Bag. 13 ▪ Penyelidikan [2]

1K 123 9
                                    

Sinar matahari mulai menyorong, menandakan tak lama lagi akan terbenam. Sore hari yang indah berubah menjadi kesuraman pada hari dimana seharusnya menjadi kebahagiaan.

"Anda yang bernama Pionareta?" tanya Brigjen Pol Yaksa sambil menodongkan pistolnya ke arah gadis berumur delapan belas tahun.

Gadis itu diam sambil menatap beku Glock 20 di tangan sang polisi.

Tiba-tiba seorang pria dan seorang wanita keluar dari pintu rumah di belakang gadis itu berdiri. Mereka berdiri di samping sang gadis sambil menatap bingung pihak kepolisian yang ada di depan mereka.

"Ada apa ini? Salah anak saya apa?" tanya si pria yang rupanya ayah dari Pionareta.

"Nanti akan kami jelaskan di kantor. Sekarang izinkan anak Bapak ikut kami."

"Tidak, Reta tidak bersalah. Kalian pasti salah orang. Reta adalah anak baik-baik," bela sang ibu.

"Iya, tapi maaf sebelumnya untuk orang tua Reta, anak kalian harus ditahan sementara," jawab Iptu David yang berdiri di samping Brigjen Pol Yaksa.

"Tidak, sebelum bapak-bapak sekalian menjelaskan, ada apa ini." Ayah Reta angkat bicara.

"Baiklah, singkatnya Reta atau Pionareta ada hubungannya dengan pembunuhan Drita Raya Geflusa, teman satu sekolahnya sendiri. Jadi sekarang izinkan kami membawanya untuk diperiksa. Jika memang tak bersalah, kami takkan menahan," balas Brigjen Pol Yaksa.

Ibu dan ayah Reta terlihat lemas seketika. Mereka menatap Reta tak percaya. Tetapi Reta menunduk, seakan mengakui kesalahannya. Pihak kepolisian belum mengatakan dia pelaku, tetapi dia ada hubungannya dengan pembunuhan ini. Padahal tepat hari ini, Reta berulang tahun.

•••••••

AKBP Tristan mengacak rambutnya. Rambut yang sebelumnya sudah kusut itu bertambah tak karuan. Dia memegang kepalanya. Pusing. Matanya terus menatap pada lembaran di atas mejanya.

"Ada apa?" tanya Kombes Pol Kevin yang sekarang meja kerjanya berpindah dekat dengan AKBP Tristan.

AKBP Tristan menoleh ke arah pria itu, dan segera duduk tegak. "Maaf, selama Adirh duduk di situ aku tak pernah memperhatikan sekeliling."

Kombes Pol Kevin mengangkat kedua alisnya.

"A—aku terbiasa tak terkontrol jika sedang stres."

"Ah, kau sedang stres ya? Mau minum kopi bersama?"

AKBP Tristan sedikit terkejut. Tak sama sekali ia bayangkan Kombes Pol Kevin akan bersikap seakrab itu dengannya.

Dia akhirnya tersenyum kecil. "Baiklah, terima kasih."

Mereka berdua beranjak dan menuju salah satu kedai kopi dekat sana. Mereka duduk berhadapan dengan meja yang membatasi. Terlihat dari raut wajah AKBP Tristan, dia sangat lelah. Kantung matanya tampak jelas.

"Sebenarnya apa yang membuatmu stres?" tanya Kombes Pol Kevin sembari menunggu pesanan mereka datang.

"Kasus kematian Bripda Refito. Dari hasil identifikasi, di sana ditemukan sidik jari Felisa Auristela. Kau tahu, aku selalu mempercayai anak itu walaupun belum pernah bertemu langsung." AKBP Tristan memegang dagunya.

Kombes Pol Kevin membulatkan matanya. "Kau yakin sidik jari Felisa?"

"Tanya saja langsung pada Emirale. Kalau benar itu sidik jari Felisa, entahlah, mungkin kepercayaanku padanya akan memudar."

"Tidak. Ada sidik jari Felisa bukan berarti dia pelakunya. Bisa saja ini jebakan."

AKBP Tristan menatap Kombes Pol Kevin. "Benar juga."

Guru AnomaliTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang