Bag. 15 ▪ Tamu Tak Diundang

1K 120 13
                                    

10.00

Sekolah yang seharusnya menjadi tempat menuntut ilmu dan bersenda gurau bersama teman-teman justru menjadi mimpi buruk bagi penghuninya. Sekolah yang sudah damai selama empat tahun terakhir ini kembali diguncang dengan tragedi pembunuhan berantai.

Siera dengan segala persiapannya sudah menunggu di balik lemari kelas 5-G Jurusan Hospitium. Yah, walaupun pesan waktu itu tidak mengatakan letak jurusan yang tepat, tapi dimana lagi selain di jurusan ini. Dari satu jam yang lalu dia sudah bersampingan dengan lemari ini. Siera tak mau mengambil risiko jika telat menonton satu pertunjukan pun. Lelah dia berdiri, akhirnya memutuskan untuk duduk walaupun sesak sekali rasanya duduk bersama lemari kayu dengan lebar lima putuh senti.

Lima menit setelahnya, dia mendengar langkah kaki. Siera memasang telinganya kuat-kuat. Suara langkahan kaki dengan sepatu beralasan tebal. Siera mengintip sedikit. Ada rasa kecewa di hatinya saat melihat ke jendela yang menampilkan seorang polisi sedang berkeliling. Bukan itu yang dia tunggu-tunggu. Siera melihat jam tangannya. Sudah pukul sepuluh lewat lima belas menit. Siera mendengus. Bahkan untuk seorang pembunuh berantai sepertinya "waktu" tidak terlalu diperhatikan. Siera belum pernah menemui pembunuh seperti ini.

Apa Lawrence tidak datang? pikirnya.

Tap. Tap. Tap.

Seseorang dengan langkah kaki menggema masuk ke kelas ini. Siera kembali mengintip melalui lubang kecil yang ia buat sendiri.

Seketika matanya melebar. "A—apa itu ... Ste—Steright?"

"Jangan bersembunyi. Dia takkan dating," volume suaranya cukup keras.

Lagi-lagi Siera dibuat terkejut oleh lelaki itu.

B—bagaimana bisa dia tahu?

"Ayolah keluar, sudah kubilang, dia takkan datang."

Perlahan, akhirnya Siera mengalah. Dia mulai berdiri dan akan keluar. Tetapi saat baru saja kakinya melangkah, dirinya kembali dibuat terkejut.

Dor!

Siera membelalak. Kedua tangannya yang memegang pisau spontan menjatuhkan benda runcing itu. Ia menutup mulutnya, tak percaya. Entah kenapa, tiba-tiba air mata meleleh di pipinya.

Steright?

Tubuh Siera seakan beku. Kakinya sangat sulit untuk digerakkan. Dia tak berani keluar. Siapa yang menjamin kelas ini aman dari mata-mata. Siera tak menyangka hal inilah yang akan terjadi. Dia kembali duduk bersesakan di belakang lemari. Tak lama, terdengar beberapa langkah orang mulai mendekati tempatnya. Siera tak berani untuk mengintip.

"Lihat di sana Pak, ada yang tertembak," seru salah satu polisi.

"Ayo cepat, panggil yang lain!" balas polisi lainnya.

Sedikit senyum terbentuk di sudut bibirnya. Ada rasa lega menyelimuti hati gadis itu. Kini, dia merasa aman. Para polisi telah menemukan tempatnya. Tapi, dia tidak mau salah langkah. Belum saatnya untuk keluar. Jika memaksa, dia bisa jadi tersangka.

••••••••••

Jantung Brippol Fernan tidak berhenti berdegup cepat sejak berbicara dengan kepolisian Hamburg lewat telepon. Dia sama sekali tak menyangka nenek berumur 67 tahun adalah pembunuh dan buronan polisi dalam kasus penyelundupan. Brippol Fernan memegang kepalanya. Pusing. Kasus ini benar-benar membuatnya pusing tujuh keliling. Apa yang harus dia katakan nanti pada AKBP Tristan.

Di layar monitornya, terpampang foto seorang wanita tua berkulit keriput dan rambut hampir putih seluruhnya. Dia mengenakan pakaian putih dan rambutnya diikat cepol ke belakang. Brippol Fernan memperhatikan foto itu. Di kepalanya berkutat, bagaimana bisa wanita lansia seperti itu bisa melakukan pembunuhan dengan singkat dan segera kabur dari lokasi kejadian. Healvilla dan Gissla. Kedua gadis itu tewas di tangan saudara kandung mereka sendiri. Berarti selama ini, menghilangnya Cleve karena dia sedang berada di Hamburg.

Guru AnomaliTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang