BAB 6

567 28 1
                                    

Happy Reading!!
Jangan Lupa Bahagia...

***

Aku tidak akan pernah menyerah untuk hidupku karena yang kutahu hidupku adalah dirinya, putriku.
- Arjuna Alfatih -

***

Arjuna POV

Aku tersenyum melihat putriku fokus pada kertas-kertas di hadapannya. Sejak kecil dia sudah menunjukkan bakatnya di bisnis. Hingga akhirnya sejak dia masuk kelas 2 SMP, aku mulai mengajarinya sedikit demi sedikit manajemen perkantoran.

Dia bahkan tidak menoleh ke arahku sekarang padahal sudah sejak tadi aku memperhatikannya. Dia adalah copy diriku. Tidak ada bakat Rachel yang benar-benar bisa dia kuasai, kecuali memasak dan membuat kue yang memang merupakan kodratnya sebagai perempuan.

Semakin besar, semakin terlihat jelas raut wajahnya mirip Rachel. Rasanya aku benar-benar melihat Rachel hidup. Mungkin Tuhan mengirim dia agar aku tidak terlalu larut dalam kesedihan, dan benar, dia adalah sumber kebahagiaanku sekarang.

Aku mengingat ucapan Bang Aan tadi pagi. Menikah lagi? Itu belum tentu membuatku bahagia. Aku punya anak yang tidak bisa dibilang anak-anak lagi. Aku takut, dia yang menjadi istriku tidak menerima adanya Dinda di sisiku. Aku tidak siap untuk itu.

Aku lebih baik kehilangan semua harta bendaku daripada kehilangan Dinda, kehilangan putriku. Aku tidak sanggup sama sekali. Apapun akan kulakukan agar dia tetap ada di sampingku. Rachel pasti mengerti dengan apa yang aku lakukan sekarang. Aku akan mementingkan Dinda dari apa pun itu.

Jodoh memang tidak ada yang tahu. Aku tidak selamanya bisa mengatakan bahwa aku tidak akan menikah. Takdir-Nya tidak ada yang tahu. Tapi yang kutahu sekarang, aku bahagia. Bahagia dengan hidupku yang sekarang.

"Daddy ngapain ngeliatin aku kayak gitu?" tanya Dinda membuatku tersentak.

"Emang kenapa kalau Daddy ngeliatin kamu?"

"Emang kerjaan Daddy udah beres?"

"Udah sebagian. Kamu?"

"Beluuuumm," rengeknya membuatku terkekeh. "Ini banyak banget, Dad."

"Mau apa?"

"Em."

"Mau minum apa? Makan apa? Biar Daddy pesenin."

"Daddy kan tahu apa yang aku suka."

Aku terkekeh dan mengambil gagang telepon. Betty mengangkatnya tidak lama kemudian dan aku menyebutkan pesananku. Satu ice cappucino, ice lemon tea, dan pizza ukuran kecil. Aku menatapnya dan dia tersenyum. Dulu aku suka ice lemon tea seperti Dinda, tapi karena aku butuh fokus lebih, aku memilih kopi.

"Udah," ucapku dan Dinda mengangguk. Dia memang butuh makan untuk fokus. Aku juga memberinya banyak pekerjaan.

"Dad," panggilnya membuatku kembali fokus kepadanya.

"Ada apa? Ada lagi?"

"Nggak. Tapi Dad, apa nggak bikin bingung kalau nanti aku langsung masuk di jabatan Daddy? Yang mereka (karyawan-karyawati) tahu, aku cuman tetangga Daddy," tanyanya.

Aku sudah memikirkan ini. Lulus SMA nanti aku mungkin akan mengumumkan bahwa dia, anakku. Mungkin tidak akan ada yang percaya, tapi aku punya bukti nyata bahwa dia putriku. Aku juga memikirkan Rachel, apakah dia tenang karena putrinya memakai identitas lain?

"Daddy akan ngasih tahu mereka kalau kamu anak Daddy," jawabku.

"Kalau mereka nggak percaya?"

"Daddy punya bukti kuat, sayang. Kamu nggak usah takut. Mereka-mereka semua cuman nggak tahu kamu siapa. Andai mereka tahu kamu anak Daddy, udah jelas mereka akan tunduk sama kamu atau mungkin nyembah kamu. Hehehe."

The Best DaddyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang