Bagian 3 : Sesak di Dada

94 14 0
                                    

Tidak ada harapan yang padam begitu saja. Ingat, lilin pun masih bisa memberi penerangan ketika dirinya terbakar habis oleh api.

-Karina Adiwinata

***


Karina terdiam menunggu malam. Di bangku balkon loteng rumahnya, ia menatap angkasa dengan rasa iba. Entahlah, segala rasa bercampur satu dalam hatinya.

"Sudah pukul sepuluh malam, sebaiknya kamu tidur sekarang. Angin malam tidak baik untuk kesehatan"

"Sebentar lagi saja, Ma. Karina lagi suntuk," Mamanya hanya geleng-geleng kepala. Sifat keras kepala Karina mungkin turun dari ayahnya, yang sekarang sudah tenang di alam sana.

"Ma, kira-kira Ayah lagi apa ya di sana. Karina kangen banget sama Ayah. Kangen main basket bareng lagi sama Ayah, kangen kumpul bareng lagi." Tanpa terasa, lelehan air matanya jatuh tanpa izin.

Ibunya termenung....

"Kalau kamu rindu, besok kita ke makam Ayah kamu. Sudah lama kita tidak datang mengunjunginya." Mamanya pun berusaha tegar di depan Karina, meskipun hatinya rapuh. Bahkan lebih rapuh lagi.

"Ma, seandainya waktu itu Karina gak ngajak Ayah main basket malam-malam, mungkin sekarang Ayah masih ada ya Ma." Karina menunduk sendu.

"Berhenti menyalahkan diri kamu, sayang. Itu semua sudah takdir Allah. Kita tidak bisa menolaknya. Itu bukan kesalahan kamu, Nak. Itu takdir Allah. Itu semua qadar Allah,"

"Tapi, kalo Ayah gak main basket waktu itu, mungkin sakitnya gak bakal parah, Ma."

Ibunya menatap Karina. Kedua tangannya memegang wajah Karina dengan sendu. Tatapan itu semakin membuat Karina terisak.

"Dengar Mama, sayang. Ayah kamu memang sakit. Dan kamu juga tahu itu. Kamu masih inget kan janji kamu sama Ayah sebelum dia pergi?"

Karina mengangguk pelan,

"Tunaikan janji itu. Ayah pasti bahagia kalo semua harapannya terkabul. Kamu pasti bisa. Kamu adalah harapan Ayah kamu."

Ada sedikit senyum tersirat di wajah Karina. Ia memang ingin menunaikan janjinya. Janji yang ia anggap sebagai harga mati.

📖📖📖

Hari ini matahari tidak terlalu terik. Para calon mahasiswa baru kembali dikumpulkan di lapangan depan kampus. Ya, beberapa senior garang sedang krasak-krusuk membereskan perlengkapan untuk kegiatan selanjutnya. Para calon mahasiswa di perintahkan untuk duduk dan mendengarkan kembali pengarahan yang tidak henti-hentinya memenuhi telinga dan sungguh, itu sangat membosankan.

"Kamu yakin dia pemain basket?" tanya Karina.

"Ngapain juga gue bohong sama lo, Rin. Enggak cuma itu, dia itu pernah ikut seleksi timnas, cuma gak lolos" Viona menjawab sesuai dengan apa yang didengarnya dari bisik-bisik dan berita yang ia terima dari orang lain.

"Dia itu pernah ikut club basket Garuda Bandung. Kira-kira selama hampir satu tahunan lah," lanjut Viona.

"Masa sih? Kamu yakin Vi?"

Wajah Viona masam. Ia kesal karena sahabatnya ini masih juga belum percaya.

"Lo masih belum percaya? Lo tanya deh anak-anak yang lain. Gue udah kasih keterangan yang gue punya. Emang kenapa sih? Lo suka ya sama dia?"

Karina terbelalak,

"Eh.. Ih apaan sih. Aku kan cuma tanya doang, lagian gak mungkin dia suka sama aku. Aku gak kenal sama dia, aku juga gak peduli sama dia," Karina membela diri. Viona hanya senyam-senyum melihat ekspresi wajah Karina yang mulai merah.

"Kalo lo gak suka dan gak peduli, kenapa lo tanya-tanya terus? Lo pasti suka 'kan?" goda Viona.

"Udah deh jangan menggodaku. Ssst... Itu ada senior nanti malah dimarahin lagi,"

"Lo suka kan sama Kak Fian?" Lagi-lagi Viona menghujani Karina dengan pertanyaan yang sama. Lama-lama Karina jengah juga dengan pertanyaan Viona. Mukanya cemberut seperti ditekuk.

"Kamu mau dihukum lagi? Udah Vi, ini bukan saatnya untuk membahas itu. Nanti saja kalau sedang istirahat," mau tidak mau Viona menurut juga. Toh tak ada gunanya berdebat dengan Karina, mau sampai kapan pun tetap saja Karina tidak mau kalah.

Beberapa orang senior tampak mondar-mandir di belakang mereka. Memperhatikan dengan saksama, lalu berjalan mengitari yang lainnya. Begitu dan begitu seterusnya. Tidak pernah bosan. Tidak pernah jengah. Tidak ada celah sedikitpun bagi perserta ospek untuk bermain-main

"Baiklah, berhubung sudah pukul 12.00 WIB, maka kalian boleh istirahat selama lima belas menit. Setelah itu, kalian berkumpul di aula, tidak boleh ada yang terlambat termasuk panitia. INGAT, TIDAK ADA PENGECUALIAN bagi siapapun yang terlambat, tetap akan mendapat hukuman. Paham?!"

Semua menjawab serentak, " Siap, paham Kak"

Semua pun berhamburan membubarkan diri. Karina dan Viona lebih memilih menuju kelas, mengambil bekal yang mereka bawa. Mereka lalu berjalan menuju kantin untuk makan. Mereka lebih memilih membawa bekal ketimbang membeli, selain untuk menghemat pengeluaran juga sebagai antisipasi karena makanan di kantin belum tentu sehat dan higienis. Suasana kantin begitu ramai hari ini.

"Boleh saya duduk di sini? Sudah tidak ada kursi kosong lagi," sontak saja Karina dan Viona menoleh ke pemilik suara dan betapa terkejutnya mereka melihat siapa yang kini berdiri disamping mereka.

"Hei, boleh saya duduk?" tanya orang itu.

"E-eh, iya. Silahkan," jawab Karina tergagap. Ia gugup.

"Bisa geser sedikit?"

"Eh, iya maaf. Silahkan, Kak."

Orang-orang yang ada di sekitar pun menatap Karina dan Viona dengan tatapan sinis. Samar-samar terdengar bisik-bisik yang pelan namun cukup terdengar oleh Karina.

Itu Kak Fian ngapain duduk disitu

Ya ampun dia ganteng banget

Kapten basket kebanggaan aku

Idola aku

Masa depan aku

Viona yang merasa terganggu dengan berbagai bisik-bisik itu pun cemberut.

"Karin, gue mau pindah ya. Disini berisik, nafsu makan gue jadi ilang," Karina menoleh. Menatap Viona dengan tatapan heran. Tanpa menunggu persetujuan, ia langsung pergi saja. Meninggalkan Karina bersama makanannya, dan tentu saja Alfian yang sedang makan disampingnya.

Saling diam. Tidak saling bicara. Lebih tepatnya, tidak ada yang bicara.

***

Thanks. Jangan lupa vote dan komentarnya ya. Krisarnya juga. Tunggu next partnya ya💝

IG : @asnurdiyantii dan @raina.fajar

Salam✌

THE AFFORDABLE HEART (SERI 1) (TAMAT✔✅)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang