BAB 30

358 20 0
                                    

Happy Reading!!

Jangan Lupa Bahagia...

***

Saat seseorang mempertahankanku, aku tidak mungkin diam saja.
- Arjuna Alfatih -

***

Arjuna POV

Aku melewati Dinda begitu saja setiba di kantor. Dia memang selalu datang lebih awal dariku. Tapi sapaannya tidak kubalas sama sekali. Aku bingung harus bagaimana dengan statusku yang sekarang. Aku calon suami wanita yang menyakiti putriku. Astaga, cobaan apa ini?

Aku belum siap menceritakan ini kepada Dinda. Tidak. Aku tidak akan siap. Di saat aku mulai membuka hati tapi hati yang datang itu harus kuhempas jauh. Betapa jahatnya diriku sekarang. Tapi aku bisa apa?

Pintu ruanganku terbuka dengan keras. Itu Bang Aan. Dia menelponku dan membentakku dengan keras saat undangan penikahanku sampai di tangannya semalam. Dia pernah menjodohkanku dengan Betty dan sekarang itu terwujud. Belum. Itu belum terwujud.

"Lo gila?" Itu pertanyaan yang kudengar untuk kesekian kalinya. Dari Cakra, Raja, dan Phaton. Semua bertanya hal yang sama.

"Gua bisa apa lagi, Bang?" tanyaku balik. Aku benar-benar frustasi. Kekuatanku bertahan ya hanya putriku. Aku masih bisa menceritakan tentang Mommy-nya setiap malam dan itu cukup menenangkan hatiku.

"Kenapa lo takut bawa ini ke hukum?" tanya Bang Aan.

"Gua nggak takut, Bang. Gua beneran nggak takut karena gua nggak salah. Gua nggak ngelakuin itu sama sekali. Nyentuh dia aja gua jijik, Bang. Tapi Papa. Papa mikirin nama baik keluarga dan perusahaan ini, Bang. Saham kita bisa jatuh kalau sampai berita ini dimakan sama media. Kita bakal hancur," jelasku dengan emosi yang tidak bisa kutahan, tapi aku berusaha menjaga nada suaraku.

"Trus gimana? Gimana sama Dinda?" tanyanya lirih. "Dia suka sama lo, Jun. Dia benar-benar kagum sama lo."

Hatiku terasa sakit. Sesak rasanya mendengar bahwa Dinda menyimpan rasa kagum untukku. Aku juga tertarik kepadanya, sangat. Tapi apa yang bisa aku lakukan sekarang? Ini demi nama baik keluarga dan perusahaan.

"Gua nggak tahu, Bang." Aku menggeleng frustasi.

"Ngomong sama dia, Jun. Jangan diam aja. Dia nggak bakal tahu kalau lo nggak ngomong. Dinda anak baik, Jun. Lo pasti udah tahu sebagian cerita hidupnya dia. Bagaimana sengsaranya dia selama ini? Dia butuh lo, Jun. Dia berharap banyak sama lo."

Ucapan Bang Aan semakin membuatku frustasi. Di saat aku sudah menetapkan hatiku untuk mengenal Dinda lebih jauh, selalu ada penghalangnya. Aku tidak bisa bertahan, tapi aku tidak mungkin melepasnya begitu saja. Aku tahu dia perempuan rapuh yang butuh penopang. Aku siap menjadi penopangnya jika saja masalah ini tidak ada.

"Gua nggak tahu, Bang. Gua nggak tahu harus gimana." Mataku buram. Air mataku menggenang di pelupuk mataku. Rasanya sakit sama seperti melihat Dinda terus menangis setiap malamnya sebelum dia tidur. Putriku yang malang.

"Ngomong sama dia baik-baik. Dia pasti ngerti, kok. Jangan diam saja!" Bang Aan menepuk pundakku sebelum berjalan ke arah pintu. Dia menoleh ke arahku. "Semua ini akan ada hikmahnya, Jun. Jangan takut kalah kalau lo memang benar," ucapnya sebelum benar-benar keluar.

Aku harus bicara kepada Dinda sekarang. Aku tidak akan tenang jika dia tidak tahu masalah ini. Aku harap dia baik-baik saja. Aku harap dia tidak marah. Tapi pasti dia marah.

Aku menekan tombol interkom yang menguhubungkanku dengannya. "Dinda," panggilku. "Masuk!" pintaku.

Suara pintu terbuka terdengar jelas di telingaku. Aku masih menunduk menunggunya benar-benar masuk. Aku memberanikan diri mendongak untuk menatapnya. "Hai," sapaku dengan suara serak. Aku hampir menangis di depannya sekarang.

The Best DaddyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang