BAB 15

415 25 0
                                    

Happy Reading!!
Jangan Lupa Bahagia...

***

Tuhan tahu siapa yang aku suka. Kalau mau tahu, silahkan tanya Tuhan.
- Arinda Alfatih -

***

Dinda POV

Tatapan itu lagi.

Entah apa maksud tatapan Pak Wais itu. Dia selalu menatapku seperti itu. Tapi anehnya dia akan menatapku seperti itu hanya jika aku bersama orang lain, seperti Daddy atau teman-teman laki-lakiku. Sebenarnya dia kenapa? Apa maksud dari tatapan itu?

And, well, kabar baiknya (kabar buruk maksudnya), dia akan tinggal di rumahku. Kenapa aku tidak terpikirkan sama sekali kalau teman yang Bang Cakra maksud adalah dia? Pak Wais, guru matematika super menyebalkan yang pernah menceritakan tentang perusahaannya yang tutup karena anggotanya korupsi.

"Ah, kalian datang juga." Bang Cakra segera berdiri menghampiri kami.

"Aku balik ke rumah dulu. Mau ganti baju," ucapku melepas rangkulan Daddy.

"Ok." Daddy tersenyum seakan meminta maaf lewat tatapan matanya. Aku hanya mengangguk dan berlalu ke rumah Oma.

Saat aku masuk Uncle Phaton dan Aunty Bulan sudah mau pulang. Katanya mau dinner romantis. Setelah 2 tahun pernikahan mereka tanpa anak, tapi mereka tetap harmonis dan romantis di setiap saat. Bahkan mereka terlihat seperti anak muda yang masih berpacaran.

Oma menyambutku dan langsung memintaku untuk berberes. Saat aku masuk ke kamar Mommy yang sebulan ke depan akan menjadi kamarku, aku sudah melihat perlengkapan sekolahku tertata rapi. Sepertinya mereka sudah mempersiapkannya.

Kenapa harus Pak Wais? Aku merebahkan tubuhku di ranjang empuk milik Mommy.

Tidak lama kemudian aku bangkit. Aku mengganti pakaianku dan tidak mandi. Hari sudah malam dan itu tidak baik untuk kesehatan. Apalagi aku tidak terlalu berkeringat. Aku hanya tinggal duduk menunggui Langit sambil bercerita tadi.

Saat aku selesai dan kembali turun, aku sudah melihat Daddy yang juga sudah mengganti pakaiannya di depan tangga. Sepertinya Daddy menungguku. Daddy terus melihatku dengan tatapan sendu dan ada kata maaf di tatapannya itu.

"Sori. Daddy harusnya ngasih tahu kamu tadi. Tapi karena ngurusin Langit, Daddy jadi lupa." Daddy langsung menarik aku ke dalam pelukannya.

"Nggak apa-apa, kok. Cuman kaget aja. Ternyata teman Bang Cakra itu Pak Wais." Aku melepas pelukan Daddy dan tersenyum.

"Dia guru kamu, katanya. Guru baru," tukas Daddy.

"Yaaah, dia guru baru," balasku malas.

"Kenapa? Kamu nggak suka sama dia?" tanya Daddy.

"Nggak suka, sih, nggak. Tapi kezel, iya. Masa kalau dia manggil Dinda kayak gini, 'Kamu yang namanya Dinda'." Aku mengikuti cara Pak Wais memanggilku. "Padahal lebih simple kalau dia manggil Dinda aja," lanjutku.

Daddy terkekeh. Apa itu lucu? "Kalau sama siswa lainnya, gimana?" tanya Daddy.

"Kalau dia ingat namanya, dia akan manggil pake namanya aja. Nggak ada embel-embelnya. Kalau dia lupa, dia cuman bilang 'Hei, kamu'. Kan ,itu lebih bagus ketimbang dia manggil, 'Kamu yang namanya Dinda'. Iya, aku tahu nama aku, Dinda," jelasku dengan menggebu-gebu.

"Emang pertama kali ketemunya, gimana?" tanya Daddy.

"Aku nabrak dia, nggak sengaja. Pas perut aku kram pas datang bulan. Aku udah pernah cerita ke Daddy." Aku memang pernah menceritakan kisah itu kepada Daddy.

The Best DaddyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang