumutan."

"Kenapa kau bisa di sini?"

Siera nyengir lebar, namun sinis, "Hah, memangnya kau yang punya sekolah ini?"

"Mau apa kau?"

Siera melipat kedua tangannya di depan dada, "Aku ... cuma mau menemukan OVe si pembunuh berantai itu."

"Tidak. Pasti bukan dia pelakunya."

"Oh ya? Kau tau darimana, hah? Kau tidak punya bukti untuk membuktikan omonganmu itu? Jadi orang jangan sok tahu."

Lawrence hanya mengangkat sebelah alisnya, seakan menantang.

"Kenapa? Kau kalah bicara denganku? Sudahlah, buang-buang waktu saja berbicara dengan manusia jelek sepertimu." Siera menyibakkan rambutnya dan berjalan angkuh meninggalkan Lawrence yang masih terpaku.

Sadar akan situasi, Lawrence segera berlari memasuki lorong tiga. Polisi mulai memberikan garis, tanda tak boleh dilewati orang sembarangan. Lawrence mengamati jasad teman satu sekolahnya itu. Dia menemukan sesuatu. Matanya selalu dapat diandalkan. Di balik tubuh tak bernyawa itu, sebuah benda mengkilat tertindih di bawahnya.

Guru AnomaliTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang