Happy Reading!!
Jangan Lupa Bahagia...***
Orang baik akan mendapatkan yang baik juga. Itu hukum alam.
- Arinda Alfatih -***
Arinda Alfatih POV
*Semoga nggak pusing karena sekarang ada dua Dinda*
Hari ini seharusnya Pak Wais yang mengajar, tapi sampai sekarang Pak Wais tidak pulang. Aku ragu jika yang mengirim pesan itu Pak Wais. Walau Daddy dan yang lain selalu meyakinkanku jalau Pak Wais akan baik-baik saja, tapi hatiku tetap tidak tenang.
Si nenek lampir itu menginginkanku dan juga Pak Wais mati. Jika memang Pak Wais pergi ke Surabaya, kenapa dia tidak bawa pakaiannya? Kenapa dia pergi tanpa persiapan? Walau itu urusan mendesak, setidaknya dia pasti akan membawa sedikit barangnya.
Apa Pak Wais baik-baik saja? Jika dia benar terbunuh, pastinya ada berita kematiannya di TV, atau pasti polisi akan mencari keberadaan keluarganya. Setahuku Pak Wais tidak punya keluarga lagi. Tidak ada yang pernah membahas keluarga Pak Wais sebelumnya.
Apa benar Pak Wais ke Surabaya? Aku mengambil ponselku dan mencoba mengirim pesan lagi. Anehnya, pesanku tidak pernah dibalasnya, sedangkan pesan dari Daddy dan yang lainnya dia balas. Aku semakin tidak yakin kalau Pak Wais baik-baik aja.
"Lo ngelamun lagi." Teguran itu untuk ketiga kalinya untukku hari ini. Teguran yang sama dari orang yang sama.
"Gua masih kepikiran sama Pak Wais, Ngit," jawabku sambil menoleh ke arah Langit yang mengambil posisi duduk di sampingku. Aku memilih taman depan perpustakaan menjadi tempat favoritku sejak kemarin.
"Pak Wais pasti baik-baik aja, kok," ucapnya menenangkan. "Lo nggak seru kayak gini. Dinda yang dulu nggak kayak gini," tambahnya.
"Gua nggak bisa nggak mikirin Pak Wais. Jelas-jelas gua denger nenek lampir itu pengen Pak Wais mati. Hati gua masih nggak tenang kalau gua nggak liat Pak Wais langsung."
"Iya, gua tahu. Tapi lo nggak mungkin ke Surabaya hanya mastiin Pak Wais ada di sana. Lo nggak bakal dapat izin dari Daddy lo ataupun para Uncle lo yang kayak bodyguard lo itu." Dia terkekeh di akhir kalimatnya. Dia selalu mencoba untuk membuatku tersenyum akhir-akhir ini.
"Iya juga, sih. Semoga Pak Wais baik-baik aja," ucapku sambil berdoa dalam hati. Pak Wais orang baik. Tuhan pasti melindunginya.
"Gua tinggal, yah!" Langit berdiri dari duduknya dan aku melihat arah matanya. Ada El yang sedang berjalan ke arah kami. "El, temenin Dinda dulu. Gua mau ke kantin. Dia melamun terus dari tadi. Nanti kesambet dianya. Haha. Bye." Langit pun berlalu setelah mengatakan hal itu kepada El.
"Lo ngelamun lagi?" tanya El duduk di tempat Langit duduk tadi.
"Cuman mikirin Pak Wais. Gua masih nggak tenang kalau dia nggak pulang," jawabku jujur.
"Dia pasti bakal baik-baik aja. Jangan terlalu dipikirin. Ujian semester minggu depan. Ada baiknya kalau lo fokus ke sana dulu," nasihat El yang hanya kubalas anggukan. El ada benarnya. Aku harus fokus ujian yang ada di depan mataku, tapi tetap saja aku khawatir akan keadaan Pak Wais.
"Ke kelas, yuk! Bentar lagi bel." Aku mendongak saat tangan El terulur ke arahku. Semenjak kejadian penyulikan itu, El berubah. Dia lebih hangat dibanding yang dulu-dulunya.
"Iya." Aku menerima uluran tangannya karena tidak enak jikalau aku menolak. Aku bahkan tidak berusaha melepasnya saat aku telah berdiri karena El langsung menarik aku. Dia tidak melepas genggamannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Best Daddy
General FictionArjuna Rifid Alfatih (Juna) adalah seorang duda beranak satu. Ia menikah muda dengan sahabatnya kecilnya. Sayangnya, istrinya meninggal saat melahirkan putri mereka, Arinda Magdalena Alfatih (Dinda). Dinda sendiri tumbuh menjadi gadis cantik yang sa...