BAB 11

458 25 0
                                    

Happy Reading!!
Jangan Lupa Bahagia...

***

Aku selalu punya harapan, yaitu mencintai orang yang tepat seperti Mommy dan Daddy yang saling mencintai.
- Arinda Alfatih -

***

Dinda POV

Aku sekarang ada di mobil Bang Cakra. Seperti biasanya aku nebeng dia ke sekolah. Dari yang bisa aku simpulkan kemarin, Bang Cakra memang ada masalah dan masalahnya itu Nabila. Aku tidak menyangka Bang Cakra akan uring-uringan seperti ini hanya karena kena cuek sama Nabila. Biasanya dia yang bikin mood cewek-cewek hancur karena terlalu cuek.

"Belum mau cerita?" tanyaku sebelum sampai di sekolah.

"Abang nggak mau kamu bantuin Abang. Kelihatannya nggak gentle banget. Jadi biarin Abang kamu ini berjuang dulu. Kalau emang nggak dimaafin, Abang bakal minta pelampung, kok."

Aku mengerti arti pelampung dari Bang Cakra itu. Aku hanya tersenyum dan mengangguk mengerti. Ini untuk pertama kalinya aku melihat Bang Cakra memperjuangkan sesuatu. Selama yang aku tahu, hidup Bang Cakra tidak butuh perjuangan lebih.

Masuk kuliah saja tanpa biaya karena dia pintar, sayangnya dia lebih suka matematika, makanya masuk jurusan matematika. Pokoknya selama ini hidup Bang Cakra enteng-enteng saja. Melamar jadi guru saja langsung diterima hari itu juga. Ini kasus baru dalam hidup Bang Cakra.

"Jadi gimana sama kata-kata Abang waktu itu? Di ingkarin, dong?"

"Mau gimana lagi. Baru pertama kali Abang kena karma dan ternyata rasanya kek gini. Maka dari itu, kamu harus hati-hati kalau ngomong," pesannya.

"Aku bukan Abang. Aku anaknya Daddy Arjuna Rifiq Alfatih," ucapku bangga.

"Iya, deh. Yang lahir sebagai anak Bang Juna. Kenapa kamu itu nurunin sifat Daddy kamu semua, sih? Muka aja Mbak Rachel, sifat Bang Juna."

"Ya, namanya juga keturunan. Aku nurunin fisik Mommy trus sifat Daddy. Itu udah seimbang, kan?"

"Iya."

Mobil Bang Cakra berhenti setelah sampai di sekolah. Seperti biasa, Bang Cakra memberi petuah dulu, mengacak pelan rambutku sebelum turun. Kayaknya dia sudah kembali menjadi Bang Cakra yang biasanya, deh.

Aku langsung ke kelas dan kudapati El dibangkunya tanpa Langit. Milly dan Abi juga tidak ada di bangkunya, tapi tas mereka sudah ada di atas meja masing-masing. Itu artinya mereka sudah datang. Mungkin ke kantin atau ke toilet.

"Langit mana?" tanyaku kepada El yang menatapku sekilas lalu fokus sama ponselnya lagi.

"Nggak masuk," jawab El.

"Kenapa?"

"Demam."

"Oh. Dia sendiri dong di rumah?"

"Ada Bi Nur."

Aku tidak bertanya lagi. Malas banget ngomong sama es. Jawabnya kayak balas sms, disingkat-singkat.

Tidak lama Milly dan Abi masuk bersamaan dengan bel masuk. Mereka dari toilet, katanya saat aku tanya.

Guru hari ini tidak masuk, kata Leo yang berstatus ketua kelas. Dia baru saja ke ruang guru dan katanya Bu Alea tidak hadir karena anaknya sakit. Leo cuma minta kami semua untuk tidak ribut dan berkeliaran. Tapi dia juga tidak melarang untuk ke perpustakaan.

Akhirnya aku memilih ke perpustakaan. Kedua temanku memilih tetap di kelas membahas gosip-gosip diselingi dengan para Uncle-ku yang ganteng-ganteng. Oh, iya mereka sudah ketemu sama semuanya.

The Best DaddyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang