Bag. 5 ▪ Pembunuhan Berantai

1.5K 156 0
                                    

Matahari sudah mulai naik ke atas kepala. Murid-murid yang dikumpulkan pada mengeluh karena panas yang mulai menyengat kulit mereka. Mr. Vender juga tak bisa membiarkan murid-muridnya harus berpanas-panasan yang akan membuat kepala pening. Lewat Mrs. Rossa, Mr. Vender memerintahkan agar semua murid masuk ke kelas masing-masing dan harus ada seorang guru yang menemani mereka di sana.

"Anak-anak, dari kelas satu sampai kelas lima dari A sampai G, dipersilakan masuk ke kelas masing-masing. Wali kelas harap menemani anak asuhnya selama berada di kelas, kecuali ada keperluan mendesak. Terima kasih." Mrs. Rossa berbicara di dekat tiang bendera menggunakan mic.

Murid-murid mengeluarkan semua kelegaan mereka karena akhirnya bisa kembali ke kelas. Di pertengahan jalan menuju lorong dua, Felisa bertemu dengan Steright.

"Sendirian saja?" Steright berusaha menyamai langkah kaki Felisa.

Felisa mengangguk saja dengan sedikit cemberut.

"Kamu kenapa?"

"Enggak papa."

"Hmm ... kamu tadi dibawa ke mana sama dua polisi itu?"

Felisa menoleh pada Steright dengan tatapan kaget, "Kamu lihat?"

Steright mengangguk mantap sambil tersenyum, "Tentu saja."

Felisa mendengus dan menatap tanah di bawahnya.

"Memangnya aku tidak boleh tahu ya tadi kamu kemana?"

"Tidak ada yang perlu kamu ketahui."

Steright mengangguk mengejek, "Ooh gitu. Aku lupa ya kita bukan teman."

Tak terasa, akhirnya mereka sampai di depan kelas 1-B.

"Steright, ayo cepat!" Salah seorang temannya melambaikan tangan di ambang pintu.

Steright segera saja berlari ke arah kelas 1-B. Sebelumnya dia sempat melirik Felisa, walaupun gadis itu selalu membuatnya kesal.

Felisa dengan langkah perlahan menyusul Steright masuk ke kelas, Kenapa lelaki itu selalu saja menggangguku, batinnya.

Buk!

Felisa menjatuhkan kasar dirinya pada bangku. Kepalanya pusing dengan semua ini. Pagi tadi sudah diberi tontonan mayat, kemudian pembunuhan, dan lelaki dingin yang ia tidak suka itu. Padahal hari ini dia semangat sekali bersekolah.

Tapi kalau dipikir tentang Lawrence, aku nggak suka sama dia karena sikapnya yang cuek dan kelihatan seperti pembunuh kejam. Aku berharap tadi itu adalah pembicaraanku yang pertama dan terakhir dengannya. batin Felisa yang membungkuk malas di atas meja.

"Fel?" Teman sekelasnya di meja nomor 18 menghampiri.

Felisa segera duduk tegak kembali dan menatap aneh pada temannya itu.

"Namaku Siera." Siera menjulurkan tangannnya.

Felisa menatap kosong pada uluran tangan itu.

"Kamu tidak mau berjabat tangan?"

Felisa menatap dingin Siera. Bahkan kepalanya pun seakan enggan untuk bergerak.

Siera menarik tangannya kembali, "Oke, tidak apa-apa. Tapi aku mau nanya, kamu tadi ngapain sama dua orang polisi itu?"

Felisa tertegun, tak menyangka teman yang melihat dirinya digiring polisi lebih dari satu orang. Padahal waktu itu suasana masih pagi sekali.

"Kamu tidak mau juga memberitahuku, hm?" Siera mengangkat kedua alisnya, masing-masing tangannya ia letakkan di pinggang.

Guru AnomaliTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang