Lipatan 1.
27 September
Kutulis untuk mengungkapkan segala isi hatiku. Tentang dia, yang baru hadir mengisi hari-hariku.Aku tidak tahu sejak kapan aku mulai dekat dengannya. Yang kuingat, dia adalah senior pertama yang berbaik hati menolongku. Kupikir di dunia ini sudah tidak ada lagi senior baik hati seperti dirinya. Kau tahu? Dia bahkan rela meminjamkan bajunya hanya untuk mengganti bajuku yang basah tersiram air es.
Dia selalu datang di saat yang tepat. Tidak, tidak sepenuhnya. Dia pernah hampir menghancurkan acara makan siangku bersama Viona. Ah, Viona. Aku lupa menghubungi sahabat terbaikku itu. Kuharap dia tidak marah padaku karena aku membatalkan jalan-jalan bersamanya.
Kembali ke persoalan tadi. Aku memang mengenal Alfian bahkan sebelum kami dipertemukan di satu universitas. Aku pernah melihatnya datang bersama papaku saat kami masih tinggal di Bandung. Mungkin ia lupa wajahku karena itu terjadi lima tahun lalu. Ayah bilang Alfian adalah salah satu temannya. Salah satu rekannya. Aku hanya berpura-pura tidak tahu saja ketika Viona menceritakan dia. Kalau aku mengaku aku mengenalnya, dia pasti menghujaniku dengan beragam pertanyaan, atau mungkin dia akan berkata seperti ini 'lo tahu dari mana? Kenal aja enggak'. Yaps, itu adalah perkataan yang pasti berhasil membuatku kesal. Tapi tidak apa-apa, Viona tetap sahabatku.
Aku memanggilnya kakak karena usia kami hanya terpaut tiga tahun. Dia adalah mahasiswa FMIPA jurusan Kimia Organik. Kalau dihitung, sekarang dia sudah semester tujuh dan sebentar lagi akan menjalani sidang skripsi. Aku jadi penasaran, sudah sejauh apa persiapannya untuk sidang ini. Mama bilang, sidang skripsi menentukan kelulusan kita. Entahlah, aku belum mengalaminya.
Lipatan 2. 04 Oktober.
Dedikasi untuk mengenang kisah hari ini.Setelah masa ospek selesai, Alfian semakin sering menghubungiku. Ia bahkan menggunakan panggilan 'kue pengantar tidur' padaku. Sebenarnya apa yang ada di otaknya itu? Apa aku seperti kue manis yang gendut dan penuh lemak? Tapi tidak apa-apa. Aku senang.
Hari ini dia mengajakku melihat permainan basketnya. Kupikir itu ide yang bagus. Sudah lama juga aku tidak menggeluti atau hanya sekedar menonton permainan itu.
Kau tahu apa yang terjadi? Aku yang harusnya menjadi penonton malah ikutan bermain bersama mereka. Alasannya hanya satu, mereka kekurangan pemain dan gengsi untuk kalah. Maka secara sukarela aku menawarkan diriku melengkapi formasi mereka yang cacat.
Tapi tidak hanya itu. Aku bahkan harus membantu mereka menyusun strategi karena mereka terlihat payah dan kewalahan. Strategi yang kupakai sebenarnya sangat sederhana dan mudah terbaca. Tapi karena tim rival terlalu bodoh-atau terlalu percaya diri, strategi itu menjelma jadi jimat pembawa keberuntungan.
Aku sedikit geli melihat dia cemberut seperti tadi. Dia tampak seperti sedang cemburu pada lelaki-lelaki yang menatap nyalang kepadaku. Kau tahu? Ekspresinya tampak lucu di mataku.
Baiklah. Aku mulai berpikir apakah aku menyukainya. Lalu terjadi perdebatan dalam diriku. Hatiku berkata iya, tapi otakku berkata lain. Otakku bilang ini hanya sebatas hubungan kakak beradik, tidak lebih. Tidak ada cinta. Alhasil, hatiku kalah dan otakku menang.
Ada satu hal yang membuatnya berbeda dari yang lain. Dan itu sangat jelas terasa di mataku. Alfian memang pria yang terbilang cuek dan pendiam di mataku dan di mata teman-teman kampusnya, tapi percayalah. Dia punya sisi terhangat ketika kau mulai mengenalnya. Dia memang rupawan. Dengan postur tubuh yang tinggi dan berwajah manis, dia bisa saja menjadi "playboy" yang memacari wanita yang ia anggap suka. Tapi tidak dengan dirinya. Dia lebih suka menghabiskan waktu dengan bermain basket atau membaca, ketimbang jalan-jalan dan nongkrong di pinggir jalan.
Aku tidak terlalu mengetahui latar belakang keluarganya. Aku hanya tahu dia adalah keponakan tante Luna, salah satu tetanggaku yang sering memesan kue dari Mama. Dia seorang istri Jenderal TNI. Tante Luna sangat baik dan ramah.
Kau tahu? Jika saja Viona tahu tentang tulisan ini, dia mungkin akan menggodaku habis-habisan. Dengan kepercayaan dirinya yang kadang melampaui batas itu, dia akan berkata "udah Karin, lo jadian aja sama Kak Alfian, biar gue yang jadian sama wakilnya si Kevin yang manis itu." Padahal, kami hanya berteman saja. Tapi entahlah. Aku selalu merasa nyaman di dekatnya.
Oh, apakah Ayah juga tahu? Aku harap dia sedang tersenyum di sana, aku harap dia tidak marah karena aku berdekatan dengan seorang pria.
***
Thanks😘
KAMU SEDANG MEMBACA
THE AFFORDABLE HEART (SERI 1) (TAMAT✔✅)
Ficción GeneralHadirmu adalah anugerah terindah bagiku. Kau seolah-olah terlahir sebagai pengganti atas bagian dari jiwaku yang telah lama hilang. Aku selalu berpikir, mungkinkah kau adalah malaikat tanpa sayap yang dikirimkan Allah untuk menjagaku? "Kau mau menun...