Happy Reading!!
Jangan Lupa Bahagia...
***
Kadang mengalah jauh lebih baik dibanding berdebat. Tapi mengalah bukan berarti baik karena harus melepaskan.
- Arinda Alfatih -***
Arinda Alfatih POV
Senang rasanya saat melihat Mbak Dinda datang ke sekolah. Aku sudah suka dengannya saat pertama kali bertemu. Dia baik dan sopan banget. Bahkan dia brtanya dengan sangat ramah saat aku mau ke ruangan Daddy. Dia juga murah senyum. Pokoknya dia baik sekali.
Dia terkejut saat aku mengatakan bahwa aku anaknya Daddy. Dia sempat melirik Om Brant yang hanya terkekeh kecil waktu itu. Reaksinya sama seperti Om Brant dan Om Joe saat pertama kali Daddy memberi tahu jikalau aku anaknya. Siapa sih yang tidak kaget? Umur masih 34 tahun, tapi punya anak sebesar diriku. Semua juga akan terkejut dan berpikir macam-macam. Tapi Mbak Dinda sepertinya tidak. Soalnya dia tidak bertanya-tanya.
Saat aku tahu namanya sama dengan namaku, aku sangat kegirangan. Nama seseorang memang kadang sama. Bahkan ada banyak nama yang sama di dunia ini. Tapi ini rasanya menyenangkan saat tahu namanya juga Dinda. Seperti menerima keajaiban. Hehe, lebay.
Aku sudah menerima raporku dan sekarang dipegang Daddy. Tadi Daddy memeluk aku di depan semua orang di kelas. Bagi yang tidak tahu Daddy adalah Daddy-ku mungkin dia akan mengira Daddy adalah kakakku. Wajar sih, Daddy awet muda.
Daddy refleks memeluk saat wali kelasku bilang aku juara kelas dan juga masuk 10 besar dalam ranking sekolah, tepatnya 7. Itu udah lumayan banget. Yang peringkat satu di kelas lain belum tentu masuk 10 besar di sekolah. Aku senang karena Daddy juga senang.
Mbak Dinda juga ikut senang. Dia juga memeluk aku dan mengelus pipiku dengan lembut. Ini untuk pertama kalinya ada perempuan lain yang memperlakukanku dengan sayang. Biasanya hanya Nenek, Oma, dan juga Aunty Bulan. Mungkin karena yang lain jauh semua. Jadi aku hanya mendapat perhatian dari 3 perempuan hebat itu. Dan sekarang ada Mbak Dinda. Aku sangat senang.
"Mau liburan kemana?" tanya Daddy saat aku sudah ada di dalam mobil. Mbak Dinda duduk di samping Daddy dan aku di belakang mereka. Om Brant di mobil lain di belakang mobil Daddy.
"Dad, aku nggak mau liburan. Kita harus nyari Pak Wa..."
"Iya. Daddy tahu," sela Daddy cepat. "Tapi kamu juga harus refreshing. Kamu butuh liburan. Daddy nggak mau yah kamu stress. Lagian itu bukan urusan kamu. Itu pekerjaan Om Joe," jelas Daddy lagi.
"Tapi, Dad."
"Kamu bisa ajak teman-teman kamu. Kamu nggak kasihan sama Nabila dan keluarganya? Kita ajak mereka liburan. Kamu pasti tahu bagaimana Nabila sekarang, kan? Peringkatnya sampai turun karena stress."
Daddy benar. Nabila dan keluarganya butuh refreshing. Om Leo (teman Om Joe), detektif yang bertanggung jawab atas kebakaran rumah Nabila mengatakan bahwa rumah itu sengaja dibakar. Itu menambah ketakutan dan keresahan orang tua Nabila, Nabila sendiri, dan juga saudari-saudarinya.
"Tapi gimana sama Pak..."
"Percayakan semuanya sama Om Joe." Daddy menyela ucapanku lagi. "Kamu bisa ajak teman-teman kamu yang lain juga kalau kamu mau," tambah Daddy. "Gunakan waktu liburan kamu dengan baik, sayang. Kamu bisa liburan 2 hari, 3 hari, baru kamu bisa nyari dia lagi."
"Ok." Aku hanya mengangguk. Pak Wais belum ditemukan dan itu semakin membuatku khawatir. Tapi yang Daddy katakan juga benar. Aku butuh liburan.
"Kamu mau liburan dimana?" tanya Daddy lagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Best Daddy
General FictionArjuna Rifid Alfatih (Juna) adalah seorang duda beranak satu. Ia menikah muda dengan sahabatnya kecilnya. Sayangnya, istrinya meninggal saat melahirkan putri mereka, Arinda Magdalena Alfatih (Dinda). Dinda sendiri tumbuh menjadi gadis cantik yang sa...