BAB 16

380 27 0
                                    

Happy Reading!!
Jangan Lupa Bahagia...

***

Jika putri kita saja yang belum bertemu denganmu saja sangat merindukanmu, apalagi aku yang dulunya selalu ditemani dirimu.
- Arjuna Alfatih -

***

Arjuna POV

Aku menutup pintu rumah setelah dari rumah Bunda menidurkan Dinda. Aku terkejut melihat Wais berdiri di ruang tamu menatapku. Aku tidak tahu apa yang ditunggunya, tapi sepertinya dia butuh penjelasan.

Dia berbeda dari yang lainnya. Dalam artian dia tidak mudah percaya. Bahkan dia teguh dalam pendiriannya. Tidak seperti yang lainnya yang langsung percaya dengan kisah-kisah palsu yang kami ceritakan.

"Gua tahu lo bingung dengan semua ini. Kalau gua cerita, lo juga nggak bakal percaya," ucapku berjalan menghampirinya.

"Karena cerita lo nggak masuk akal," balasnya.

"Gua nggak tahu cerita yang nggak masuk akal yang lo maksud yang mana, tapi Dinda berharga dalam hidup gua dan gua akan lakuin apa yang dia minta."

"Karena dia mirip sama pacar lo yang meninggal, kakak dia?" tanyanya sembari menebak. Ya, semua orang akan terus berkata demikian karena fisik Dinda adalah copy-an fisik Rachel.

"Nggak sama sekali. Lo akan ngerti nantinya." Aku menepuk pundaknya pelan. Aku tahu Wais orang baik. Suatu hari nanti dia akan mengerti.

"Lalu apa alasan lo belum nikah sampai sekarang?" tanyanya sebelum aku melangkah meninggalkannya.

"Alasan pertama, Rachel masih sepenuhnya isi hati gua. Alasan kedua, nggak ada yang bisa bikin gua jatuh cinta setelah Rachel meninggal."

"Jadi Dinda?" Wais mengerutkan keningnya.

"Hubungan gua sama Dinda adalah apa yang ada di pikiran lo." Aku tersenyum penuh arti kepadanya.

"Maksud lo?"

"Lo tahu maksud gua," jawabku dan meninggalkannya. Mungkin Wais mengira aku dan Dinda memiliki hubungan khusus. Biarlah orang berpikir seperti itu. Aku mencintai Dinda karena dia putriku. Aku bukan seorang pedofil seperti mereka diluar sana duga.

Aku masuk ke kamarku. Merebahkan tubuhku di ranjang. Aku masih menempati kamarku yang dulu. Kamar penuh kenangan dengan Rachel. Dari kecil kamar ini sudah dipenuhi oleh kenangan Rachel. Kami sering bermain, belajar, dan setelah kami menikah, kami tidur bersama di sini. Sekarang, semua tinggal kenangan. Rachel pergi dan aku sendiri.

Beberapa saat setelah Rachel meninggal, aku tidur ditemani Dinda. Tapi setelah Dinda masuk SD, dia mulai tidur sendiri. Mama dan Bunda yang memaksanya karena sedari kecil Dinda memang harus dibiasakan tidur sendiri.

Rasanya baru kemarin aku menggendong bayi perempuanku. Menenangkannya jika dia menangis, mengganti popoknya, membuatkannya susu, meninabobokannya saat ingin tidur, dan menyuapinya bubur bayi. Bayi kecil itu kini telah tumbuh menjadi gadis remaja. Waktu cepat berlalu, yah.

"Tidak kusangka kepergianmu sudah sangat lama dan rasa ini masih sama," ucapku kepada Rachel yang entah mendengarkannya atau tidak. "Aku merindukanmu, sayang."

***

Pagi-pagi sekali aku ke rumah Bunda untuk memastikan Dinda baik-baik saja. Dia sudah memakai seragam sekolahnya dan sedang sarapan dengan Bunda. Aku ikut bergabung walau dia sedikit tersentak akan kehadiranku.

"Daddy kok di sini?" tanyanya.

"Emang nggak boleh?" tanyaku balik.

"Ya, boleh. Tapi apa kata Pak Wais nanti?"

The Best DaddyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang