Bagian 22 : After Sunset

29 5 0
                                    

Mempermainkan perasaan sendiri saja sudah terasa sakit, apalagi mempermainkan perasaan orang lain.

-Alfian Mahendra

***

Sebenarnya Alfian tidak mau melakukan ini. Ini sangat menyakiti dirinya. Bohong besar kalau ia sungguh-sungguh melakukan itu semua. Munafik kalau Alfian berkata ia bail-baik saja. Ia bahkan lebih kacau lagi. Sakit yang ia rasakan menjadi berkali lipat karena ia sendiri yang memulainya.

Permainan macam apa ini?

Alfian tersenyum kecut pada dirinya sendiri. Wajahnya terlihat sangat frustasi. Ada kantong hitam di sekitaran matanya, menandakan bahwa ia sering tidur larut malam. Selaib itu, penampilannya juga selalu acak-acakan saat di rumah. Mamanya kerap kali mengingatkan untuk tidak menyiksa diri sendiri dengan cara seperti ini.

Alfian memang mencintai Karina. Dan karena suatu alasan yang tak ia beritahu, ia menjauhinya tanpa berkata apapun padanya. Alfian tahu Karina merasa dirinya memang menjauh. Alfian juga mengerti ada banyak pertanyaan di dalam pikiran Karina perihal perubahan sikapnya pada Karina secara tiba-tiba. Ini bahkan jauh lebih sakit dari luka terdahulu.

Melihat Karina begitu murung dan pucat itu sudah cukup membuat dada Alfian bergemuruh cepat. Apa kalian pikir dengan seperti ini Alfian dapat berdamai dengan batinnya? Jawabannya tentu saja tidak. Membiarkan dan tak mengacuhkan Karina adalah sebuah pisau bermata dua yang menggores hatinya. Sakit. Sangat sakit. Sikapnya yang dingin pada Karina telah membuat gejolak api dalam jiwanya. Aku bisa apa?

Ia bisa apa? Janjinya tetap harus ditunaikan. Tapi itu berarti dia harus menyakiti orang yang telah membuatnya kembali membuka hati. Keterlaluan bukan? Tidakkah ia pikirkan bagaimana perasaan Karina saat ini? Tidakkah Alfian lihat sorot mata sendu penuh tanya pada Karina?

Alfian mengerti itu. Alfian tidak bodoh. Tapi sekali lagi, bisa apa dia?

Sekarang ia tengah duduk di teras balkon kamar dengan secangkir teh dan sepiring pisang goreng buatan mamanya. Hari sudah malam. Tapi masih ada sisa-sisa senja di langit sana. Alfian sejenak menenangkan dirinya dari semua sandiwaranya. Melepas sejenak topeng dingin yang terlihat biasa saja padahal mengandung begitu banyak luka dan dilema.

"Lo kenapa Bro? Kok murung gitu?" Kevin datang sambil membawa sebotol jus jeruk yang ia beli di supermarket tadi.

"Nggak. Cuma kepikiran aja. Apa ini udah keterlaluan ya?"

"Hmm.. Gue gak bisa jawab, ini masalah hati dan masa depan lo. Gue cuma bisa kasih saran, lo jangan pernah nyia-nyiain apa yang ada di depan mata lo untuk satu hal yang belum pasti."

"Tapi aku bisa apa Vin? Janji tetep janji. Dan aku harus konsisten sama janji itu,"

"Termasuk jika itu menyakiti lo dan orang yang lo sayang?"

"Bisa jadi,"

"Lo gak bisa kayak gitu. Om Hariman juga pasti marah kalau tahu lo nepatin janji lo dengan cara nyakitin hati orang lain,"

Alfian menghembuskan napas. Pilihan yang sulit memang.

"Terus apa yang harus aku lakuin sekarang?"

"Jelasin semuanya dan minta maaf sama Karina. Viona tadi bilang kalo Karina nangis diam-diam sambil nutupin wajahnya."

Seterluka itukah Karina akibat ulah Alfian? Sebegitu besarkah luka yang ia torehkan? Bahkan status mereka berdua saja masih menjadi pertanyaan. Alfian tidak pernah mengutarakan perasaannya karena takut terluka lagi. Karina juga hanya bungkam dan tidak mengatakan apapun tentang perasaannya. Tapi Alfian malah menyakitinya.

"Aku belum siap. Dia pasti marah dan kecewa."

"Lo nyerah sebelum nyoba? Payah lo! Alfian yang gue kenal bukan yang ini. Lo siapa? Lo kerasukan ya?"

"Jangan bercanda denganku. Aku sedang tidak ingin berdebat denganmu." Dan ya, aura dan sifat formalnya keluar bersama satu hembusan napas.

"Terserah lo deh, gue udah kasih apa yang lo minta. Setelah itu lo yang tentukan sendiri."

"Oke. Tapi gak sekarang. Aku mau jenguk bibi dulu di Bandung, setelah itu aku bakal jelasin semuanya ke dia."

"Ini baru Alfian yang gue kenal. Btw, maen basket yu, anak-anak udah pada nunggu di lapangan."

"Sepertinya menarik juga."

Begitulah. Kevin datang di saat yang tepat. Ia selalu bisa menenangkan Alfian. Meski keluarga mereka berbeda jauh statusnya, itu tidak masalah.

Kevin berasal dari keluarga pengusaha kaya yang cukup dikenal di Asia. Ayah dan ibunya adalah direktur perusahaan properti dan beberapa perusahaan yang bergerak di bidang sandang dan pangan. Karena alasan itulah Kevin merasa dirinya hanya sebagai batu loncat untuk meraup kekayaan. Kenapa? Karena setiap kali ditanya untuk apa semua uang itu maka kedua orang tua Kevin akan menjawab bahwa uang itu untuk masa depannya. Alasan klise.

Sisi terburuk Kevin adalah dia seorang player dan sering memakai jasa wanita untuk melayaninya. Tentu tak sembarang orang dia pilih. Dia hanya akan memilih wanita yang sudah ia ketahui latar belakangnya terlebih dahulu sebelum ia tiduri.

Tapi jauh dari itu semua, Kevin adalah orang yang baik dan lembut hatinya. Uang yang ia dapatkan dari orang tuanya tidak sepenuhnya ia hamburkan, tapi sebagian ia sumbangkan. Kevin juga tidak pernah memakai obat-obatan atau rokok. Kevin juga membatasi pergaulannya dengan orang lain. Dan kegiatan di kampus berhasil membuatnya menghapus semua perilaku buruknya. Kevin masuk ekskul basket karena memang hobinya sedari dulu.

Alfian memutuskan pergi ke Bandung sebernarnya hanya untuk merilekkan dirinya dari semua sandiwara ini. Lagipula, sudah lama ia tidak menginjakkan kaki di tanah permai itu. Bibinya memang sakit, tapi sakitnya sudah lama sekali. Alfian berharap semoga dengan pergi ke sana, ia bisa menghilangkan beban beratnya walau hanya sejenak saja.

***

Huft😂
Jangan lupa tinggalkan jejak😇
THANKS😘

THE AFFORDABLE HEART (SERI 1) (TAMAT✔✅)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang