Happy Reading!!
Jangan Lupa Bahagia...***
Aku tidak tahu apa-apa. Kisah mereka berbeda. Aku yang jadi korban.
- Arinda Alfatih -***
Dinda POV
Pulang dari Mall, aku langsung membersihkan badan. Ada beberapa memar di tubuhku karena pengeroyokan tadi siang. Tiga orang yang mengeroyokku akan disidang besok dengan orang tua mereka. Kata Bang Cakra mereka terancam dikeluarkan dari sekolah. Kasihan juga, sih.
Hari ini sifat Pak Wais juga agak aneh. Over protektif berlebihan. Lebih anehnya lagi, dia memanggilku dengan sebutan 'sayang' dan dia mengenal sama Om Egy, sahabat Daddy. Tapi kalau dilihat hubungan mereka tidak baik-baik saja. Mereka melempar benci dari tatapan mereka.
Aku ingin bertanya lebih lanjut nantinya. Aku ingin mengenal Om Egy lebih jauh. Kata Daddy dia baik banget. Tapi penampilannya agak berbeda dari yang Daddy ceritakan. Om Egy yang dulu culun dan berkacamata. Tapi Om Egy tadi ganteng, lalu badannya kekar dan tegap. Kayaknya dia mengubah penampilannya.
Setelah mandi, aku mendengar ponselku berbunyi. Itu Daddy. Dengan senangnya aku mengangkatnya dan menceritakan semua yang aku lakukan di Mall. Menghabiskan uang Bang Cakra, ketemu Om Egy, dan barang apa aja yang aku beli.
Daddy berjanji untuk menelpon nanti karena sekarang sudah waktunya makan malam. Daddy tetap ingin mendongengkanku lewat telepon. Dia Daddy yang terbaik. Tapi aku tahu dia pasti capek.
"Sayang, makan dulu." Bang Cakra membuka pintu kamarku. Karena Kakek dan Nenek tidak ada, dia dan Pak Wais akan makan di rumah Oma, tapi akan menginap di rumah Daddy.
"Ok." Aku beranjak pergi dan mengikuti Bang Cakra.
Tiba di ruang makan, aku sudah melihat Pak Wais yang mengobrol dengan Oma sembari membantunya. Sekarang harus kuakui kalau dia guru yang baik. Tadi saja dia membawa belanjaanku yang segitu banyaknya. Dia juga tidak mengeluh cuma teriak-teriak memintaku untuk tidak lari-larian.
Pak Wais menatapku dan tersenyum. Hari ini dia banyak sekali tersenyum. Tidak seperti biasanya. Suasana hatinya lebih baik sekarang. Aku jadi kasihan mengingat perusahaannya yang gulung tikar. Sekarang dia mulai dari awal lagi. Bahkan tadi dia bilang ke Om Egy kalau dia udah tidak punya mobil. Berarti Pak Wais dulu juga orang berada.
"Ngelamun, nak. Ayo, duduk!" Oma mengenterupsi. Aku melamunkan Pak Wais. Membayangkan kerugian yang ditanggungnya sendiri. Astaga, itu sangat banyak.
"Iya, Bunda." Aku duduk di sebelah Bang Cakra di hadapan Pak Wais yang terus tersenyum kepadaku. Aku hanya membalas senyumnya seadanya dan segera makan.
Aku memperhatikan sekelilingku. Hanya kami berempat. Tidak ada Daddy. Hatiku jadi sedih. Biasanya aku menyiapkan makanan di piring Daddy. Aku rindu Daddy. Sangat.
"Kenapa, sayang?" tanya Bang Cakra mengelus rambutku. Aku menatapnya dengan mata yang berkaca-kaca. Aku akan menangis sekarang. "Eh, kok nangis? Dia nggak lama di Bandung. Dia akan balik lagi ke sini. Jangan cengeng gitu, dong. Tadi katanya nggak apa-apa."
Aku langsung menangis. Ingin sekali memanggil Daddy sekarang. Aku sangat rindu kepadanya. "Aku kangen."
"Iya-iya. Nanti kamu telepon kalau sudah makan, ok? Makan dulu. Dia bakal marah ke Abang, ke Bunda, ke Pak Wais kalau kamu nggak makan. Makan dulu, baru telepon, yah." Bang Cakra terus membujukku sambil terus menghapus air mataku.
"Dia juga berharap ada di sini, sayang. Jangan nangis gitu, lha. Dinda bukan anak cengeng." Oma ikut membujuk.
Kurasakan tanganku yang di meja ada yang memegangnya. Langsung kulihat Pak Wais yang tersenyum menenangkan di sana. "Makan dulu. Dia nggak mau kamu sakit karena nggak makan," ucapnya.

KAMU SEDANG MEMBACA
The Best Daddy
Художественная прозаArjuna Rifid Alfatih (Juna) adalah seorang duda beranak satu. Ia menikah muda dengan sahabatnya kecilnya. Sayangnya, istrinya meninggal saat melahirkan putri mereka, Arinda Magdalena Alfatih (Dinda). Dinda sendiri tumbuh menjadi gadis cantik yang sa...