Part 10

289 11 0
                                    


"Ada perasaan senang yang tidak bisa di ungkapkan melalui kata-kata."

   "Queenly," Adrian duduk di kursi yang ada di sekitar Andira dengan perlahan.

  "Kamu harus tau, hidup papa tak lagi berharga jika kamu tak ada." Papanya menyampirkan anak rambut yang menghalangi wajah damai putri bungsunya yang sedang tertidur.

  "Papa memang sudah keterlaluan, tapi papa mohon, cepatlah pulih agar papa bisa melihat kamu tumbuh dengan bahagia."

  "Papa tidak mengetahui kenapa kamu bisa seperti ini. Papa memang orang tua yang buruk. Papa bukan orang tua yang selalu tau apa saja yang telah dilalui anaknya. Namun yang papa tau, kamu telah melalui masa-masa sulit. Dan sekarang itu menjadi penyesalan untuk papa." Adrian menitikkan air matanya.

  "Dulu, saat papa bekerja hingga lupa waktu, papa pernah memikirkan bagaimana rasanya jika papa bertemu kamu kembali. Papa selalu ingin memelukmu, selalu ingin menjadi papa yang Queenly harapkan. Namun harapan itu sirna seketika karna papa berfikir mungkin kamu tak akan pernah memaafkan papa karna kelakuan papa sendiri."

   Andira yang sebenarnya masih setengah sadar mendengar semua apa yang papanya ucapkan tadi hingga ada air yang perlahan menetes di punggung tangannya.

   Jari tangan Andira bergerak perlahan.

  "Queenly," panggil papanya.

  "Papa nggak perlu nangis." Tangan Andira bergetar hebat. Ia berusaha untuk menghapus jejak air mata di wajah papanya.

  "Kamu sudah lebih baik? Kamu perlu apa? Ada yang sakit?" Tanya papanya khawatir.

  "Pa, aku bukan korban tabrak lari. Aku cuma kurang istirahat." Andira menatap bola mata milik papanya.

  "Istirahatlah kembali."

  "Kenapa?" Tanya Andira.

  "Karna kamu butuh istirahat." Jawab papanya.

  "Bukan itu."

  "Lalu apa?"

  "Kenapa papa nggak meluk aku? Papa punya keinginan kan? Dan semua orang berhak mendapatkan keinginannya." Andira duduk lalu merentangkan tangannya.

   Adrian tak kuasa menahan tangis. Ia memeluk putri bungsunya. 

  "Maafkan papa."

  "Permintaan maaf diterima." Andira tersenyum.

•••

   Seminggu setelah Andira pulang dari rumah sakit, Adit bertekat menemui Andira kembali.

  "Sa-saya kemarin bacanya yang buku kedua." Dodit berjalan beriringan dengan Andira.

  "Oh ya? Gue aja belum baca kalo nggak di suruh sama Juminten." Andira tersenyum menanggapi ucapan Dodit.

   Adit yang diam-diam melihat kejadian itu sangat marah besar. Ia menghampiri Dodit dan mengangkat kerah baju Dodit.

  "T-tolong lepasin s-saya." Pinta Dodit.

   Andira yang melihat kejadian itu langsung menampar Adit.

   Plak!

  Adit langsung melepaskan kerah Dodit dan pandangan tajamnya sekarang mengarah ke Andira.

  "Lo lama-lama kurang ajar ya." Andira menunjuk wajah Adit.

ANDIRATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang