"Nangis gak bakal ngerubah keadaan, jadi berhenti nangisin hal yang udah terjadi dan mulai jalanin hidup yang baru."Yang Andira bisa lakukan hanyalah menangis. Menangis, menangis dan menangis. Jauh dari lubuk hatinya yang paling dalam, ia tak bisa dan tak akan pernah bisa jika harus benar benar mengakhiri hubungannya dengan Adit.
"Kenapa lo jahat sama gue Dit? Kenapa lo tega ngelakuin itu di belakang gue?" Andira memukul bantal yang berada tepat di hadapannya.
"Anak papa kenapa menangis?" Adrian tiba-tiba sudah berada di dekat Andira. Andira tak sadar bahwa papanya sudah berada di dalam kamarnya.
Andira menyeka air matanya dengan kasar.
"Papa dari kapan disini?" Tanya Andira kaget.
"Barusan. Kamu ada masalah apa? Boleh papa tau?" Tanya Adrian lembut.
"Nggak, inimah masalah kecil doang." Ucap Andira berbohong.
"Bisa papa bantu?" Tanya Adrian lagi.
"Nggak perlu, aku cuma lagi sakit perut aja karna pms." Jawab Andira tak sepenuhnya berbohong.
Adrian hanya mengangguk meng-iya kan. Ia sangat yakin bahwa masalahnya bukan hanya pms, tapi ia memilih untuk diam dan menunggu waktu yang tepat untuk putri bungsunya bercerita.
//
Mata sembab Andira menjadi sorotan di sepanjang koridor sekolah. Ia memilih menunduk dan tak menghiraukan tatapan orang-orang kepo.
"Dir, lo abis nangis?" Tanya Alika. Ia menyadari mata sembab Andira.
"Berisik." Ucap Andira tak mau melanjutkan pembicaraan.
Hancur, hancur sudah semua pikiran Andira.
"Dir, lo gak istirahat? Mau nitip apa?" Tanya Alika pada saat bel istirahat berbunyi.
"Pergi aja sendiri." Andira berdiri dan berjalan menuju tempat duduk Jamilah.
"Andira, kamu nggak—"
"Nggak." Potong Andira.
Jamilah yang paham bahwa Andira tak ingin di ganggu langsung keluar dari kelas.
Sepulang sekolah, Andira berjalan lesu ke parkiran untuk menemui Pak Supto yang pastinya sudah menunggu.
Andira menyipitkan matanya karna melihat Adit bersama cewek yang ia lihat di mall waktu itu.
"Brengsek." Umpat Andira.
Andira tak bisa lagi menyimpan rasa ini sendiri. Akhirnya ia menumpahkan kesedihannya kepada Alika melalu video call lewat line.
"Dir, udah dong jangan nangis terus." Ucap Alika yang mulai berkaca-kaca.
"Nggak bisa Ka, gue udah sayang banget sama Adit. Mau pikiran gue maksa buat tinggalin Adit juga percuma, hati gue nolak." Jelas Andira.
"Dir, Adit itu brengsek. Mulai detik ini lo harus bisa lupain Adit. Toh disini masih ada gue." Alika tersenyum.
"Tapi Ka..." rengek Andira.
"Lo harus bisa Dir, kalo lo gak bisa ngelakuin itu buat lo sendiri, lo lakuin buat gue."
Andira menyeka air matanya. Ia tak yakin bahwa ia bisa melakukannya.
"Dir, lo denger gue kan?" Tanya Alika.
Andira hanya diam. Ia menarik napas lalu menghembuskannya perlahan mencari ketenangan dalam dirinya.
"Gue tidur ya Ka, selamat malam." Andira mengakhiri video call secara sepihak.
//
Di sekolah, yang Andira lakukan hanyalah menghindari Adit dimanapun ia berada.
"Dir, perlu gue temenin di rumah lo?" Tanya Alika saat membereskan buku pelajarannya.
Andira hanya menggeleng.
"Dir, lo gapapa?" Tanya Alika sekali lagi.
"Gapapa, udah sono balik." Andira memaksakan mengukir senyum palsu di wajahnya.
Alika menghela napas. Jujur, Alika sangat benci senyum palsu yang Andira ukir untuk dirinya.
"Kalo lo masih di situ, gue yang balik duluan." Andira memasukkan semua buku pelajaran ke tasnya lalu pergi menunggalkan Alika yang masih berada di tempatnya.
Di parkiran, Pandangan Andira tak sengaja terkunci pada kedua bola mata milik Adit.
Adit yang sedang menunggu Andira langsung menghampiri Andira.
Andira menarik napas. Ia harus kuatkan hatinya.
"Dir, gue mau minta—"
"Maap? Basi!" Sahut Andira tak suka.
"Dir, gue kemaren ga ada buat lo karna gue sibuk latihan basket." Ucap Adit yang pasti berbohong.
"Oh latihan basket?" Tanya Andira pura-pura bego.
"Iya Dir, gue janji gabakal ngilang lagi." Adit memohon.
Latihan basket ya? Andira menertawakan dirinya sendiri karna masih bisa menerima Adit walaupun sudah dibohongi berkali-kali.
"Dimaafin kan?" Tanya Adit memasang wajah melas.
Andira hanya diam. Ia berjalan meninggalakan Adit dengan Adit yang mengekor di belakangnya.
"Dir," panggil Adit.
Andira tak menghiraukan. Ia masuk ke mobil dan meninggalkan Adit dengan ribuan penyesalan di wajah Adit.
//
Sama seperti 2 hari yang lalu. Kini Adit menghilang tanpa jejak. Andira mulai malas untuk memikirkan Adit.
"Kerjakan latihan siswa halaman 45 dari 1 sampai 5." Ucap Pak Pojanes, guru kimia.
Andira hanya melamun sambil mengetukkan pulpen ke mejanya.
"Andira, kamu sudah mengerjakan?" Tanya Pak Pojanes.
Andira yang belum sadar masih mengetukkan pulpen dengan pandangan kosong lurus ke depan.
"ANDIRA!" Pak Pojanes menggebrak papan tulis dan menyebabkan Andira sadar.
"Eh iya saya Pak." Ucap Andira.
"Keluar dari kelas Bapak!" Perintah Pak pojanes tegas.
"Keknya lebih bagus kalo Bapak sering-sering ngeluarin saya dari kelas." Andira tersenyum sebelum keluar dari kelas.
"Ini anak kumat lagi ya?" Tanya Pak Pojanes kepada siswa siswi yang berada di 12 ipa 2.
Andira menyusuri lapangan hingga ia menemukan tempat yang enak untuk duduk.
"Eh ada cewek duduk sendirian." Ucap Mario saat melewati lapangan.
"Pergi." Usir Andira.
"Belum juga duduk udah di usir aja." Mario mendudukkan dirinya disamping Andira.
"Mario, kuping lo dimana sih?" Tanya Andira kesal.
"Andira, mata lo dimana sih?" Mario mengikuti cara bicara Andira tadi.
"Tau ah." Andira memilih untuk diam.
"Kenapa sih? Bete banget kayanya." Mario berbicara lagi.
Andira berdiri dari duduknya. "Tunggu disitu Yo, jangan kemana-mana." Ucap Andira sambil menunjuk mario.
Mario menautkan kedua alisnya bingung. "Mau ngapain?" Tanyanya.
"Mau ambil jarum sama benang buat ngejait mulut lo!" Andira berjalan meninggalkan Mario.
Mario begidik ngeri. Cantik-cantik kok kaya psikopat." Pikirnya.
•••
Jangan lupa vote yaaa
KAMU SEDANG MEMBACA
ANDIRA
Teen FictionAndira Jaqueenly, cewek menyedihkan yang pernah ada karna punya pacar yang modelannya kek orang ga waras. "Gue mah bangga punya cewek kek lo, gue nih punya cewek setia." - Aditya nandana. "Lah lo apa yang harus di banggain? Gue nih punya cowok gil...