Bag. 3 ▪ Pembunuh

1.7K 178 13
                                    

Felisa bangun lebih pagi. Dia berencana membereskan rumah dan membuat sarapan sebelum pergi ke sekolah. Tapi, saat dia membuka pintu kamar, neneknya sedang berdiri di hadapannya dengan sapu.

"Nenek?"

"Eh, kamu sudah bangun? Pagi sekali."

Felisa terlihat lesu, "Padahal aku sengaja bangun pagi supaya bangun lebih cepat dari Nenek. Eh, Nenek sudah ada di depan pintu."

Nenek tersenyum, "Ooh begitu rupanya. Ya sudah, boleh Nenek tidur lagi?"

"Aah ... Nenek, percuma saja. Tetap Nenek kan yang bangun duluan." Felisa memberengut.

"Sekarang kamu mandi saja dulu."

Felisa menggeleng, "Ini masih pagi sekali Nek. Masih jam setengah lima. Masa aku mandi jam segini, jadi es nanti."

Nenek tertawa kecil, "Ada-ada saja kamu. Kalau gitu terserah kamu mau ngapain saja."

•••••••

Pak Habura, salah seorang penjaga Labentis Panthera Leo dari empat penjaga lainnya, berkeliling sekolah. Ini adalah hal biasa yang dilakukan bagi keempat penjaga sekolah di sini. Karena sekolah yang besar dan bertingkat, membuat keempat penjaga itu harus membagi tugas. Ada yang berkeliling ke sebelah utara, barat, timur, dan selatan. Kali ini pak Habura mendapat jatah ke arah selatan.

Dengan senter di tangannya, dia menyorot setiap bangunan sekolah yang ia lewati. Tak boleh ada pengecualian. Sekolah ini memang terlihat seram saat gelap. Tapi tak ada tantangannya sama sekali bagi Pak Habura, Pak Ezid, Pak Feko, dan Pak Radik. Mereka yang sudah bekerja bertahun-tahun sebagai penjaga sekolah di sini belum pernah melihat hantu atau semacamnya. Paling hanya suara benda jatuh dan sebagainya.

"Suitt ... suit ... suit ...."

Siulan Pak Habura menemani setiap langkahnya. Dengan santai ia mengeluarkan satu batang rokok dari saku jaketnya dan membakar ujungnya dengan pemantik. Dihisapnya sari-sari rokok itu dengan halus. Kepulan asap akhirnya ikut serta dalam penjagaan. Sebentar lagi matahari akan naik, tetapi hawa dingin masih menusuk kulit. Pak Habura dengan langkah yang dipercepat tak sempat menelusuri setiap ruang kelas lagi. Dia benar-benar ingin ke toilet.

Setelah berlari dan bertemu dengan toilet pria, Pak Habura langsung masuk dengan membuang batang rokonya begitu saja ke tanah, padahal dia tahu sekolah ini menjunjung nilai kebersihan yang tinggi. Ketika di dalam toilet, lampu senternya ia matikan. Tentunya suasana toilet tidak gelap karena ada lampu yang menerangi di langit-langit. Suara gemericik air terdengar jelas karena suasana sunyi.

Byurr!!

Mata coklat Pak Habura membulat. Jantungnya sedikit berdebar. Dia melirik ke samping, tepatnya yang ia maksud adalah toilet di sebelah kanan.

Apa barusan ada yang menyiram air? batinnya.

Segera mungkin dia mengambil senter yang dia letakkan di gantungan toilet. Ia menyalakan senter itu dan dengan perasaan tidak enak, pintu toilet dibukanya perlahan. Setelah pintu terbuka penuh, tak ada apa pun di sana. Hanya wastafel dengan air yang masih menetes kecil di ujung kerannya. Pak Habura menelan ludah. Dia memberanikan diri untuk memeriksa toilet di sebelah kanan.

"Pasti bukan apa-apa, bukan apa-apa," gumamnya.

Pak Habura berdiri tepat di depan pintu toilet, bernomor nol dua. Sebelum membuka pintu, dia mengusap keringat yang turun ke dahinya.

Krekk

Pengganjal pintu terbuka. Pak Habura menendang pelan pintunya karena takut ada sesuatu.

Guru AnomaliTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang